Pada hari Sabtu yang telah kami sepakati dengan teman dia, dan kami
janjian ketemu di salon itu jam 13:00. Aku pun meluncur ke salon itu
untuk potong rambut, sejenak aku melirik jam tangan, terlihat jam satu
kurang beberapa menit saja dan kuputuskan untuk masuk. Seperti halnya
salon-salon biasa, suasana salon ini normal tidak ada yang luar biasa
dari tata ruangnya serta kegiatannya. Pada pertama kali aku masuk, aku
langsung menuju ke tempat meja reception dan di sana aku mengatakan niat
untuk potong rambut. Dikatakan oleh wanita cantik yang duduk di balik
meja reception agar aku menunggu sebentar sebab sedang sibuk semua.
Sambil menunggu, aku mencoba untuk melihat-lihat sekitar siapa tahu ada
temanku, tapi tidak terlihat ada temanku di antara semua orang tersebut.
Mungkin dia belum datang, pikirku. Kuakui bahwa hampir semua wanita
yang bekerja di salon ini cantik-cantik dan putih dengan postur tubuh
yang proporsional dan aduhai. Kalau boleh memperkirakan umur mereka,
mereka berumur sekitar 20-30 tahun. Aku jadi teringat dengan omongan
temanku, Hanni, bahwa mereka bisa diajak kencan. Namun aku sendiri masih
ragu sebab salon ini benar-benar seperti salon pada umumnya.
Setelah
beberapa menit menunggu, aku ditegur oleh reception bahwa aku sudah
dapat potong rambut sambil menunjuk ke salah satu tempat yang kosong.
Aku pun menuju ke arah yang ditentukan. Beberapa detik kemudian seorang
wanita muda nan cantik menugur sambil memegang rambutku.
“Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil melihatku lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang sudah agak panjang.
“Mmm… dirapi’in aja Mbak!” kataku pendek.
Lalu
seperti halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku pun diberi
penutup pada seluruh tubuhku untuk menghindari potongan-potongan rambut.
Beberapa menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan
dia sibuk mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku
mencoba untuk mencairkan suasana.
“Mbak… udah lama kerja di sini?” tanyaku.
“Kira-kira sudah enam bulan, Mas… ngomong-ngomong situ baru sekali ya potong di sini?” sambungnya sambil tetap memotong rambut.
“Iya…
kemarenan saya lewat jalan ini, terus kok ada salon, ya udah dech, saya
potong di sini. Ini juga janjian sama temen, tapi mana ya kok belum
datang?” jawabku sedikit berbohong.
“Ooo..” jawabnya singkat dan berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara temanku sambil menepuk pundak.
“Eh… elo baru dateng?” tanyaku.
“Iya nih… tadi di bawah jembatan macet, mmm… gue potong dulu yach..” jawabnya sambil berlalu.
Ngobrol
punya ngobrol, akhirnya kami dekat, dan belakangan aku tahu Stella
namanya, 22 tahun, dia kost di daerah situ juga, dia orang Manado, dia
enam bersaudara dan dia anak ketiga. Kami pun sepakat untuk janjian
ketemu di luar pada hari Senin. Untuk pembaca ketahui setiap hari Senin,
salon ini tutup. Setelah aku selesai, sambil memberikan tips
sekedarnya, aku menanyakan apakah ia mau aku ajak makan. Dia menyanggupi
dan ia menulis pada selembar secarik kertas kecil nomor teleponnya.
Sambil menunggu Hanni, aku ngobrol dengan Stella, aku sempat
diperkenalkan oleh beberapa temannya yang bernama Susi, Icha dan Yana.
Ketiganya cantik-cantik tapi Stella tidak kalah cantik dengan mereka
baik itu parasnya juga tubuhnya. Susi, ia berambut agak panjang dan pada
beberapa bagian rambutnya dicat kuning. Icha, ia agak pendek,
tatapannya agak misterius, dadanya sebesar Stella namun karena postur
tubuhnya yang agak pendek sehingga payudaranya membuat ngiler semua mata
laki-laki untuk menikmatinya. Sedangkan Yana, ia tampak sangat merawat
tubuhnya, ia begitu mempesona, lingkar pinggangnya yang sangat ideal
dengan tinggi badannya, pantatnya dan dadanya-pun sangat proporsional.
