Kejadian ini sudah 3 tahun yang lalu tapi masih sering teringat di benakku. Suatu malam, jam 3 pagi, aku berkeliling di Taman Lawang, saat menikung dari lampu merah kulihat, makhluk indah ini. Tinggi semampai dengan rok mini hitam yang ketat dan memakai atasan kaos putih yang tipis sekali dan ketat. Lekuk-lekuk tubuhnya jelas menerawang dari balik pakaiannya. Aku hentikan mobil lebih kurang 4 meter dari tempat dia berdiri. Dia datang ke depan grand civic-ku, berdiri di depan 1 m dari kap mobil, berkacak pinggang. Terlihat jelas payudaranya dari balik kaos yang super tipis, tidak terlalu besar, namun indah. Tampaknya tanpa bra, dia kemudian memutar ke arah pintu kiri, kubuka pintu lalu dia naik. Namanya Rina. Dia tanya mau ke mana, aku bilang hanya ingin mutar-mutar di dekat sini sambil berkenalan dengan dia. Aku merencanakan keliling sampai ujung Kuningan dan kembali ke Taman Lawang. Dia mengajak ke rumahnya atau ke hotel, aku bilang lain kali saat ini aku hanya kepingin kenalan saja, karena aku sedang tidak "in the mood" untuk "gituan".

Dia bilang, "Yang benar? kamu hanya ingin kenalan." Sambil berkata begitu dia membuka 2 kancing bajuku yang teratas, jemarinya menyelusup ke dalam meraba dadaku, mempermainkan puting di dadaku dengan jarinya. Baru satu kali aku merasakan permainan seperti ini, jemarinya sangat terampil memuntir sampai aku terangsang. Dia melakukan ini mulai dari ujung utara jalan Kuningan sampai balik ke ujung selatannya jalan Kuningan. Sambil mempermainkan puting di dadaku, dia merayu untuk kencan. Mengeluarkan kata-kata, janji tentang nikmatnya kencan dengan dia, dia bilang kita lihat sampai di ujung jalan nanti apakah benar aku tidak berminat untuk mencicipi tubuhnya malam ini. Aku terangsang hebat, kuusahakan nyetir dengan konsentrasi tapi jemarinya tetap menari dan bisikan serta ajakannya membakar tubuhku.

Akhirnya kami kembali ke Taman Lawang dan memarkir mobil di belakang di tempat gelap. Jepitan yang diselingi puntiran dan tarikan-tarikan di puting dadaku makin menggila setelah mobil berhenti. Dia mulai meraba selangkanganku, akhirnya aku buka ritsluiting jeansku. Rani minta aku melepas jeansku semuanya. Jadilah aku masih memakai baju namun telanjang bulat di bagian bawah. Dia meremas kemaluanku yang sudah mengeras sejak tadi sambil jemarinya tetap memberikan rasangan dahsyat ke putingku. Kadang tarikannya terasa agak sakit namun nikmat.

Aku tidak tahan, kuraih dia lalu menciumnya. Kurasakan lidahnya bermain dengan lidahku. Aku pun meraba payudaranya dan selangkangannya. Kami saling pagut dan saling raba dengan nafsu yang memuncak, dia kemudian mengeluarkan penisnya dari balik rok mininya.
Aku bilang, "Stop! Kita cari tempat lain untuk menuntaskan ini."
Dia bilang, "Jangan. Goyang Rani di sini saja Bang. Rani kepingin banget."
Dia tarik bahuku agar pindah ke atas tubuhnya di jok depan kiri yang sudah rebah. Aku terangsang sekali. Takut kepergok orang karena ini public place. Tapi dia rebah dengan penis yang tegak ke atas, dia kocok-kocok sambil bilang, "Ewek Rani Bang... Bang.. Ewek Rani Bang.." Takut kepergok, tapi nafsu kebinatanganku memuncak. Kubuka kondom dan kupasang, langsung menindih tubuh Rani. Penisku memasuki tubuhnya dan kami lupa pada dunia sekitar, aku merajamkan penisku dengan ganas. Dia mengelepar di bawah tindihanku, saling kulum saling gigit, akhirnya kita keluar barengan. Aku keluar, air maninya membasahi perut kami berdua. Pengalaman tergila yang pernah kulakukan.

Waktu selesai sudah jam 4.30. Kuantar dia ke rumahnya di Manggarai dan tidak dapat menolak rayuan dia untuk singgah ke tempat kostnya. Mulanya aku khawatir takut mobilku dikerjain orang, tapi ada keamanan dibayar Rp.10000, mobil boleh parkir di suatu tanah kosong dan di jaga. Tiba di kostnya, wah surprise juga kostnya bagus, seperti paviliun, ada kamar mandi di dalam dan dapur kecil. Kami mandi dan makan Indomie masakan Rina. Lalu ngeseks lagi untuk kedua kalinya. Akupun bolos kerja hari itu.

Awalnya aku berencana tidur setelah makan dan mandi. Saat aku terkantuk-kantuk dia bilang mau dipijitin nggak biar tidurnya nikmat. Aku bilang ya. Dia kemudian mengambil minyak dari lemari, nggak tahu namanya apa tapi baunya harum. Aku disuruh bangun dulu dan dia membentangkan plastik seperti untuk jok mobil yang cukup lebar untuk menutupi ranjang king size-nya, supaya sprei jangan kotor kena minyak katanya. Aku telungkup, dia menuangkan minyak ke telapak tangannya kemudian disapukan ke bahu, dia memijat dari bahu ke punggung. Pijatannya nikmat aku semakin mengantuk kemudian aku disuruh balik telentang, seluruh tubuhku disapu oleh minyak yang harum itu. Bagian-bagian intim tidak luput dari sapuan minyak di jemarinya, kadang geli.

Aku disuruh telungkup lagi dan dia sekarang menuangkan minyak langsung ke punggungku dan memijat punggung, lengan kiri dan kanan tengkuk. Kemudian dia menuangkan minyak di antara kedua bongkahan pantatku, geli rasanya merasakan minyak itu mengalir. Saat antara sadar dan tidak aku tiba-tiba merasakan pijatannya turun ke bokong menyentuh pinggiran anusku, kemudian dia melebarkan pahaku. Aku mulai terangsang, penisku meronta akibat tertindih karena aku telungkup. Nikmatnya saat kedua tangannya meremas bongkahan pantatku dengan sekali-kali jarinya memutar di sekitar lubang anusku.

Saat rangsangan mulai naik mengaliri darahku, aku merasakan satu tangannya lepas tidak ikut meremas bongkahan pantatku. Kenikmatan yang mulai bangkit terasa berkurang. Aku menoleh ke belakang untuk memprotes, ya ampun apa yang kulihat Rani setengah berjongkok dia memijatku dengan 1 tangan sementara tangannya yang lain meremas dan mengocok penisnya yang tampaknya kepalanya bengkak berkilat urat-urat di batang penisnya. Terbayang, aku kepingin memakan penisnya hidup-hidup. Tubuhnya juga sudah mengkilat oleh minyak.
Rani bilang, "Kamu doyan ya? sama waria yang burungnya gede, kamu doyan burungku." Vulgar sekali omongannya bikin aku makin merangsang. Lalu kami tuntaskan permainan seks dengan Rani untuk yang kesekian kalinya.

date Senin, 15 Januari 2018

Naluri biseks pada diriku yang menuntun aku untuk bertualang di seputar para waria.

Demikian banyak waria bisa aku temui di Jakarta ini. Mereka ada di jalan Krakatau, Taman Lawang, di seputar Taman Anggrek, di kolong jembatan Dukuh Atas, di kolong jembatan Jatinegara dan banyak tempat lainnya.

Di Taman Lawang mereka adalah termasuk waria yang dianggap berkelas elite. Tidak jarang diantaranya ada yang orang berada atau berpendidikan tinggi. Banyak diantara mereka yang saat siang hari adalah para karyawan golongan menegah ke atas.

Mereka memang tidak memerlukan uang kita. Tetapi menerima uang dari kita merupakan sensasi seksual yang sangat mereka nikmati.

Mereka merasakan puas saat seorang lelaki menggaulinya dan membayar atas kepuasan seks yang mereka suguhkannya. Mereka merasakan sensasi saat seorang lelaki mesti membayar sejumlah uang sesudah menciumi penisnya ataupun menjilati analnya.

Dan mereka juga demikian menikmati saat tawar menawar mengenai berapa besar seseorang mesti mengeluarkan uangnya untuk menikmati organ-organ tubuhnya. Bahkan terkadang dalam rincian, misalnya Rp. 10 ribu untuk mencium pipi, atau Rp. 15 ribu untuk menjilat pentil susunya, atau Rp. 20 ribu untuk bisa mengurut-urut penisnya.

Tetapi juga jangan heran, kalau syahwat mereka sudah birahi berat pada anda, bukan anda yang mengeluarkan uang, mereka akan memberi anda uang atau kenikmatan atau apapun yang anda minta.

Pada dasarnya para waria di Taman Lawang ini rata-rata memang haus sentuhan seksual. Mereka mencari kepuasan yang bisa menyalurkan kebutuhan libidonya.

Begitulah sore itu, Jumat malam, besok Sabtu yang libur, aku iseng. Dengan sepeda motor Hondaku aku menghirup udara sore Jakarta, lewat daerah Menteng dengan satu tujuan, Taman Lawang. Aku tahu, di tempat ini akan ramai sesudah jam 9 malam ke atas. Tetapi nggak masalah. Banyak warung remang-remang di seputar Taman Lawang. Mereka jual ronde, kopi, makanan kecil, bakmi goreng atau kalau pengin yang agak panas, ada juga OT atau anggur cap Orang Tua, yang dijamin langsung limbung dan dunia rasa berputar sesudah menghabiskan beberapa sloki saja.

Nah, kini aku duduk di bangku panjang di udara terbuka di sebuah warung kaki lima. Duh, sungguh indah Jakarta ini. Lihatlah betapa langit yang cerah penuh bintang. Bayangkan dengan duduk begini aku bisa menikmati segalanya. Menikmati udara yang segar, cuci mata dan mengisi perut dalam suasana yang akrab dan ramah.

Penjual warung menyambutku dengan girang dan melayani permintaanku secepatnya. Demikian pula para pembeli lain yang terlebih dahulu datang, mereka menganggap aku sebagai bagian dari mereka. Kami bisa langsung ngobrol dan berkelakar.

Tanpa terasa waktu sudah merambat. Jam tanganku menunjukkan pukul 8.30 malam. Nampak beberapa mobil parkir meramaikan jalan. Sorot lampu-lampu Jakarta menunjukkan pesonanya. Beberapa waria mulai berdatangan. Entah dari mana mereka. Seakan muncul begitu saja dari dalam bumi. Mereka tampil dengan dandanan dan mode terakhir.

Aku lihat di seberang sana ada 'lady boy' memakai busana kulit. Rasanya model itu milik Giorgio Armani yang baru tadi malam kusaksikan di CNN pada pesta mode di rumah modenya di Paris. Dan yang itu, sebelah kanannya, si 'cantik jantan' yang jangkung dengan baju belah punggungnya yang woo.. bukan main.. seksi bangeett..

Tiba-tiba seseorang menepuk punggungku, "Maass.. bagi rokoknya dong.."

