Naluri biseks pada diriku yang menuntun aku untuk bertualang di seputar para waria.
Demikian
banyak waria bisa aku temui di Jakarta ini. Mereka ada di jalan
Krakatau, Taman Lawang, di seputar Taman Anggrek, di kolong jembatan
Dukuh Atas, di kolong jembatan Jatinegara dan banyak tempat lainnya.
Di
Taman Lawang mereka adalah termasuk waria yang dianggap berkelas elite.
Tidak jarang diantaranya ada yang orang berada atau berpendidikan
tinggi. Banyak diantara mereka yang saat siang hari adalah para karyawan
golongan menegah ke atas.
Mereka memang tidak memerlukan uang kita. Tetapi menerima uang dari kita merupakan sensasi seksual yang sangat mereka nikmati.
Mereka
merasakan puas saat seorang lelaki menggaulinya dan membayar atas
kepuasan seks yang mereka suguhkannya. Mereka merasakan sensasi saat
seorang lelaki mesti membayar sejumlah uang sesudah menciumi penisnya
ataupun menjilati analnya.
Dan mereka juga demikian menikmati
saat tawar menawar mengenai berapa besar seseorang mesti mengeluarkan
uangnya untuk menikmati organ-organ tubuhnya. Bahkan terkadang dalam
rincian, misalnya Rp. 10 ribu untuk mencium pipi, atau Rp. 15 ribu untuk
menjilat pentil susunya, atau Rp. 20 ribu untuk bisa mengurut-urut
penisnya.
Tetapi juga jangan heran, kalau syahwat mereka sudah
birahi berat pada anda, bukan anda yang mengeluarkan uang, mereka akan
memberi anda uang atau kenikmatan atau apapun yang anda minta.
Pada
dasarnya para waria di Taman Lawang ini rata-rata memang haus sentuhan
seksual. Mereka mencari kepuasan yang bisa menyalurkan kebutuhan
libidonya.
Begitulah sore itu, Jumat malam, besok Sabtu yang
libur, aku iseng. Dengan sepeda motor Hondaku aku menghirup udara sore
Jakarta, lewat daerah Menteng dengan satu tujuan, Taman Lawang. Aku
tahu, di tempat ini akan ramai sesudah jam 9 malam ke atas. Tetapi nggak
masalah. Banyak warung remang-remang di seputar Taman Lawang. Mereka
jual ronde, kopi, makanan kecil, bakmi goreng atau kalau pengin yang
agak panas, ada juga OT atau anggur cap Orang Tua, yang dijamin langsung
limbung dan dunia rasa berputar sesudah menghabiskan beberapa sloki
saja.
Nah, kini aku duduk di bangku panjang di udara terbuka di
sebuah warung kaki lima. Duh, sungguh indah Jakarta ini. Lihatlah betapa
langit yang cerah penuh bintang. Bayangkan dengan duduk begini aku bisa
menikmati segalanya. Menikmati udara yang segar, cuci mata dan mengisi
perut dalam suasana yang akrab dan ramah.
Penjual warung
menyambutku dengan girang dan melayani permintaanku secepatnya. Demikian
pula para pembeli lain yang terlebih dahulu datang, mereka menganggap
aku sebagai bagian dari mereka. Kami bisa langsung ngobrol dan
berkelakar.
Tanpa terasa waktu sudah merambat. Jam tanganku
menunjukkan pukul 8.30 malam. Nampak beberapa mobil parkir meramaikan
jalan. Sorot lampu-lampu Jakarta menunjukkan pesonanya. Beberapa waria
mulai berdatangan. Entah dari mana mereka. Seakan muncul begitu saja
dari dalam bumi. Mereka tampil dengan dandanan dan mode terakhir.
Aku
lihat di seberang sana ada 'lady boy' memakai busana kulit. Rasanya
model itu milik Giorgio Armani yang baru tadi malam kusaksikan di CNN
pada pesta mode di rumah modenya di Paris. Dan yang itu, sebelah
kanannya, si 'cantik jantan' yang jangkung dengan baju belah punggungnya
yang woo.. bukan main.. seksi bangeett..