Akhirnya
kami ketemu pada hari Senin dan di tempat yang sudah disepakati.
Setelah makan siang, kami nonton bioskop, filmnya Jennifer Lopez, The
Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku mengagumi kecantikan Stella
yang waktu itu mengenakan kaos ketat berwarna biru muda ditambah dengan
rompi yang dikancingkan dan dipadu dengan celana jeans ketat serta
sandal yang tebal. Kami serius mengikuti alur cerita film itu, hingga
akhirnya semua penonton dikagetkan oleh suatu adegan. Stella tampak
kaget, terlihat dari bergetarnya tubuh dia. Entah ada setan apa, secara
reflek aku memegang tangan kanannya. Lama sekali aku memegang tangannya
dengan sesekali meremasnya dan ia diam saja.
Singkat cerita, aku
mengantarkan dia pulang ke kostnya, di tengah jalan Stella memohon
kepadaku untuk tidak langsung pulang tapi putar-putar dulu. Kukabulkan
permintaannya karena aku sendiri sedang bebas, dan kuputuskan untuk naik
tol dan putar-putar kota Jakarta. Sambil menikmati musik, kami saling
berdiam diri, hingga akhirnya Stella mengatakan,
“Mmm… Will, aku mau
ngomong sesuatu sama kamu, memang semua ini terlalu cepat, Will… aku
suka sama kamu…” katanya pelan tapi pasti.
Seperti disambar petir
mendengar kata-katanya, dan secara reflek aku menengok ke kiri melihat
dia, tampaknya dia serius dengan apa yang barusan ia katakan. Dia
menatap tajam.
“Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Tel?” tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan.
“Aku
nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu nggak kayak laki-laki yang
pernah aku kenal, kamu baik, dan kayaknya perhatian and care. Aku nggak
mau kalo setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will. Aku
nggak mau kehilangan kamu,” jawabnya panjang lebar.
“Mmm… kalo aku boleh jujur sich, aku juga suka sama kamu, Tel… tapi kamu mau khan kalo kita nggak pacaran dulu?” tegasku.
“Ok, kalo itu mau kamu, mmm… boleh nggak aku ’sun’ kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?” tanyanya.
Wah
rasanya seperti mau mati, jantungku mau copot, nafas jadi sesak. Edan
ini anak, seperti benar-benar! Sekali lagi, aku menengok ke kiri melihat
wajahnya yang bulat dengan bola mata yang berwarna coklat, dia
menatapku tajam dan serius sekali.
“Sekarang?” tanyaku sambil menatap matanya, dan dia menganguk pelan.
“OK, kamu boleh ’sun’ aku,” jawabku sambil kembali ke jalanan.
Beberapa
detik kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil posisi
untuk memberi sebuah “sun” di pipi kiriku. Diberilah sebuah ciuman di
pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia mencium dan ditempelkannya
payudaranya di lengan kiriku. Ooh, empuk sekali, mantap!Payudaranya yang
cukup menantang itu sedang menekan lengan kiriku. Edan, enak sekali,
aku jadi terangsang nih. Secara otomatis batang kemaluanku pun mengeras.
Dengan pelan sekali, Stella berbisik, “Will, aku suka sama kamu,” dan
ia kembali mencium pipiku dan tetap menekan payudaranya pada lengan
kiriku. Konsentrasiku buyar, sepertinya aku benar-benar sudah terangsang
dengan perlakuan Stella, dan beberapa kendaraan yang melaluiku melihat
ke arahku menembus kaca filmku yang hanya 50%. “Kamu terangsang ya,
Will?” tanyanya pelan dan agak lirih. Aku tidak menjawab. Tangan kirinya
mulai mengelus-elus badanku dan mengarah ke bawah. Aku sudah
benar-benar terangsang. Sekali lagi Stella berbisik, “Will, aku tau kamu
terangsang, boleh nggak aku lihat punyamu? punya kamu besar yach!” aku
mengangguk. Dibukalah celana panjangku dengan tangan kirinya, seperti ia
agak kesulitan pada saat ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya
menggunakan satu tangan. Aku bantu dia membuka ikat pinggang setelah itu
aku kembali memegang setir mobil.