Begitu aku nengok, wah.. Aku kaget banget. Kenapa ada hantu Ancol di sini?!

Seorang waria yang cantiknya luar biasa mengingatkan aku akan Dyah Permatasari yang hantu cantik itu. Hantu itu kini sedang bergelayut di pundakku. Duh, duh, duh.. Rasanya aku benar-benar sedang berhadapan dengan hantu yang luar biasa cantiknya itu. Aroma parfumnya langsung menerpa hidungku.

"Rr.. Rokok yang mana?", jawabku agak gugup..

"Yang ini", balasnya juga spontan sambil membungkuk dan mengelusi gundukkan celanaku.

Aku tersenyum dan hilang gugupku. Aku mengeluarkan bungkusan rokok kretekku. Namanya Vera. Anak Palembang, 19 tahun, kulitnya putih, jangkung, rasanya diatas 170 cm. Wah, macam ini yang memang selalu aku dambakan. Tulang pipinya itulah yang membuat Vera ini benar-benar mirip Dyah Permatasari.

Dengan celana jeans ketat yang dipadu blus 'u can see' yang memamerkan bahunya yang putih mulus banget, tampilan jangkung Vera sungguh membuat penisku langsung ngaceng. Aku membayangkan betapa nikmatnya apabila hidung dan lidahku bisa menelusuri bahu itu. Betapa nikmatnya saat menguak bahu indah itu dan mendapatkan hamparan lembah ketiaknya yang putih bersih dan pasti indah serta harumnya.

Wajah dan make-up Vera juga membuatnya semakin mirip dengan Dyah Permatasari yang jadi hantu cantik seksi itu. Ah, jangan sampai kulepaskan dia. Aku langsung jatuh cinta rasanya.

Dan sebaiknya aku cepat bawa pergi sebelum ada buaya lain yang menyambarnya. Semula aku merencanakan untuk mengajaknya ke jalan Tanah Abang. Disana ada hotel kecil yang banyak didatangi para homo atau mereka yang kencan dengan transeksual atau waria macam ini. Aku sudah beberapa kali menggunakan jasa hotel kecil aman ini. Tetapi Vera pengin bermesraan dengan aku di pinggir laut, di pantai Ancol. Aku agak terpana. Jangan-jangan dia benar-benar setan Ancol. Ah, biarlah.. Kalaupun dia benar-benar hantu aku nggak akan pernah menyesal tidur dengan Vera yang sangat cantik ini.

Aku memboncengkan dia dan membawanya ke Ancol. Kami masuk ke kawasan Marina Ancol dimana banyak kapal-kapal mewah ditambat di sana. Begitu aku memasuki kawasan tersebut ada seseorang mendekati kami,

"Mau santai di kapal, Oom. Sepi dan aman di sana. Kalau mau juga bisa pesan minum. Mau yang panas atau dingin. Pokoknya Oom jangan khawatir. Saya jagain. Sampai pagi juga boleh kalau cocok harganya".

"Mau di kapal?", kutanya pada Vera.

"Boleh juga. Sekalian nyobain kapal mewah ya Mas", jawaban Vera yang manja sembari menggelayut di pundakku.

Sesudah bicara dan tawar-menawar tak resmi, karena hal itu semata obyekan penjaga kapal, kami mendapatkan tempat yang sungguh-sungguh nyaman. Sebuah kabin di yacht mewah yang sedang tambat di dermaganya. Nggak tahu punya siapa. Aku taksir punya salah seorang konglomerat Indonesia, nih. Atau jangan-jangan punya pejabat korup. Kalau begitu, ini uang rakyat, dong. Artinya uangku juga, khan? Woo.., asyiikk..

Sementara menunggu pesanan minuman dan makanan kecil kami saling meremas dan berpagutan. Nikmatnya bercumbu dengan waria seperti Vera ini adalah perabot tubuhnya yang serba besar. Aku mencium dan melumat bibirnya dan demikian juga dia melumat dan memainkan lidahnya di mulutku. Aku merasakan betapa mulut dan lidahnya sangat gede. Beda dengan ukuran mulut dan lidah Ningsih pacarku.

Aku juga merasakan betapa aku bisa menyedoti ludahnya yang terus mengalir begitu banyak hingga sangat memuaskan kehausanku. Baik haus nafsu maupun memang juga haus untuk minum air ludahnya. Bahkan beberpa kali nanti aku minta Vera membuang ludahnya ke mulutku.

Ternyata walaupun seorang waria, penis Vera ini sungguh luar biasa gede dan panjang. Di balik celana jeans ketatnya penis itu nampak nyata sudah ngaceng banget. Aku rasakan demikian keras dan hangat saat dia gesek-gesekkan ke pahaku.

Tentu saja aku sangat menikmatinya. Aku sudah membayangkan akan kulumat-lumat dan kujilati nanti. Akan kuciumi bijih pelernya. Lidahku akan menjilati seluruh permukaan batangnya. Mulutku akan menelah seluruh bonggolan keras kepala penisnya itu. Pasti lidahku juga akan bermain-main dan menari di lubang kencingnya. Uuhh.. Vera.., aku akan menikmati tubuhmu sepuasku malam ini.

Begitu si penjaga kapal mengantar minuman dan makanan kecil, Vera selekasnya menutup dan mengunci pintu kapal. Dan dengan tak sabar lagi kami saling terkam. Aku melucuti dia dan dia melucuti aku. Kami bugil. Nampak kini betapa penisnya yang gede panjang itu membuat penisku menjadi demikian kecil nampaknya.

Vera sangat aktif. Dia merosot ke lantai dan mulai merengkuh aku. Dia mulai dengan menjilati dan menciumi ujung-ujung kakiku. Mulutnya mengulum-kulum jari-jari kakiku. Duh, aku nggak kuat rasanya. Merinding syahwatku merasakan lidahnya menyapu celah-celah jari kakiku yang kemudian disusul dengan kulum dan hisapan mulutnya pada setiap jari-jarinya.

Luar biasa sapuan lidah Vera ini. Aku dibuatnya melayang-layang tinggi. Aku sepert terbang di awang-awang nikmat. Aku mendesah berat dan meremasi rambutku sendiri untuk menahan nikmatnya lidah Vera. Saat telapak kakiku juga dirambah oleh lidahnya aku merintih dan menahan gelinjangku. Aduhh.., kenapa begini Veerr..

Dari telapak kakiku lidah Vera naik merambati betis-betis, lutut kanan dan kiri kemudian paha-pahaku. Dan ketika pada akhirnya mukanya nyungsep ke selangkanganku, aku tak mampu menahan terpaan nikmat birahi yang tak terkira.

Saat lidahnya dan bibirnya menyapu dan menyedoti selangkanganku aku berteriak tertahan.
"Duh, Veerr.. Am.. a.. am.. puunn.. Aku nggak tahan Verr.." Aku menggeliat-geliat seperti ular padang pasir.

Dia sangat pintar mempermainkan emosi lawan mainnya. Aku dibuatnya sangat penasaran. Dia belum mau menyedot dan menciumi penisku yang sudah tegak kaku dengan kepalanya yang berkilatan. Dia lewati itu.

Kini kedua tangannya merambah puting susuku. Jari-jarinya memelintir ujung puting-putingnya sambil bibirnya terus merangkak ke atas. Lidahnya terus melata perutku. Puserku dia ubek dan jilat-jilat. Rupanya dia sangat menikmati geliat dan erangan serta rintihan erotisku.

Saat pinggulku dapat giliran lidahnya, tak ampun lagi aku menggelinjang seakan hendak meloncat dari ranjang. Tak kuat aku menanggung derita nikmat ini. Tetapi, disamping cantik dan seksi, Vera juga sangat kuat. Aku tak mampu menolak tubuhnya. Dia terus merangsek dengan jilatan dan ciuman-ciuman pada sekujur tubuhku.

Aku merasakan betapa nikmatnya saat bibirnya mulai menyedot dan menggigiti puting susuku. Gigitan-gigitan kecilnya membuat aku bergidik merinding. Syahwatku merambat cepat menyambar nafsu birahiku. Aku menggelinjang hebat hingga Vera tak kuasa menahanku.

Aku ingin mengambil peranan. Aku ingin aktif. Aku ingin menikmati kecantikan dan sensualitas 'Dyah Permatasari'-ku ini. Kini aku berbalik.

Kudorong Vera hingga rebah dan telentang ke ranjang. Aku menggelutinya. Kuangkat lengan-lengan putihnya ke sebelah atas kepalanya. Kujilati ketiaknya yang bersih wangi itu sepuasku. Aromanya yang menebar menusuk hidungku membuat aku semakin terlada oleh syahwatku sendiri. Entah berapa lama ketiak itu kujilat dan kuciumi hingga ludahku kuyup membasahi keduanya. Dan sebagai balasan Vera ganti mendesah dan merintih memenuhi ruangan kapal mewah itu.

Sesudah puas aku menjilati ketiak aku balik tubuhnya. Kini aku mulai melata dari tengkuknya. Aku suka rambut-rambut tipis yang di tepian ujung lehernya. Kuarahkan lidahku untuk membuat kuyup wilayah itu. Dan hasilnya tak kuduga. Vera menggelinjang hebat dengan tangannya meraih kebelakang untuk menangkap rambutku. Dia menjambak serta meremasi dengan penuh geregetan birahi.

Aku meneruskan jelajah lidahku menelusur turun dan turun hingga ke daerah pinggul belakangnya. Jangan tanya betapa aku sangat bernafsu dengan pinggul seksinya ini. Aku seakan tak puas-puasnya menjilati serta menyedoti pori-pori pinggul ini. Saat lidahku mulai menyentuh belahan bokongnya yang tambun seksi itu hidungku menangkap aroma yang khas. Aroma analnya. Aku menjadi tak sabar.

Aku benamkan mukaku ke belahan bokong itu. Dan lidahku menari mencari sasarannya. Dan agaknya Vera sendiri juga telah menantikan semuanya ini. Tanpa menunggu mauku dia telah bergerak nungging. Dengan kepalanya yang bertelekan ke ranjang dia angkat pantatnya tinggi hingga lubang anusnya langsung terbuka berhadapan dengan mukaku.

Dan kini dengan mudah dan leluasa aku menenggelamkan wajahku ke pantatnya. Hidungku menciumi bau analnya dan lidahku menjilatinya. Di antara rimbunan bulu lembut analnya kudapatkan rasa licin di ujung lidahku. Aku tahu itu adalah lubang duburnya. Lidahku berusaha menembusi lubang itu dan menjilatinya.