Tiba-tiba seseorang menepuk punggungku, "Maass.. bagi rokoknya dong.."
Begitu aku nengok, wah.. Aku kaget banget. Kenapa ada hantu Ancol di sini?!
Seorang
waria yang cantiknya luar biasa mengingatkan aku akan Dyah Permatasari
yang hantu cantik itu. Hantu itu kini sedang bergelayut di pundakku.
Duh, duh, duh.. Rasanya aku benar-benar sedang berhadapan dengan hantu
yang luar biasa cantiknya itu. Aroma parfumnya langsung menerpa
hidungku.
"Rr.. Rokok yang mana?", jawabku agak gugup..
"Yang ini", balasnya juga spontan sambil membungkuk dan mengelusi gundukkan celanaku.
Aku
tersenyum dan hilang gugupku. Aku mengeluarkan bungkusan rokok
kretekku. Namanya Vera. Anak Palembang, 19 tahun, kulitnya putih,
jangkung, rasanya diatas 170 cm. Wah, macam ini yang memang selalu aku
dambakan. Tulang pipinya itulah yang membuat Vera ini benar-benar mirip
Dyah Permatasari.
Dengan celana jeans ketat yang dipadu blus 'u
can see' yang memamerkan bahunya yang putih mulus banget, tampilan
jangkung Vera sungguh membuat penisku langsung ngaceng. Aku membayangkan
betapa nikmatnya apabila hidung dan lidahku bisa menelusuri bahu itu.
Betapa nikmatnya saat menguak bahu indah itu dan mendapatkan hamparan
lembah ketiaknya yang putih bersih dan pasti indah serta harumnya.
Wajah
dan make-up Vera juga membuatnya semakin mirip dengan Dyah Permatasari
yang jadi hantu cantik seksi itu. Ah, jangan sampai kulepaskan dia. Aku
langsung jatuh cinta rasanya.
Dan sebaiknya aku cepat bawa pergi
sebelum ada buaya lain yang menyambarnya. Semula aku merencanakan untuk
mengajaknya ke jalan Tanah Abang. Disana ada hotel kecil yang banyak
didatangi para homo atau mereka yang kencan dengan transeksual atau
waria macam ini. Aku sudah beberapa kali menggunakan jasa hotel kecil
aman ini. Tetapi Vera pengin bermesraan dengan aku di pinggir laut, di
pantai Ancol. Aku agak terpana. Jangan-jangan dia benar-benar setan
Ancol. Ah, biarlah.. Kalaupun dia benar-benar hantu aku nggak akan
pernah menyesal tidur dengan Vera yang sangat cantik ini.
Aku
memboncengkan dia dan membawanya ke Ancol. Kami masuk ke kawasan Marina
Ancol dimana banyak kapal-kapal mewah ditambat di sana. Begitu aku
memasuki kawasan tersebut ada seseorang mendekati kami,
"Mau
santai di kapal, Oom. Sepi dan aman di sana. Kalau mau juga bisa pesan
minum. Mau yang panas atau dingin. Pokoknya Oom jangan khawatir. Saya
jagain. Sampai pagi juga boleh kalau cocok harganya".
"Mau di kapal?", kutanya pada Vera.
"Boleh juga. Sekalian nyobain kapal mewah ya Mas", jawaban Vera yang manja sembari menggelayut di pundakku.
Sesudah
bicara dan tawar-menawar tak resmi, karena hal itu semata obyekan
penjaga kapal, kami mendapatkan tempat yang sungguh-sungguh nyaman.
Sebuah kabin di yacht mewah yang sedang tambat di dermaganya. Nggak tahu
punya siapa. Aku taksir punya salah seorang konglomerat Indonesia, nih.