Vera tak tahan menghadapi rasa geli di pantatnya. Dia menggoyang dan menggoyang. Pantatnya berusaha menjemput jilatan dan tusukkan lidahku. Aku rangkul paha-pahanya untuk memenuhi harapan Vera. Dan aku mulai merasakan lengket rasa sepat di ujung lidah. Itulah semen lubang duburnya.

date

Pada hari Sabtu yang telah kami sepakati dengan teman dia, dan kami janjian ketemu di salon itu jam 13:00. Aku pun meluncur ke salon itu untuk potong rambut, sejenak aku melirik jam tangan, terlihat jam satu kurang beberapa menit saja dan kuputuskan untuk masuk. Seperti halnya salon-salon biasa, suasana salon ini normal tidak ada yang luar biasa dari tata ruangnya serta kegiatannya. Pada pertama kali aku masuk, aku langsung menuju ke tempat meja reception dan di sana aku mengatakan niat untuk potong rambut. Dikatakan oleh wanita cantik yang duduk di balik meja reception agar aku menunggu sebentar sebab sedang sibuk semua. Sambil menunggu, aku mencoba untuk melihat-lihat sekitar siapa tahu ada temanku, tapi tidak terlihat ada temanku di antara semua orang tersebut. Mungkin dia belum datang, pikirku. Kuakui bahwa hampir semua wanita yang bekerja di salon ini cantik-cantik dan putih dengan postur tubuh yang proporsional dan aduhai. Kalau boleh memperkirakan umur mereka, mereka berumur sekitar 20-30 tahun. Aku jadi teringat dengan omongan temanku, Hanni, bahwa mereka bisa diajak kencan. Namun aku sendiri masih ragu sebab salon ini benar-benar seperti salon pada umumnya.

Setelah beberapa menit menunggu, aku ditegur oleh reception bahwa aku sudah dapat potong rambut sambil menunjuk ke salah satu tempat yang kosong. Aku pun menuju ke arah yang ditentukan. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda nan cantik menugur sambil memegang rambutku.
“Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil melihatku lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang sudah agak panjang.
“Mmm… dirapi’in aja Mbak!” kataku pendek.
Lalu seperti halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku pun diberi penutup pada seluruh tubuhku untuk menghindari potongan-potongan rambut. Beberapa menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan dia sibuk mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku mencoba untuk mencairkan suasana.
“Mbak… udah lama kerja di sini?” tanyaku.
“Kira-kira sudah enam bulan, Mas… ngomong-ngomong situ baru sekali ya potong di sini?” sambungnya sambil tetap memotong rambut.
“Iya… kemarenan saya lewat jalan ini, terus kok ada salon, ya udah dech, saya potong di sini. Ini juga janjian sama temen, tapi mana ya kok belum datang?” jawabku sedikit berbohong.
“Ooo..” jawabnya singkat dan berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara temanku sambil menepuk pundak.
“Eh… elo baru dateng?” tanyaku.
“Iya nih… tadi di bawah jembatan macet, mmm… gue potong dulu yach..” jawabnya sambil berlalu.

Ngobrol punya ngobrol, akhirnya kami dekat, dan belakangan aku tahu Stella namanya, 22 tahun, dia kost di daerah situ juga, dia orang Manado, dia enam bersaudara dan dia anak ketiga. Kami pun sepakat untuk janjian ketemu di luar pada hari Senin. Untuk pembaca ketahui setiap hari Senin, salon ini tutup. Setelah aku selesai, sambil memberikan tips sekedarnya, aku menanyakan apakah ia mau aku ajak makan. Dia menyanggupi dan ia menulis pada selembar secarik kertas kecil nomor teleponnya. Sambil menunggu Hanni, aku ngobrol dengan Stella, aku sempat diperkenalkan oleh beberapa temannya yang bernama Susi, Icha dan Yana. Ketiganya cantik-cantik tapi Stella tidak kalah cantik dengan mereka baik itu parasnya juga tubuhnya. Susi, ia berambut agak panjang dan pada beberapa bagian rambutnya dicat kuning. Icha, ia agak pendek, tatapannya agak misterius, dadanya sebesar Stella namun karena postur tubuhnya yang agak pendek sehingga payudaranya membuat ngiler semua mata laki-laki untuk menikmatinya. Sedangkan Yana, ia tampak sangat merawat tubuhnya, ia begitu mempesona, lingkar pinggangnya yang sangat ideal dengan tinggi badannya, pantatnya dan dadanya-pun sangat proporsional.

Akhirnya kami ketemu pada hari Senin dan di tempat yang sudah disepakati. Setelah makan siang, kami nonton bioskop, filmnya Jennifer Lopez, The Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku mengagumi kecantikan Stella yang waktu itu mengenakan kaos ketat berwarna biru muda ditambah dengan rompi yang dikancingkan dan dipadu dengan celana jeans ketat serta sandal yang tebal. Kami serius mengikuti alur cerita film itu, hingga akhirnya semua penonton dikagetkan oleh suatu adegan. Stella tampak kaget, terlihat dari bergetarnya tubuh dia. Entah ada setan apa, secara reflek aku memegang tangan kanannya. Lama sekali aku memegang tangannya dengan sesekali meremasnya dan ia diam saja.

Singkat cerita, aku mengantarkan dia pulang ke kostnya, di tengah jalan Stella memohon kepadaku untuk tidak langsung pulang tapi putar-putar dulu. Kukabulkan permintaannya karena aku sendiri sedang bebas, dan kuputuskan untuk naik tol dan putar-putar kota Jakarta. Sambil menikmati musik, kami saling berdiam diri, hingga akhirnya Stella mengatakan,
“Mmm… Will, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, memang semua ini terlalu cepat, Will… aku suka sama kamu…” katanya pelan tapi pasti.
Seperti disambar petir mendengar kata-katanya, dan secara reflek aku menengok ke kiri melihat dia, tampaknya dia serius dengan apa yang barusan ia katakan. Dia menatap tajam.
“Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Tel?” tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan.
“Aku nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu nggak kayak laki-laki yang pernah aku kenal, kamu baik, dan kayaknya perhatian and care. Aku nggak mau kalo setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will. Aku nggak mau kehilangan kamu,” jawabnya panjang lebar.
“Mmm… kalo aku boleh jujur sich, aku juga suka sama kamu, Tel… tapi kamu mau khan kalo kita nggak pacaran dulu?” tegasku.
“Ok, kalo itu mau kamu, mmm… boleh nggak aku ’sun’ kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?” tanyanya.

Wah rasanya seperti mau mati, jantungku mau copot, nafas jadi sesak. Edan ini anak, seperti benar-benar! Sekali lagi, aku menengok ke kiri melihat wajahnya yang bulat dengan bola mata yang berwarna coklat, dia menatapku tajam dan serius sekali.
“Sekarang?” tanyaku sambil menatap matanya, dan dia menganguk pelan.
“OK, kamu boleh ’sun’ aku,” jawabku sambil kembali ke jalanan.
Beberapa detik kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil posisi untuk memberi sebuah “sun” di pipi kiriku. Diberilah sebuah ciuman di pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia mencium dan ditempelkannya payudaranya di lengan kiriku. Ooh, empuk sekali, mantap!Payudaranya yang cukup menantang itu sedang menekan lengan kiriku. Edan, enak sekali, aku jadi terangsang nih. Secara otomatis batang kemaluanku pun mengeras. Dengan pelan sekali, Stella berbisik, “Will, aku suka sama kamu,” dan ia kembali mencium pipiku dan tetap menekan payudaranya pada lengan kiriku. Konsentrasiku buyar, sepertinya aku benar-benar sudah terangsang dengan perlakuan Stella, dan beberapa kendaraan yang melaluiku melihat ke arahku menembus kaca filmku yang hanya 50%. “Kamu terangsang ya, Will?” tanyanya pelan dan agak lirih. Aku tidak menjawab. Tangan kirinya mulai mengelus-elus badanku dan mengarah ke bawah. Aku sudah benar-benar terangsang. Sekali lagi Stella berbisik, “Will, aku tau kamu terangsang, boleh nggak aku lihat punyamu? punya kamu besar yach!” aku mengangguk. Dibukalah celana panjangku dengan tangan kirinya, seperti ia agak kesulitan pada saat ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya menggunakan satu tangan. Aku bantu dia membuka ikat pinggang setelah itu aku kembali memegang setir mobil.

Dielus-elus batang kemaluanku yang sudah keras dari luar. Tidak lama kemudian ditelusupkan telapak kirinya ke dalam dan digenggamlah kemaluanku. “Ooh…” desahku pelan. Sedikit demi sedikit wajahnya bergerak. Pertama, ia cium bibirku dari sebelah kiri lalu turun ke bawah. Ia cium leherku, dan ia sempat berhenti di bagian dadaku, mungkin ia menikmati aroma parfum BULGARI-ku. Ia makin turun dan turun ke bawah. Beberapa kali Stella melakukan gerakan mengocok kemaluanku. Pertama-tama dijilatinya pangkal batang kemaluanku lalu merambat naik ke atas. Ujung lidahnya kini berada pada bagian biji kejantananku. Salah satu tangannya menyelinap di antara belahan pantatku, menyentuh anusku, dan merabanya. Stella melanjutkan perjalanan lidahnya, naik semakin ke atas, perlahan-lahan. Setiap gerakan nyaris dalam beberapa detik, teramat perlahan. Melewati bagian tengah, naik lagi. Ke bagian leher batangku. Kedua tanganku tak kusadari sudah mencengkeram setir mobil. Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi. Pelan-pelan setiap jilatannya kurasakan bagaikan kenikmatan yang tak pernah usai, begitu nikmat, begitu perlahan. Setiap kali kutundukkan wajahku melihat apa yang dilakukannya setiap kali itu pula kulihat Stella masih tetap menjilati kemaluanku dengan penuh nafsu.

Sesaat Stella kulihat melepaskan tangannya dari kemaluanku, ia menyibakkan rambutnya ke samping tiga jarinya kembali menarik bagian bawah batang kemaluanku dengan sedikit memiringkan kepalanya. Stella kemudian mulai menurunkan wajahnya mendekati kepala kejantananku. Ia mulai merekahkan kedua bibirnya, dengan berhati-hati ia memasukkan kepala kemaluanku ke dalam mulutnya tanpa tersentuh sedikitpun oleh giginya. Kemudian bergerak perlahan-lahan semakin jauh hingga di bagian tengah batang kemaluanku. Saat itulah kurasakan kepala kejantananku menyentuh bagian lidahnya. Tubuhku bergetar sesaat dan terdengar suara khas dari mulut Stella. Kedua bibirnya sesaat kemudian merapat. Kurasakan kehangatan yang luar biasa nikmatnya mengguyur sekujur tubuhku. Perlahan-lahan kemudian kepala Stella mulai naik. Bersamaan dengan itu pula kurasakan tangannya menarik turun bagian bawah batang tubuh kejantananku hingga ketika bibir dan lidahnya mencapai di bagian kepala, kurasakan bagian kepala itu semakin sensitif. Begitu sensitifnya hingga bisa kurasakan kenikmatan hisapan dan jilatan Stella begitu merasuk dan menggelitik seluruh urat-urat syaraf yang ada di sana. Kuraba punggungnya dengan tangan kiriku, kuelus dengan lembut lalu mengarah ke bawah. Kudapatkan payudara sebelah kanan. Kubuka telapak tanganku mengikuti bentuk payudaranya yang bulat. Kuremas dengan lembut. Kubuka satu persatu kancing rompinya, dan kembali aku membuka tepak tangan mengikuti bentuk payudaranya. Sambil tetap mengulum, tangan kanannya bergerak menyentuh tanganku, ia tarik baju ketatnya dari selipan celana panjangnya. Dipegangnya tanganku dan diarahkannya ke dalam. Di balik baju ketatnya, aku meremas-remas payudaranya yang masih terbungkus BH. Kuremas satu persatu payudaranya sambil mendesah menikmati kuluman pada kemaluanku.

Kuremas agak kuat dan Stella pun berhenti mengulum sekian detik lamanya. Kuelus-elus kulit dadanya yang agak menyembul dari BH-nya dengan sesekali menyelipkan salah satu jariku di antara payudaranya yang kenyal. “Agh…” desahku menikmati kuluman Stella yang makin cepat. Aku turunkan BH-nya yang menutupi payudara sebelah kanan, aku dapat meraih putingnya yang sudah mengeras. Kupilin dengan lembut. “Ooh… esst…” desahnya melepas kuluman dan terdengar suara akibat melepaskan bibirnya dari kemaluanku. Menjilat, menghisap, naik turun. Ia begitu menikmatinya. Begitu seterusnya berulang-ulang. Aku tak mampu lagi melihat ke bawah. Tubuhku semakin lama semakin melengkung ke belakang kepalaku sudah terdongak ke atas. Kupejamkan mataku. Stella begitu luar biasa melakukannya. Tak sekalipun kurasakan giginya menyentuh kulit kejantananku. Gila, belum pernah aku dihisap seperti ini, pikirku. Pikiranku sudah melayang-layang jauh entah ke mana. Tak kusadari lagi sekelilingku oleh gelombang kenikmatan yang mendera seluruh urat syaraf di tubuhku yang semakin tinggi. Aku berhenti sejenak meraba payudaranya. Kutengok ke bawah, tangan kanannya menggenggam dengan erat persis di bagian leher batang kemaluanku, dan ia terlihat tersenyum kepadaku. “Kamu luar biasa, Tel,” bisikku sambil menggeleng-gelengkan kepala terkagum-kagum oleh kehebatannya. Stella tersenyum manis dan berkesan manja. “Eh, bisa keluar aku kalo kamu kayak gini terus,” bisikku lagi merasakan genggaman tangannya yang tak kunjung mengendur pada kemaluanku. Stella tersenyum. “Kalo kamu udah nggak pengen keluar, keluarin aja, nggak usah ditahan-tahan,” jawabnya dan setelah itu menjulurkan lidahnya keluar dan mengenai ujung batang kemaluanku. Rupanya ia mengerti aku sedang berjuang untuk menahan ejakulasiku.

“Aaghhh…” desahku agak keras menahan rasa ngilu. Bukan kepalang nikmat yang kurasakan, tubuhnya bergerak tidak karuan, seiring dengan gerakan kepalanya yang naik turun, kedua tangannya tak henti-henti meraba dadaku, terkadang ia memilin kedua puting susuku dengan jarinya, terkadang ia melepaskan kuluman untuk mengambil nafas sejenak lalu melanjutkannya lagi. Semakin lama gerakannya makin cepat. Aku sudah berusaha semaksimal untuk menahan ejakulasi. Kualihkan perhatianku dari payudaranya. Aku meraba ke arah bawah. Kubuka kancing celananya. Agak lama kucoba membuka dan akhirnya terlepas juga. Pelan-pelan kuselipkan tangan kiriku di balik celana dalamnya. Aku dapat rasakan rambut kemaluannya tipis. Mungkin dipelihara, pikirku dalam hati. Kuteruskan agak ke bawah. Stella mengubah posisinya. Tadinya ia yang hanya bersangga pada satu sisi pantatnya saja, sekarang ia renggangkan kedua kakinya. Dengan mudah aku dapat menyentuh kemaluannya. Beberapa saat telunjukku bermain-main di bagian atas kemaluannya. Aku naik-turunkan jari telunjukku. Ugh, nikmat sekali nih rasanya, pikirku. Sesekali kumasukkan telunjukku ke dalam lubang kemaluannya. Aku jelajahi setiap milimeter ruangan di dalam kemaluan Stella. Aku temukan sebuah kelentit di dalamnya. Kumainkan klitoris itu dengan telunjukku. Ugh, pegal juga rasanya tangan kiriku. Sejenak kukeluarkan jariku dari dalam. Lalu aku menikmati setiap kuluman Stella. Rasanya sudah beberapa tetes spermaku keluar. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang olehnya.

Kembali kumasukkan jariku, kali ini dua jari, jari telunjuk dan jari tengahku. Pada saat aku memasukkan kedua jariku, Stella tampak melengkuh dan mendesah pelan. Semakin lama semakin cepat aku mengeluar-masukkan kedua jariku di lubang kemaluannya dan Stella beberapa menghentikan kuluman pada batang kemaluanku sambil tetap memegang batang kemaluanku. Entah sudah berapa orang yang melihat kegiatan kami terutama para supir atau kenek truk yang kami lewati, namun aku tidak peduli. Kenikmatan yang kurasakan saat itu benar-benar membiusku sehingga aku sudah melupakan segala sesuatu. Kembali Stella menjilat, menghisap dan mengulum batang kemaluanku dan entah sudah berapa lama kami melakukan ini. Kutundukkan kepalaku untuk melihat yang sedang dikerjakan Stella pada kemaluanku. Kali ini Stella melakukan dengan penuh kelembutan, ia julurkan lidahnya hingga mengenai ujung kepala kemaluanku lagi. Ia memutar-mutarkan lidahnya tepat di ujung lubang kemaluanku. Sungguh dashyat kenikmatan yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku bergetar namun ia tetap pada sikapnya. Sesekali ia masukkan semua batang kemaluanku di dalam mulutnya dan ia mainkan lidahnya di dalam. “Ooh.. Tel… enakk…” desahku sambil melepaskan tangan kiriku dari lubang kemaluannya. Kupegang kepalanya mengikuti gerakan naik turun.

“Stella, aku sudah nggak tahannn…” kataku agak lirih menahan ejakulasi. Namun gerakan Stella makin cepat dan beberapa kali ia buka matanya namun tetap mengulum dan terdengar suara-suara dari dalam mulutnya. “Aaaagghhh…” desahku keras diiringi dengan keluarnya sperma dari dalam batang kemaluanku di dalam mulutnya. Keadaan mobil kami saat itu sedikit tersentak oleh pijakan kaki kananku. Aku menikmati setiap sperma yang keluar dari dalam kemaluanku hingga akhirnya habis. Stella tetap menjilati kemaluanku dengan lidahnya. Dapat kurasakan lidahnya menyapu seluruh bagian kepala kemaluanku. Ugh, nikmat sekali rasanya. Setelah membersihkan seluruh spermaku dengan lidahnya, Stella bergerak ke atas. Kulihat dia, tampak ada beberapa spermaku menempel di sebelah kanan bibirnya dan pipi kirinya. Aku mulai bergerak memperbaiki posisi dudukku, perlahan-lahan. Sambil tetap digenggamnya batang kemaluanku yang sudah lemas, Stella beranjak ke atas melumat bibirku, masih terasa spermaku. Sekian detik kami bercumbu dan aku memejamkan mata. Akhirnya ia merapikan posisinya, ia duduk dan merapikan pakaiannya. Aku pun merapikan pakaianku sekedarnya. Aku kenakan celana panjangku namun tidak kumasukkan kemejaku.

Beberapa hari setelah itu, aku main ke kost Stella dan pada saat itu pula kami mengikat tali kasih. Awal bulan Maret lalu Stella kembali dari Manado setelah 2 minggu ia berada di sana dan ia tidak kembali lagi bekerja di salon itu. Sekarang kami hidup bersama di sebuah tempat di daerah Grogol, sekarang ia diterima sebagai operator di salah satu perusahaan penyedia jasa komunikasi handphone. Sedangkan aku tetap sebagai animator yang bekerja di sebuah perusahaan di daerah Kedoya tapi aku harus meninggalkan kostku. Setelah kami hidup seatap, Stella mengakui padaku bahwa selama enam bulan ia bekerja di salon itu, ia pernah melayani pelanggannya dan ia mengatakan bahwa semua pekerja yang bekerja di salon itu juga pekerja seks. Stella tidak mengetahui bagaimana asal mulanya. Stella sendiri tidak tahu apakah salon merupakan sebuah kedok atau seks adalah sebuah tambahan. Dia mengatakan bahwa untuk mengajak keluar salah satu karyawati di situ, seseorang harus membayar di muka sebesar Rp 500.000. Rasanya Jakarta hanya milik kami berdua, tiap malam setelah mandi sepulang dari kerja atau setelah makan malam, kami melakukan hubungan seks. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir dan entah kapan kami akan resmi menikah.

Kami sungguh menikmati setiap hari yang akan kami lalui dan telah kami lalui bersama. Aku sungguh tidak peduli dengan asal-usulnya pekerjaan Stella sebab makin hari aku makin terbius oleh kenikmatan seks dan mataku seolah-seolah tertutup oleh rasa sayangku pada dia.

date

Namaku Surti. Anak satu-satunya dari emak dan bapak.

Rumahku reyot, hanya gubuk bambu. Kalau menjelang pagi, sinar matahari menembusi dinding-dinding rumahku. Kalau hujan, yah ada bocor disana-sini.

Aku tak punya kamar sendiri, tempat tidurku berbagi dengan emak bapak. Lebarnya benar-benar ngepas. Jadi kalau tidur tidak bisa sembarang berguling-guling. Bisa-bisa aku terbangun di atas tanah esoknya. Yah, rumahku tak berubin. Hanya tanah.

Terkadang di beberapa sudut ada lubang semut hitam. Aku suka memancing mereka. Salur dari tanaman kumasukkan ke dalam lubang. Tak lama kemudian pasti ada yang menggigit. Kutarik perlahan. Semut hitam yang besar pun muncul ke permukaan, bergelantung di salur. Lalu ia terjatuh ke tanah dan kembali masuk ke lubang. Hihi..lucu.

Emakku penjual kayu bakar. Tiap pagi ia selalu ke gunung, mencari kayu-kayu kering untuk dijual. Hasilnya akan digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lain di pasar.

Bapakku pekerja serabutan. Ia akan ambil semua pekerjaan yang ditawarkan kepadanya.

"Mak aku pergi dulu ya ke sekolah," ucapku seraya memeluk emak yang sedang duduk di kursi. Ia sedang menjahit baju yang robek.

Tanganku yang pendek tak dapat merangkul seluruh tubuhnya. Kepalaku kuletakkan di dadanya. Rasanya seperti sedang memeluk guling dan meletakkan kepala di dua bantal berbentuk melon yang empuk.

"Ya...eh itu topi merahnya mana?"

"Oh ya... ampir lupa."

Emakku menoel pipiku, "Nanti disetrap lagi, gak bawa topi."

"Ya dah mak, Surti pergi dulu."

"Hati-hati di jalan."

Aku berjalan dengan menggantung kedua sepatu hitamku di leher. Aku hanya memakainya kalau sudah tiba di sekolah. Maklum kami miskin. Jadi sepasang sepatu ini hanya ada satu-satunya. Agar tak cepat rusak, aku tak menggunakannya di jalan.

Selama di perjalanan aku berpikir, 6 bulan lagi, aku akan naik kelas. Pakaian seragam putih merah ini tidak akan kupakai lagi. Berganti dengan yang putih biru. Artinya harus beli seragam lagi. Keluhku. Perlu uang.

Setiap kali kebutuhan akan uang mendera, aku selalu gundah. Aku kasihan dengan bapak dan emakku. Raut wajah mereka berubah seperti orang yang sedang berpikir keras, kala aku meminta uang untuk kebutuhan sekolah. Aku bingung.