Atau jangan-jangan punya pejabat korup. Kalau begitu, ini uang rakyat,
dong. Artinya uangku juga, khan? Woo.., asyiikk..
Sementara
menunggu pesanan minuman dan makanan kecil kami saling meremas dan
berpagutan. Nikmatnya bercumbu dengan waria seperti Vera ini adalah
perabot tubuhnya yang serba besar. Aku mencium dan melumat bibirnya dan
demikian juga dia melumat dan memainkan lidahnya di mulutku. Aku
merasakan betapa mulut dan lidahnya sangat gede. Beda dengan ukuran
mulut dan lidah Ningsih pacarku.
Aku juga merasakan betapa aku
bisa menyedoti ludahnya yang terus mengalir begitu banyak hingga sangat
memuaskan kehausanku. Baik haus nafsu maupun memang juga haus untuk
minum air ludahnya. Bahkan beberpa kali nanti aku minta Vera membuang
ludahnya ke mulutku.
Ternyata walaupun seorang waria, penis Vera
ini sungguh luar biasa gede dan panjang. Di balik celana jeans ketatnya
penis itu nampak nyata sudah ngaceng banget. Aku rasakan demikian keras
dan hangat saat dia gesek-gesekkan ke pahaku.
Tentu saja aku
sangat menikmatinya. Aku sudah membayangkan akan kulumat-lumat dan
kujilati nanti. Akan kuciumi bijih pelernya. Lidahku akan menjilati
seluruh permukaan batangnya. Mulutku akan menelah seluruh bonggolan
keras kepala penisnya itu. Pasti lidahku juga akan bermain-main dan
menari di lubang kencingnya. Uuhh.. Vera.., aku akan menikmati tubuhmu
sepuasku malam ini.
Begitu si penjaga kapal mengantar minuman dan
makanan kecil, Vera selekasnya menutup dan mengunci pintu kapal. Dan
dengan tak sabar lagi kami saling terkam. Aku melucuti dia dan dia
melucuti aku. Kami bugil. Nampak kini betapa penisnya yang gede panjang
itu membuat penisku menjadi demikian kecil nampaknya.
Vera sangat
aktif. Dia merosot ke lantai dan mulai merengkuh aku. Dia mulai dengan
menjilati dan menciumi ujung-ujung kakiku. Mulutnya mengulum-kulum
jari-jari kakiku. Duh, aku nggak kuat rasanya. Merinding syahwatku
merasakan lidahnya menyapu celah-celah jari kakiku yang kemudian disusul
dengan kulum dan hisapan mulutnya pada setiap jari-jarinya.
Luar
biasa sapuan lidah Vera ini. Aku dibuatnya melayang-layang tinggi. Aku
sepert terbang di awang-awang nikmat. Aku mendesah berat dan meremasi
rambutku sendiri untuk menahan nikmatnya lidah Vera. Saat telapak kakiku
juga dirambah oleh lidahnya aku merintih dan menahan gelinjangku.
Aduhh.., kenapa begini Veerr..
Dari telapak kakiku lidah Vera
naik merambati betis-betis, lutut kanan dan kiri kemudian paha-pahaku.
Dan ketika pada akhirnya mukanya nyungsep ke selangkanganku, aku tak
mampu menahan terpaan nikmat birahi yang tak terkira.
Saat lidahnya dan bibirnya menyapu dan menyedoti selangkanganku aku berteriak tertahan.
"Duh, Veerr.. Am.. a.. am.. puunn.. Aku nggak tahan Verr.." Aku menggeliat-geliat seperti ular padang pasir.
Dia
sangat pintar mempermainkan emosi lawan mainnya. Aku dibuatnya sangat
penasaran. Dia belum mau menyedot dan menciumi penisku yang sudah tegak
kaku dengan kepalanya yang berkilatan. Dia lewati itu.