Di sekolah, di jam istirahat, aku suka melihat segerombolan laki-laki yang suka ngisengin anak-anak perempuan. Mereka suka noel-noel bagian-bagian tubuhnya. Yang paling sering jadi sasaran ya itu bagian dada dan pantat.

Terus kalau sudah noel, mereka tertawa terbahak-bahak..."Haha...dadanya kecil..."

Kadang aku kasihan dengan mereka, tapi kalau ada yang membantu pasti juga turut jadi korban. Diangkat-angkatlah roknya, didorong-dorong. Sampai ada yang nagis digituin.

Biasanya nanti pasti datang Pak Imam, wali kelasku. Dia akan menghukum gerombolan anak laki-laki itu. Mereka takut dengan Pak Imam. Suaranya berat, sikapnya tegas. Aku kagum dengannya.

Suatu waktu Pak Imam memanggilku.

"Surti kemari, ikut bapak."

"Iya pak..."

Aku diajak masuk ke sebuah ruangan, tempat anak-anak biasanya berkonsultasi.

"Silahkan duduk..."

"Iya pak."

"Ada yang ingin bapak bicarakan."

"Ada apa?"

"...Mengenai uang sekolah kamu."

Aku tertunduk mendengar kata-kata itu. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Bayaran uang sekolahku memang sering nunggak. Aku sampai malu dibuatnya. Tapi gimana, tidak ada uang.

"Kalau kamu sampai tidak membayar lagi bulan ini... kamu harus berhenti sekolah.

"Jangan pak! Jangan... nanti pasti dibayar," ucapku dengan nada ingin menangis.

Pak Imam terdiam.

"Orang tuamu masih belum ada uangnya, yah..?"

Aku menunduk, menggeleng.

"Hmm..bapak ada solusi...kalau kamu mau....uang sekolahmu akan lunas..."

"Apa itu pak...?" Tanyaku penuh harapan.

Pak Iman diam sejenak. Kemudian ia memegang lututku. Aku kaget. Tangan itu pun bergerak masuk  ke dalam rokku mencoba mengusap pahaku. Otomatis aku tahan. Jantungku berdegup. Aku tertunduk, takut.

"Angkat rok kamu..."

Aku bingung dengan kata-kata pak Imam. Apa hubungannya dengan uang sekolah?

"Angkat rok kamu...biar bapak lihat celana dalam kamu...nanti bapak yang bayar uang sekolahnya."

Aku merasa janggal sekali dengan permintaan Pak Imam, sekaligus malu. Aku mengisut. Pak Imam menghela nafas.

"Kalau kamu tak mau, tak apa-apa... tapi bilang yah ke orang tua kamu, minggu depan harus sudah lunas," ucap pak Iman lembut. Ia menarik tangannya dari rokku dan bangun dari kursi dan menepuk-nepuk kepalaku.

Saat ia hendak melangkah pergi, aku merasa harapanku akan melayang pergi bersamanya. Reflek kutahan tangannya.

"Kalau Surti angkat rok Surti, uang sekolah Surti lunas?" Tanyaku memastikan kembali.

"Ya." Jawab pak Imam pendek. "Kenapa, kamu berubah pikiran?"

Aku mengangguk pelan.

Lalu ia duduk kembali.

"Pak Imam ingin lihat celana dalam Surti?"

"Iya."

Aku terdiam. Perlahan kutarik rokku ke atas. Tepiannya mulai melewati lutut. Naik sedikit hampir setengah paha. Pak Imam menatap tak berkedip ke arah kakiku. Tapi  kemudian aku rapikan kembali.

"Gak bisa begitu Surti...harus sampai celana dalamnya kelihatan..."

"Tapi Surti malu...."

"Nanti uang sekolahnya lunas, kalau kamu kasih unjuk."

Bayang-bayang aku tak bisa bersekolah lagi membuatku begitu takut. Akhirnya aku angkat lagi rokku hingga CD ku terlihat sedikit. Kuapit rapat-rapat kedua kakiku.

"Ayo terus...." pinta pak Imam dengan mata membelalak.

Akhirna kuangkat rokku hingga seperut, dan Pak Imam bisa melihat semua CDku yang putih dan kakiku.

Pak Imam lalu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan uang Rp.50.000.

"Bapak akan kasih ini...kalau Surti mau lebarin kedua paha Surti..."

Lima puluh ribu.. banyak sekali... aku bisa beli seragam nanti... pikirku dalam hati. Tapi aku malu...

Pak Imam kembali menghela nafas dan memasukkan kembali uang itu ke dompetnya.

"Tunggu, pak," cegahku buru-buru.

Aku menelan ludah. Jantungku berdebar kencang. Lalu kubuka perlahan kedua pahaku. Mempertontonkan daerah kemaluanku ke Pak Imam.

Pak Imam menatap bagian bawah tubuhku tanpa berkedip.

"Surti...," panggilnya lirih.

"Iya pak...."

Lalu ia keluarkan lagi selembar Rp.50.000

"Bapak kasih ini, kalau kamu mau masukin tangan kamu ke dalam CD kamu, dan keluar masukin jari tengah kamu ke lubang kamu."

Aku tidak paham dengan keinginan pak Imam. Tap yang jelas aku butuh uang dan aku bisa mendapatkannya saat ini. Maka aku pun memasukkan tangan kananku ke dalam CDku dan mulai mencolok-colok lubangku dengan jari tengahku.

Pak Imam duduk tegak tak bergeming, memperhatikan diriku. Mukaku sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Lebih cepat coloknya,Surti..."

Aku lakukan sesuai perintahnya. Aku tak mengerti buat apa.Tiba-tiba saja... aku mulai merasakan sesuatu yang aneh di lubangku ini.Di saat bersamaan lubangku terasa semakin basah dan licin.

"Ahh...ah....," Tanpa disuruh aku colok-colok makin cepat. Oohh... aku tak bisa menahan rasa ini. Apa ini... terasa ada gelombang yang menerjang di dalam tubuhku, aku tak kuasa menahan kencing. Sesuatu seperti memaksa hendak keluar dan.... "AAHHHH!!"

Tubuhku mengejang berkali-kali. Sesudah itu aku terkulai lemas dengan celana  dalam yang basah. Dan meja juga kelihatannya terkena semprotan kencingku.

Lalu pak Imam mengambil tisu dan mengelam cairan yang ada di meja dan kakiku.

"Yuk sini, Surti...kita bersihin dulu. Sebelum kamu masuk kelas."

Sambil sedikit lunglai aku berjalan mengikuti pak Imam ke WC di dalam ruangan tersebut.

Di dalam ruangan kecil berubin putih bersih, pak Imam meloloskan CD ku melewati kakiku.

"Di lepas yah..CDnya dah kotor."

Ia menaruhnya di atas tutup toilet duduk.

"Tahan roknya."

Lalu ia ambil semprotan air dan menyemprot kemaluanku dan pahaku dengan air. Kemudian ia mengusap-usap kaki dan pahaku untuk menghilangkan cairan tadi. Telapakn tangannya terasa sangat besar dan kasar. Terus terang saja, rasanya baru kali ini ada laki-laki yang menjamahku seperti ini.

Mungkin karena tadi aku dah sampai kasih lihat celana dalam dan lebarin paha, aku menjadi tidak terlalu canggung dengan yang dilakukannya kemudian. 

Lalu jari tengahnya mulai menyentuh kemaluanku dan menggsok-gosoknya sambil disemprot air. Setiap kali kurasakan jemarinya menggesek lubang kencingku. Sensasi yang tadi kembali lagi.

"Aah.." lenguhku seraya menggerakkan pinggulku.

Pak Imam diam, melihat reaksiku.

"Kenapa....enak...?" tanyanya kepadaku.

Aku mengangguk.

Pak Imam tidak bicara lagi dan terus membersihkan kemaluanku.

"Nghh...."

Kugenggam erat rokku.

Alisku merengut menahan rasa itu.

Tangan Pak Imam berhenti. Akhirnya selesai, pikirku.

"AAhhhh..." tahu-tahu kurasakan sesuatu masuk ke dalam lubangku.

"Pak.....Imammh...."

Pak Imam merangkul pundakku dan menarik tubuhku  ke dalam pelukannya. Lalu ia duduk di atas toilet duduk.

Kulihat ke bawah, jari tengah Pak Imam bergerak keluar masuk lubangku.

Terdengar nafasnya yang memburu di telingaku.

Tangan satunya masuk ke dalam baju seragam dan kaos dalamku dari bawah. Telapak tangannya mengusap perutku lalu perlahan naik ke arah dadaku. Jarinya memelintir-melintir putingku. Apa sih yang dilakukannya, pikirku tak mengerti. 

"Enak gak, bapak giniin?"

Sambil memejam mata, aku mengangguk.

Lalu ia berdiri dan menyuruhku duduk di toilet. Pak Imam membuka sabuknya, pengait celananya, dan zippernya. Ia keluarkan benda panjang dengan bulu-bulu di pangkalnya dari celana dalamnya. Aku kaget sampai menutup mulutku. 

Pak Imam menurunkan tanganku agar tak menutupi mulutku. Ia pegang kepalaku sambil mengocok-ngocok benda panjang itu di depanku.

Tidak tahu kenapa, tapi benda itu membuat jantungku dag dig dug.

Pak Imam lalu mendekatkan barangnya ke wajahku, lebih tepatnya ke mulutku. Apakah ia ingin memasukkannya ke mulutku? Takuuut....

"Isep Surti...Isep penis bapak...."

Aku masih menutup mulutku rapat-rapat. Penis itu disundul-sundulnya ke bibirku.

"Ayo Surti, buka mulutnya...."

PAk Imam mencoba membuka mulutku dengan tangannya. Saat kubuka, benda itu pun langsung masuk. Rasanya seperti Sosis yang sangat besar.

"Ngghh ahh.....," lenguh Pak Imam.

Mulutku terasa penuh. Aku bingung dengan perbuatan wali kelasku ini. Kelihatannya ia menikmatinya.

Pak Imam menahan kepalaku sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.

"Ohh....Surti...enak sekali...."

Tiba-tiba kami mendengar ada suara beberapa orang masuk ke dalam ruangan. Kami berdua kaget sekali. Pak Imam langsung buru-buru mencabut barangnya dari mulutku dan memasukkannya susah payah kembali ke celana dalamnya. Aku juga buru-buru merapikan seragamku tanpa suara. 

Semoga saja mereka segera keluar ruangan, pikirku. 

Pak Imam tampak pucat pasi. Raut wajahnya seperti orang ketakutan.

"Eh bentar, gw ke WC dulu yah...," terdengar ucapan salah satu dari mereka.

Aku hanya menatap Pak Imam, berharap ia tahu apa yang harus dilakukan. Suara langkah itu makin dekat. makin dekat.

"Ah! Loe, kita mesti cepet. Ntar aja nanti di istirahat kedua!"

"Eh, eh...aduh...ampun deh, pipis aja gak boleh."

"Ntar telat nih."

Suara yang kedua tampak sedang menarik orang tadi pergi.

"Fuh...."

Pak Imam tampak lega sekali.

"Surti... kembali ke kelas gih, sudah masuk tuh."

"Iya pak..."

"Simpan uangnya baik-baik yah, jangan kasih tahu siapa-siapa."

"Iya pak..."

Pengalaman itu hanya kusimpan sendiri. Tak kuceritakan kepada siapa-siapa. Terus terang aku tak tahu apa yang terjadi waktu itu. Rasanya aneh.