Kini kedua
tangannya merambah puting susuku. Jari-jarinya memelintir ujung
puting-putingnya sambil bibirnya terus merangkak ke atas. Lidahnya terus
melata perutku. Puserku dia ubek dan jilat-jilat. Rupanya dia sangat
menikmati geliat dan erangan serta rintihan erotisku.
Saat
pinggulku dapat giliran lidahnya, tak ampun lagi aku menggelinjang
seakan hendak meloncat dari ranjang. Tak kuat aku menanggung derita
nikmat ini. Tetapi, disamping cantik dan seksi, Vera juga sangat kuat.
Aku tak mampu menolak tubuhnya. Dia terus merangsek dengan jilatan dan
ciuman-ciuman pada sekujur tubuhku.
Aku merasakan betapa
nikmatnya saat bibirnya mulai menyedot dan menggigiti puting susuku.
Gigitan-gigitan kecilnya membuat aku bergidik merinding. Syahwatku
merambat cepat menyambar nafsu birahiku. Aku menggelinjang hebat hingga
Vera tak kuasa menahanku.
Aku ingin mengambil peranan. Aku ingin
aktif. Aku ingin menikmati kecantikan dan sensualitas 'Dyah
Permatasari'-ku ini. Kini aku berbalik.
Kudorong Vera hingga
rebah dan telentang ke ranjang. Aku menggelutinya. Kuangkat
lengan-lengan putihnya ke sebelah atas kepalanya. Kujilati ketiaknya
yang bersih wangi itu sepuasku. Aromanya yang menebar menusuk hidungku
membuat aku semakin terlada oleh syahwatku sendiri. Entah berapa lama
ketiak itu kujilat dan kuciumi hingga ludahku kuyup membasahi keduanya.
Dan sebagai balasan Vera ganti mendesah dan merintih memenuhi ruangan
kapal mewah itu.
Sesudah puas aku menjilati ketiak aku balik
tubuhnya. Kini aku mulai melata dari tengkuknya. Aku suka rambut-rambut
tipis yang di tepian ujung lehernya. Kuarahkan lidahku untuk membuat
kuyup wilayah itu. Dan hasilnya tak kuduga. Vera menggelinjang hebat
dengan tangannya meraih kebelakang untuk menangkap rambutku. Dia
menjambak serta meremasi dengan penuh geregetan birahi.
Aku
meneruskan jelajah lidahku menelusur turun dan turun hingga ke daerah
pinggul belakangnya. Jangan tanya betapa aku sangat bernafsu dengan
pinggul seksinya ini. Aku seakan tak puas-puasnya menjilati serta
menyedoti pori-pori pinggul ini. Saat lidahku mulai menyentuh belahan
bokongnya yang tambun seksi itu hidungku menangkap aroma yang khas.
Aroma analnya. Aku menjadi tak sabar.
Aku benamkan mukaku ke
belahan bokong itu. Dan lidahku menari mencari sasarannya. Dan agaknya
Vera sendiri juga telah menantikan semuanya ini. Tanpa menunggu mauku
dia telah bergerak nungging. Dengan kepalanya yang bertelekan ke ranjang
dia angkat pantatnya tinggi hingga lubang anusnya langsung terbuka
berhadapan dengan mukaku.
Dan kini dengan mudah dan leluasa aku
menenggelamkan wajahku ke pantatnya. Hidungku menciumi bau analnya dan
lidahku menjilatinya. Di antara rimbunan bulu lembut analnya kudapatkan
rasa licin di ujung lidahku. Aku tahu itu adalah lubang duburnya.
Lidahku berusaha menembusi lubang itu dan menjilatinya.
Vera tak
tahan menghadapi rasa geli di pantatnya. Dia menggoyang dan menggoyang.
Pantatnya berusaha menjemput jilatan dan tusukkan lidahku. Aku rangkul
paha-pahanya untuk memenuhi harapan Vera. Dan aku mulai merasakan
lengket rasa sepat di ujung lidah. Itulah semen lubang duburnya.

Senin, 15 Januari 2018