Setelah hari itu, saat mandi aku suka memainkan kemaluanku dengan tanganku. Kadang kuusap-usap, kadang aku masukkan jari. Aku mencoba memahami apa yang kurasakan waktu itu. Rasanya memang enak.

Semakin hari, aku semakin tak bisa lepas dari kebiasaan ini. Setiap kali ada kesempatan, pasti aku mainin lubangku.

Apalagi kalau di kelas, aku kan duduk di depan. Pak Imam masih suka menawarkan Rp.50.000 agar aku mau melebarkan kakiku. Lalu ia pura-pura menjatuhkan sesuatu, agar ia bisa mengintip isi rokku.

Kelakukannya suka mengusik hasratku. Aku terpaksa menyalurkan kebutuhanku di WC sekolah atau di dalam gudang sekolah yang tidak ada orang. Saat aku melakukannya, aku membayangkan kejadian di ruang konsultasi itu dan di WC, sampai akhirnya aku terkencing lagi.  

Belakangan aku mulai memperhatikan kedua orang tuaku. Ingat kan tempat tidur kami hanya satu empet-empetan.

Kalau malam kadang mereka suka melakukan sesuatu, misalnya raba-raba, cium-cium. Tentu saja mereka melakukannya kala mereka anggap aku sudah tertidur.

Ini sih bukan pertama kali aku melihat mereka melakukan itu. Tapi semenjak kejadian dengan Pak Imam, kemaluanku selau berdenyut, saat mereka berdua begitu.

Aku tak tahan. Jadinya di bawah selimut, aku pun mainin kemaluanku. Usap-usap dari luar celana.

Kala mereka sedang begituan, biasanya aku hanya bisa melihat punggung emak yang menghadap ke bapak. Banter aku melihat pantatnya diremas-remas dan punggunya diusap-usap.

Pernah sih aku kaget ngeliat kepala bapak nongol di antara kedua paha emak. Keliatannya dia sedang ngejilatin kemaluan emak.

Ah..apa yah rasanya dijilatin?

Suatu hari di sekolah, aku sedang tertimpa sial. Gerombolan laki-laki yang suka mengganggu anak-anak cewek itu mengerumuni aku. Jumlahnya 4 orang. Mereka berpakaian putih biru.

Aku sering melihat mereka, tapi aku tak kenal nama-nama mereka. Kenapa sih mereka gangguin aku. Aku kan tak pernah buat salah ke mereka.

Mereka bergerak merapat, mengurungku.

"Auh...aaaaa..." rengekku, kala seseorang yang paling gendut dari menoel teteku. Reflek aku langsung menutupnya dengan kedua tanganku.

"Eh...berani kamu ya...nutupin...," ancam salah satu dari mereka yang rambutnya keriting.

"Auh...," seruku kaget

Pantatku kini jadi sasaran toelan anak yang di balik punggungku. Aku jaga pertahanan di belakangku dengan menyilankan tangan ke belakang. 

"Pegangin...pegangin..."

Dua orang langsung memegang tanganku, dan menahannya agar tetap berad di samping badanku. Aku coba meronta tapi tenaga mereka jauh lebih kuat.

Si keriting mendekat sambil tersenyum, sambil menunjukkkan kedua telunjuknya bergerak-gerak seperti menoel-noel. Lalu tangannya pun mendekat ke arah dadaku.

"Jangan donk....," rengekku. "Lepasin."

Permintaanku tak digubrisnya. Si keriting menyentuhkan kedua telunjuknya ke daerah putingku. Daerah sensitifku pun ditoelnya berulang-ulang.

Aku reflek berontak, tapi tak bisa lepas.

"IIii... putingnya mengeras coy...," ucap si keriting kegirangan.

Tiba-tiba aku melihat sebuah kepala berada di antara kedua kakiku.

"Wuih...putih....srllp..."

Kenapa sih cowok suka ngintip CD ku...?

Toelan si keriting, mengusik hasratku. Tapi di sisi yang sama, aku kesal dengan perbuatan mereka.

"Bejeerk!" tiba-tiba saja terlintas di benakku untuk menginjak kepala si anak yang kurang ajar itu.

"AAWWW!" Teriak si tukang intip itu kesakitan, sambil memegangi wajahnya.

"Wee...berani lo ya!" Si keriting tampak marah.

Kancing bajuku ia lepas satu persatu.

"Jangan...."

Setelah seragamku terbuka, ia angkat kaos dalamku. Lalu ia toel-toel lagi, putingku dengan cepat tanpa ada yang memisahkan jarinya dengan putingku.

"Aahh..."

Bayangan pak Imam ketika dulu memainkan putingku di WC berkelebat di benakku. Rasa itu kembali terbakar.

Pak Imam tolongg... panggilku dalam hati. Di saat seperti ini biasanya ia selalu datang menolong gadis-gadis yang diganggu mereka.

"Srrttt.." zipper rokku ada yang membukanya. Jepitan rokku tba-tiba terasa mengendur. Aduuhh anak yang tadi kuinjak, melorotin aku.

CDku pun ditariknya. Kuapit kedua kakiku agar jangan sampat lepas. Tapi apa daya usahaku sia-saia. CD itu copot dari kedua pahaku.

Semua anak laki-laki disitu memandangi bagian bawahku tanpa berkedip. Sama seperti Pak Imam.

"Gw mau coba jilat kemaluannya ah, kayak bapak gw ke ibu gw." ucap yang meloroti aku dari belakang.

"Gile lo, ngintip bonyok sendiri," kata anak yang rambutnya botak yang sedang memegangi tanganku.

"Ah...gak sengaja...."

Anak itu berjalan ke depanku sambil membungkuk melewati tangan temannya yang sedang sibuk menoel-noel putingku.

Ia berlutut. Kurasakan kedua telapak tangannya meraih pantatku dan mendorong bagian bawahku ke wajahnya.

Hembusan nafas dapat kurasakan di daerah selangkanganku.

"Wow...cantik kemaluannya."

Sedetik kemudian kurasakan benda lunak yang basah, membelah bibir lubangku.

"AAahhh...."

Bergetar kakiku saat daerah itu dijilat-jilat. Inikah yang emakku rasakan saat dijilat bapak?

Ingin rasanya aku menjerit meminta tolong. Tapi takut dan malu kalau orang-orang menemukanku dalam keadaan seperti ini.

PAK IMAAMM! Jeritku dalam hati.

"HEI! NGAPAIN KALIAN!" Suara berat nan keras tiba-itba menggelegar.

"Pak Imam! Pak Imam datang! Kabur! Kabur!" seru anak-anak pengganggu itu berhamburan.

"Mau kemana kalian!" Kedua tangannya yang besar dengan cepat merengut kerah dua dari empat anak nakal itu. Mereka sampai tercekit tertarik ke belakang, seperti ayunan. Ibarat daging di pasar yang digantung di pengait, mereka terangkat sampai jinjit-jinjit. 

"Kamu tak apa-apa Surti?"

Aku menggeleng sambil menangis. Syukur Pak Imam akhirnya datang. Kulihat Pak Imam memperhatikan tubuhku yang belum sempat kututupi. Mukanya memerah.

"Ya sudah, kamu rapikan bajumu," susul bapak untuk menyelesaikan masalah ini.

Pada akhirnya keempat anak itu diskors. Dan aku diberi konseling oleh ibu Endar, guru agama.

Tapi semua yang kualami hanya membuatku aku semakin cepat berhasrat.

Kini kalau Pak Imam ingin mengintip rokku, kadang aku sudah tak pakai lagi CDku. Efeknya sungguh luar biasa ke dirinya. Ia sampai tak bisa mengajar dengan baik di kelas.

Di rumah kala emak dan bapak lagi gituan, aku pun tidak melepaskan kesempatan itu untuk merangsang kemaluanku. Aku jadi seolah-olah sedang melakukan apa yang mereka lakukan bersama-sama.

Seminggu kemudian, di suatu malam bapak tidur di tengah. Biasanya di pojok. Tahu-tahu bapak berbalik dan tanngannya menindih tubuhku. Duh beratnya. Kudorong pelan, supaya ia balik lagi. Tapi susah sekali. Grookk... ah..pakai ngorok..gimana aku bisa tidur.

Tiba-tiba saja, tangannya itu menyelusup masuk di antara kedua pangkal pahaku. Shh...alamak...ahh...hasratku bangkit lagi ...situnya kepegang.

Aku coba dorong lagi badannya, tapi tidak bisa. Jadinya aku pasrah saja kemaluanku dipegang-pegang bapak dari luar celana.

Bapak gak pernah berbuat seperti ini sebelumnya. Kulihat wajahnya seperti orang tertidur. Tapi tangannya terus bergerak-gerak menggesek selangkanganku. Ya sudah aku diam saja. Bahkan aku lebarin kedua pahaku. Aku pejamkan mataku, menikmati gerakan-gerakan yang dilakukan bapak di bagian bawah itu.

Lama-lama gerakannya makin cepat. Alisku sampai merengut merasakan kenikmatan gerakan tangan bapakku. Kurengut-rengut kain selimut. Lalu kupegang tangan bapak, merasakan gerakan tangannya yang membuatku merasa seperti ini.

"Aah..." jeritku dalam hati, rasa geli smakin memuncak.

Srr...srr...srrrr... akhirnya aku keluar...

Keesokan paginya bapak bersikap seperti tidak terjadi apa-apa malam itu. Tapi aku jelas tidak dapat menyembunyikan perasaanku. Ada rasa malu, aneh, bercampur aduk.

"Mak, pak, Surti pergi ke sekolah dulu ya...."

"Sekalian sama bapak yuk," kata bapak. Bapak juga mau pergi ke pusat.

"Gih pergi sama bapak, tumben tuh dia mau nganterin...," ucap emak. 

Aku diam saja. Bayang-bayang semalam masih teringat jelas di pikiranku.

"Bu, aku pergi dulu ya..."

"Ati-ati di jalan ya...."

Aku dan bapak berjalan bersama. Ia menggandeng tanganku. Sudah berapa lama, ya aku tidak berjalan bersama bapak. Biasanya pagi-pagi subuh ia sudah pergi duluan dan aku selalu berjalan sendiri ke sekolah.

Saat di jalan, tiba-tiba bapak mengambil jalan yang bukan jalan tercepat ke sekolah. Ia mengambil rute yang lain. Aku bingung. Tapi aku ikuti saja.

Setelah itu eh malah makin menjauh dari jalan.

"Pak kita mau kemana?"

"Ikut saja..."

Kami berjalan melewati jalan setapak yang mulai berubah menjadi tanah. Terdengar suara sungai dari kejauhan. Rupanya kami sedang menuju salah satu sungai yang ada di desa kami.

Di pinggir sungai ada sebuah batu yang besar. Bapak duduk disitu.

"Surti, ayo sini bapak pangku."

Aku melompat ke pangkuannya. Sudah lama aku tidak dipangku olehnya. Aku merasa senang. Tapi bagaimana sekolah? Hari semakin siang.

"Pak, aku ntar telat..."

"Gak apa-apa, hari kamu gak usah sekolah."

"Kenapa?"

"Ada yang ingin bapak bicarakan sama kamu..."

"Bicara apa?"

Angin bertiup sepoi. Air bergemericik. Sesekali kurasakan cipratan air sungai yang terbelah di batu.

"Kamu suka dengan yang bapak lakukan semalam?"

Aku terdiam sejenak.

"Yang mana?" Tanyaku pura-pura tak tahu.

"Waktu bapak pegang-pegang kemaluanmu..."

Mukaku memerah dan aku tertunduk. Kubiarkan rambutku yang seleher, jatuh menutupi wajahku.

Bapak menyampirkannya ke telingaku.

"Surti suka gak...?"

Aku menatap nanar ke sungai. Diam seribu kata.

Bapak membelai kepalaku lembut.

"Suka?" Tanya bapak lagi...

Aku mengangguk.

"Alasan bapak melakukan itu, karena bapak suka lihat kamu usap-usap sendiri, kalau bapak lagi main sama emak. Bapak terangsang ngeliat kamu begitu..."

"Terangsang itu apa, pak?"

Bola mata bapak, menatap ke atas lalu bergerak kiri dan kanan. Seolah ia mencari jawaban di atas kepalanya.

"Terangsang itu seperti ini..."

Tangan bapak menyentuh betisku. Lalu perlahan merambat naik. Menyelusup masuk ke dalam rok merahku, melewati lutut. Kemudian ia mengusap-usap pahaku.

Aku menatap wajahnya. Nafasku jadi tak beraturan. Tangannya yang lain menyelip lewat lengan atasku, menyentuh dadaku dan mengusap-usap daerah putingku.

"Pak...," ucapku lirih. Kurebahkan kepalaku di dadanya.

"Surti mengerti?"

"Ngerti pak..."

Tangan bapak yang mengusap pahaku, kini jari telunjkknya menggesek-gesek belahan lubangku dari luar CD. Tanpa ragu kulebarkan kedua pahaku, membiarkan ia kembali melakukan hal yang semalam kepadaku.

"Tarik roknya, nak...bapak mau lihat paha dan CD kamu...."

Aku sudah mengerti kesukaan laki-laki. Kutarik rok merahku hingga bapak bisa melihat leluasa bagian bawah tubuhku.

"Bapak ingin Surti lepas CD?" Tanyaku berbisik?

Bapak menatapku, tak menjawab. Lalu ia mencium bibirku.

"Iyah, lepas gih..."

Aku turun dari pangkuan bapak, berdiri di dalam sungai yang dalamnya semata kaki.

Aku memungguni bapak. Kulepas rokku dan kulempar ke tanah. Selanjutnya kutarik ke bawah CD ku. Aku membungkuk, untuk meloloskan dari kakiku.

Di saat itu aku sedang membungku itu, tiba-tiba aku merasakan sebuah jari, masuk ke lubangku dari belakang.

"Aaaah..."

"Cantik kemaluanmu surti..."

Bapak menusuk-nusuk lubangku dari belakang.

CD yang belum sempat kulepas, dan masih tersangkut di kaki kiri menjadi basah terendam air sungai.

"aah..ahh...pak...ahhh," aku melenguh seperti tidak pernah sebelumnya.

"Surti...bapak terangsang banget nih...."

"Gara-gara Surti?"

Kemaluanku terasa geli sekali.

Tiba-tiba saja tusukan jari itu berhenti. Aku menengok kebelakang, kenapa bapak berhenti. Kulihat bapak melepaskan sabuk celanannya, membuka reseletingnya dan mengeluarkan sebuah batang panjang seperti yang pak Imam pernah lakukan.

"Surti berlutut..."

Aku menurutinya.

"Bapak mau main di mulut kamu, nak."

Aku ada dugaan apa yang ingin ia lakukan. Aku membuka mulutku. Ternyata benar, batang bapak dimasukkan ke dalam mulutku.

Bapak mengeluar masukkan benda itu ke dalam mulutku.

"Shh..ahh...ah...enak nak..."

Ia menahan kepalaku. Pinggulnya digerakkan maju mundur. 5 menit ia begitu.

Kulirik wajah bapak, tampaknya ia keenakan sekali.

"Sedikit lagi...sedikit lagi...."

Sedikit apa? Pikirku...

CRRoot crottt crott

Kurasakan cairan hangat kental menyembur di dalam mulutku. Aku kaget setengah mati. Apakah bapak kencing di mulutku.

Aku ingin segera menarik mulutku, tapi bapak masih menahan kepalaku. Semburan itu pun perlahan mengecil.

Baru setelah itu aku dilepaskan. Aku buru-buru berkumur dengan air sungai. Kok lengket ya...?

"BApak! Kenapa kencing di mulut Surti?"

"H?" Bapak tampak keheranan lalu tertawa...

"Bukan...Surti itu sperma bapak...."

"Apa itu sperma...?"

"Shh...nanti kamu juga mengerti...."

Ayo sini kamu senderan di batu besar itu.

"Ntar ah.... Surti kumur-kumur dulu..."

"Yah...lekas kesini yah kalu sudah..."

Bapak menunggu di dekat batu itu, memperhatikan aku yang sedang membersihkan mulut.

Setelah selesai, aku menghampirinya.

"Ayuh bersender...."

Aku menurut

"Kamu tuh cantik kayak emakmu..."

"Masak sih...?"

Lalu bapak menciumku...mermbat turun ke dada, ke perut, hingga akhirnya selangkangku dicumbunya.

"Ahh..."

Jilatannya menyapu dari belakang hingga ke depan. Berulang-ulang. Kadang masuk ke dalam, mengaduk-aduk isinya.

"Mmhh....."

Aku jadi tak tahan. Pinggulku turut bergoyang.

Owh...apakah teman-temanku yang lain juga begini dengan bapak mereka? Pikirku.

Kulepas kancing bajuku. Kuangkat kaos dalamku. Kumainkan putingku sendiri, sambil memperhatikan bapakku menjilati kemaluanku.

"Bapak...Owh..."

Kugigit bibirku menahan rasa yang menjalar dari bawah ke sekujur tubuhku.

"Pak ingin kencingg....."

Bapak tak bicara apa-apa, hanya saja jilatannya makin dipercepat. Aku merengut rambutku, menahan rasa ini.

"Ahh..ahhhhh..."

Tiba-tiba tubuhku mengejang berkali-kali.

Sesuatu yang deras menyemprot dari lubangku.

Bapak mencoba menghindar, tapi sebagian cairannya mengenai wajahnya.

"Wah Surti...deras sekali orgasmenya..."

"Ahhhh.." aku terkulai lemas di batu.

Nafasku tersenggal-seggal.

Orgasme? Apa lagi itu?

Hari itu aku dan bapak jalan-jalan ke berbagai tempat, melihat-lihat pemandangan. Kami menangkap ikan di sungai dan memetik buah di hutan. Kukumpulkan kayu bakar, membuat api unggun dan kami panggang ikan-ikan tersebut. Enaknya.

Buah segar sebagai pencuci mulut.

Kemudian Aku bermain petak umpet. Bapak jaga, dan aku bersembunyi. Saat aku keluar dari persembunyian untuk menepuk tempat jaga. Eh keduluan.

Sebagai hukumannya bapak membuka kancing-kancing seragamku, kaos dalamku diangkat, hingga putingku keliatan. Rokku dilepas, dan CDku diturunin setengah paha. Aku disuruh berlutut di tanah. Ia keluarkan batangnya dan aku dimintanya menghisapnya lagi.

"Shhh Surti...enak bagnet...."

Aku hisapa batangnya sampai spermanya keluar.

Setelah itu kami pulang.

Di dalam perjalan pulang kami bercakap-cakap.

"Pak.. emang bapak dan emak juga melakukannya yang kita lakukan tadi?"

"Iya..."

"Emak juga hisap batang bapak?"

"Iya.."

"Bapak suka jilat kemaluan emak?"

"Iya...Kan Surti sudah lihat bapak dan emak main."

"Surti boleh ikutan gak, kalau bapak dan emak main?"

"Mmm...emak mungkin gak setuju..."

"Kenapa...?"

"Mmm...memang Surti beneran ingin ikutan?"

"Iya..."

"Ya udah kita ke warung sebentar ya..."

"Ya..."

10 menit kemudian kami sampai di warung remang-remang. Bapak berbicara dengan pemilik warung. Ia sudah tua, rambutnya panjang seleher dan bewarna putih. Kalau tertawa, kelihatan giginya tinggal sedikit.

"Pak, minta raja malam sebungkus"

"Raja malam? Hehe... kenapa istrimu lagi gak bergairah?"

"Bukan....gak jadi deh, saya minta dua bungkus..."

"Buat dua malam nih...?"

"Bukan..satu malam saja..."

"Wah, wah... ada yang ingin sampai pagi nih..."

"Shhtt... dah ah ada anak kecil."

Setelah membeli entah apa itu, kami pun pergi lagi. Hari sudah agak sore. Akhrinya kami sampai di rumah.

"Lho kok kalian berdua pulang barengan?"

"Ya kebetulan papasan di jalan," jawab bapak. "Dah masak?"

"Ini lagi siapin lalap buat makan malam."

"Oooo...."

Aku segera mencuci tangan dan membantu emak menyiapkan makan malam. Sementara bapak mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Kulihat ia mengeluarkan dua bungkus raja malam dari sakunya, dan menuangkan isi serbuk ke dalam minuman itu. Ia mengaduknya.

"Bu..," panggilnya seraya melangkah mendekatinya.

"Ini diminum dulu."

"Duh, bapak baik banget...tumben ambilin air buat aku."

"Dihabisin..."

"Iya..."

Glek..glek..glek..

Emak meminum habis air putih yang diberikan bapak.

Lalu kami berdua lanjut mempersiapkan makanan.

3 menit kemudian, aku mulai melihat emak seperti gelisah.

"Ibu kenapa? Sakit?"

Emak menggeleng.

"Enggak"

Lalu ia berdiri menghampiri bapak. Kudengar ia berkata.

"Pak, badanku rasanya aneh..."

"Aneh bagaimana....?"

Emak membungkuk membisikkan sesuatu ke telinga bapak. Bapak tersenyum.

Kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam rok emak.

"Eh...pak, jangan...ada Surti...," ucap emak seraya menahan tangan bapak bergerak naik ke atas.

"Aku juga pengen kok, bu..."

"Iya...tapi gak sekarang...Ada Surti..."

"Kamu cantik deh..."

Bapak memeluk emak, dan menciumi lehernya. Tangannya meremas-remas dada emak yang besar.

"Pak Jangan...ada...Sur...ahh..."

Aku menelan ludah menyaksikan mereka berdua seperti itu. Hasratku jadi naik lagi.

Bapak memasukkan tangannya ke dalam baju emak lewat leher, dan meremas dada kirinya dari dalam baju.

"Tete kamu memang besar, Sri..."

"Selalu bikin aku nafsu...pengen dijepit hari ini pake buah dada kamu..."

"Aahh.....kamu....ngomongnya..."

"Salah ya...?"

"Enggak sayang....," ucap emak seraya meremas benda bapak dari luar celananya.

Bapak menurunkan baju di pundak emak.

Tiba-tiba..."Stop..stop pak...aduh..gimana ini... ada ap denganku. Surti pak...ada Surti..."

"Shh...mau kemana sayang.."

Bapak menarik emak hingga terduduk di tempat tidur, bapak terus menggerayangi tubuhnya.

"Surti...kemari...," panggil bapak.

"Ii..Iya pak..." Jawabku tergugup, aku berjalan mendekati mereka berdua.

"Bantu emakmu terangsang yah..."

Hmm..gimana...caranya...ya sudah aku coba masukin tanganku ke rok emak dan mengusap-usap pahanya.

"Surti..kamu ngapain nak...," tanya emak dengan nafas tersenggal-senggal.

Usapanku kunaikkan hingga menyentuh kemaluannya. Kuelus-elus daerah itu dari luar CD-nya. Emak mengernyit sambil menggigit bibirnya. Tangannya merengut-rengut celana bapak. Kain CD emak mulai terasa hangat dan lembab.

Kumasukkan tanganku ke dalam CDnya dan kucolok-colok lubangnya yang sudah basah dengan jari tengahku.

"Owh...jangan nak.....," kata emak sambil menggeleng. Ia hendak menarik lenganku, tapi bapak mencegahnya dan menahannya. 

Aku tahu kalau laki-laki suka melihat CD ku...tapi kalau perempuan kayak emak...gimana ya...,aku coba deh, aku naik dan berlutut di atas tempat tidur dan kuangkat rokku.

"Emak...," panggilku sambil memperlihatkan bagian bawah tubuhku kepadanya

"Surti...," ucap emak dengan suara perlahan.

Mmm...keliatannya tidak ada reaksi yang berarti. Emak hanya membelai-belai rambutku.  Aku tak tahu, apakah aku berhasil merangsangnya?

"Surti, anak emak sayang," ucapnya. Lalu tangannya bergerak dan menarik turun celana dalamku hingga setengah paha. Kemudian telapak tangannya mengelus-elus kemaluanku.

"Emak....," seruku dengan suara yang birahi. Aku gerak-gerakkan pinggulku mengikuti gerakan tangan emakku.

"Shh...yah gitu sayang...," bisik bapakku di telinga emakku.

Bapak menarik baju emak  hingga dada kanannya yang besar terlihat.

"Surti jilatin puting emak nih..."

Aku menurut, kumasukkan puting emak ke dalam mulutku dan aku mulai menyusu di dadanya.

"NGhhh ahhhh...."

Saat aku lakukan itu emak makin gelisah. Kemaluanku pun digosok-gosok semakin cepat. Geli sekali rasanya. Di saat berasamaan bapak meraba-raba pahaku naik turun, terkadang ia remas-remas pantatku. Aku jadi terangsang banget.

"Surti...jilatin emak....," pinta emak. Ia buka celana dalamnya dan buka lebar pahanya. Emak menarik kepalaku ke arah kemaluannya.

Karena sudah beberapa kali lubangku dijilat, aku kurang lebih tahu apa yang harus kulakukan. Kubuka bibir lubang emak, mulailah kujilat-jilat semuanya.

"Angghhh..."

"Enak Sri...?" tanya bapak.

"Banget...."

"Kamu suka kita main bertiga seperti ini....?"

"Hmm..gak tahu...gak bisa mikir....aneh banget malam ini...horni banget..."

"Aku juga...terangsang banget lihat kamu dan anak kita...pengen entotin kalian"

"Shh...ayoh pak... entotin aku...entotin anak kita...."

"Kamu buka bajunya..."

"Iya..."

"Surti...," Panggil bapak.

"Ya, pak...?"

"Buka seragamnya, telanjang bareng emak..."

Aku lepas kancing seragam satu persatu. Kubuka dan kulipat bajuku, sekalian kaos dalamku. Kutaruh di tempat baju kotor. Emak juga sudah melepaskan pakainnya dan berbaring bugil. Ia mengusap-usap kemaluannya sambil memperhatikan bapak yang sedang membuka bajunya. 

"Surti, celana dalamnya jangan dilepas, ya.."

"Iya pak, ini masih dipake."

Aku kembali ke tempat tidur.

Kulihat batangnya bapak sudah tegak mengacung.

Bapak memelukku dan menggendongku. Salah tangannya membelai pantatku, lalu menggosok-gosok belahan kemaluanku maju mundur dari belakang dari luar CD.

Aku pasrah digituin dan bergelantung saja di lehernya.

Selanjutnya aku diturunkan kembali.

"Surti nungging ya, sambil jilatin lagi itunya emak.."

"Iya pak."

Aku menaikkan pantatku sambil bergerak mendekati kemaluan emak. Emak melebarkan kedua kakinya menyambut kedatang lidahku di selangkangannya.

Yang tak kutahu adalah apa yang hendak dilakukan bapak. Tiba-tiba saja aku merasa seperti ada dahan besar yang menerobos lubangku yang kecil. Kepalaku sampai mengadah dan menjerit, "Aaaahh..."

Dahan itu keluar dan masuk lagi, "NGghhh..."

"Ba..pa..k...ba..pak...ngapain...nn...," tanyaku terbata-bata, karena tubuhku bergerak maju mundur dan menahan rasa nikmat.

"Bapak lagi ngentotin Surtih, nyetubuhin Surti."

Sementara itu emak memintaku untuk terus menjilat lubangnya, "Ayo nak jangan berhenti..."

"Srii...aku lagi ngentotin anak kita...."

"Iya, pak aku lihat..."

Bapak memegang pinggulku dengan erat. Kurasakan gerakannya makin kasar dan kuat. Batangnya menyeruak masuk ke dalam lubang. Disitulah aku mulai merasa kesakitan.

"Auuu...pak, stop...stop....sakit...."

Emak bangkit dari baringnya. Ia merapatkan tubuhnya ke badanku. Sehingga ku jadi agak nunggin berlutut.

"Tahan nak, ntar....enak...," ucapnya seraya menciumku dan memelintir putingku.

"Mmh mmhm...," aku tak dapat berteriak terkunci dalam cumbu emakku.

Dan memang benar, tak lama rasa sakit itu menghilang dan berganti rasa geli-geli nikmat dan itu tak dapat kubendung lagi. 

Srr....srrr....srr.... aku terkencing.

"Dah keluar ya nak...?"

"Iya pak..."

"Ya dah bersihin dulu, ya...yuk ke WC.."

Aku dan bapak melangkah ke WC. Bapak mengambil gayung dan membersihkan kemaluanku.

Ada darah yang mengalir ke saluran pembuangan.

"Pak kok ada darah...?"

"Gak apa-apa nak, itu darah keperawanan, nanti kamu kalau main gak sakit lagi..."

"Sri...kemari," Panggil bapak.

Emak datang mendektai kami.

"Kalian berdua senderan di tembok, jongkok."

Kemudian bapak menarik tangan kami berdua dan menaruhnya di selangakan kami satu sama lain.

"Kalian saling masturbasi, bapak mau masukin penis bapak di mulut kalian.."

"Sini, pak, aku isepin penis bapak..," ucap emak dengan bergairah.

Batang bapak yang panjang itu diarahkan ke mulut emak, disodok-sodoknya benda itu ke mulutnya.

"Owwwhh shh....."

Setelah itu bapak cabut, ia arahkan ke mulutku. Besar banget batangnya, rasanya hampir tak muat di mulutku.

"Mmhh...shhh Surti, kecil banget mulutmu..."

Gerakan bapak berubah menjadi perlahan karena agak kesusahan.

"Ahh...ahh...ahh"

"Sri...aku dah mau keluar....aku mau keluarin di lubang kamu."

Bapak mencabut batangnya dari mulutku. Ia tarik emak kembali ke tempat tidur. Ia rebahkan emak, lalu ia tindih. Dengan gerakan yang sangat cepat, pinggulnya bergerak-gerak maju mundur.

"Nghh ahh..ahh..ahh.ahha.hhh..ah.."

Kepala emak bergerak kiri kanan dengan mata terpejam. Ia usap-usap, rengut dan jambak kepala bapak.

"Sri..Sri..aku..keluaaar....."

Aku hanya melihat dari WC bapak mencapai klimaks, Tubuhnya mengejang hebat. Sebelum ia terkulai lemas di atas tubuh emak.

Apa yang terjadi seterusnya pada malam itu adalah rahasia kami bertiga.

Keesokan harinya, emak menangis tersedu-sedu.

"Huu... apa yang telah kuperbuat...apa yang telah kita perbuat..."

"Sudah tenang..gak apa-apa," bapak mencoba menenangkan emak.

"Gak apa-apa apanya!" Bentaknya sambl memukul lengan atas bapak.

"Surti...hu u u...maafin emak nak...emak gak sadar apa yang ibu perbuat kemarin..."

Emak berlari menghampiriku, berlutut di tanah dan memelukku erat.

"Emak kenapa nangis?"

Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Hanya ada suara sesegukan.

3 menit kemudian, emak melepaskan pelukannya dan kami salling memadang. Kuusap air mata yang jatuh di pipi.

"Emak gak usah sedih....," hiburku.

"Maafin, emak ya.?"

"Maafin kenapa...?"

"Iya..yang semalam..."

Emak tak bisa lanjut berkata-kata. Ia menunduk.

"Emak....," panggilku lembut.

Emak mengangkat kepalanya. Kutatap wajah emakku yang kusayang.

Kudekati bibirnya, kemudian kucium. Kukeluarkan lidahku masuk ke mulutnya.

Tanganku masuk ke dalam bealahan leher bajunnya dan meremas-remas dadanya yang montok.

Emak mendorong tubuhku.

"Surti...jangan..."

Kuraih tangan emak. Kuangkat rokku dan kumasukkan tangannya ke dalam CDku. Lalu kuberbisik di telinganya, "Setiap hari, kalau emak mau, Surti akan jilatin lubang emak." Kemudian kubasahkan telinga emak dengan lidahku, dari tepiannya merambah hingga ke tengahnya.

Emak diam tak bergeming. Aku hanya mendengar ludah yang tertelan masuk ke tenggorokan.

"Emak mau kan lubangnya dijilatin...seperti semalam?"

Kujilati lehernya seperti saat kujilat-jilat lubang emak kemarin.

Tak lama kemudian kurasakan tangannya mulai bergerak perlahan menggosok belahan lubangku.

"Mmh...enak mak..," ucapku lirih.

AKu kembali mencium bibirnya dan memasukkan lidahku lagi ke dalam. Emak menyambut lidahku dengan lidahnya.

Lalu ia berhenti lagi dan memelukku.

"Maafin emak, Emak birahi ama Surti...," katanya sambil mengusap-usap punggungku. Perlahan turun ke pantatku. Lalu telapak tangannya menyusup masuk ke dalam rokku. Ia remas-remas kedua bongkah pantatku yang masih terbalut celana dalam. Sebelum akhirnya ia usap kemaluanku dari belakang.

"aah..Gak apa-apa, mak...ahh..ahhh"

"MAafin....," ucapnya. Kini jarinya menyelip dari pinggir CDku dan menusuk-nusuk lubangku dengan cepat.

"Gak apa-apa emak sayang...," jawabku sambil mulai mempercepat jilatanku di leher dan di telinganya.

"Mmhh ahh...Surti...mmhh..Surti, jilatin lubang emak sekarang..."

Emak berdiri dan melepaskan bajunya. Ia pegang kepalaku dan mendekatkan kemaluannya ke wajahku. Aku pun menjulurkan lidahku dan mulai membelah belahan bibir kemaluan emakku.


Yah pagi itu, emak kubuat orgasme dengan lidahku.

date