Dielus-elus batang kemaluanku
yang sudah keras dari luar. Tidak lama kemudian ditelusupkan telapak
kirinya ke dalam dan digenggamlah kemaluanku. “Ooh…” desahku pelan.
Sedikit demi sedikit wajahnya bergerak. Pertama, ia cium bibirku dari
sebelah kiri lalu turun ke bawah. Ia cium leherku, dan ia sempat
berhenti di bagian dadaku, mungkin ia menikmati aroma parfum BULGARI-ku.
Ia makin turun dan turun ke bawah. Beberapa kali Stella melakukan
gerakan mengocok kemaluanku. Pertama-tama dijilatinya pangkal batang
kemaluanku lalu merambat naik ke atas. Ujung lidahnya kini berada pada
bagian biji kejantananku. Salah satu tangannya menyelinap di antara
belahan pantatku, menyentuh anusku, dan merabanya. Stella melanjutkan
perjalanan lidahnya, naik semakin ke atas, perlahan-lahan. Setiap
gerakan nyaris dalam beberapa detik, teramat perlahan. Melewati bagian
tengah, naik lagi. Ke bagian leher batangku. Kedua tanganku tak kusadari
sudah mencengkeram setir mobil. Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi.
Pelan-pelan setiap jilatannya kurasakan bagaikan kenikmatan yang tak
pernah usai, begitu nikmat, begitu perlahan. Setiap kali kutundukkan
wajahku melihat apa yang dilakukannya setiap kali itu pula kulihat
Stella masih tetap menjilati kemaluanku dengan penuh nafsu.
Sesaat
Stella kulihat melepaskan tangannya dari kemaluanku, ia menyibakkan
rambutnya ke samping tiga jarinya kembali menarik bagian bawah batang
kemaluanku dengan sedikit memiringkan kepalanya. Stella kemudian mulai
menurunkan wajahnya mendekati kepala kejantananku. Ia mulai merekahkan
kedua bibirnya, dengan berhati-hati ia memasukkan kepala kemaluanku ke
dalam mulutnya tanpa tersentuh sedikitpun oleh giginya. Kemudian
bergerak perlahan-lahan semakin jauh hingga di bagian tengah batang
kemaluanku. Saat itulah kurasakan kepala kejantananku menyentuh bagian
lidahnya. Tubuhku bergetar sesaat dan terdengar suara khas dari mulut
Stella. Kedua bibirnya sesaat kemudian merapat. Kurasakan kehangatan
yang luar biasa nikmatnya mengguyur sekujur tubuhku. Perlahan-lahan
kemudian kepala Stella mulai naik. Bersamaan dengan itu pula kurasakan
tangannya menarik turun bagian bawah batang tubuh kejantananku hingga
ketika bibir dan lidahnya mencapai di bagian kepala, kurasakan bagian
kepala itu semakin sensitif. Begitu sensitifnya hingga bisa kurasakan
kenikmatan hisapan dan jilatan Stella begitu merasuk dan menggelitik
seluruh urat-urat syaraf yang ada di sana. Kuraba punggungnya dengan
tangan kiriku, kuelus dengan lembut lalu mengarah ke bawah. Kudapatkan
payudara sebelah kanan. Kubuka telapak tanganku mengikuti bentuk
payudaranya yang bulat. Kuremas dengan lembut. Kubuka satu persatu
kancing rompinya, dan kembali aku membuka tepak tangan mengikuti bentuk
payudaranya. Sambil tetap mengulum, tangan kanannya bergerak menyentuh
tanganku, ia tarik baju ketatnya dari selipan celana panjangnya.
Dipegangnya tanganku dan diarahkannya ke dalam. Di balik baju ketatnya,
aku meremas-remas payudaranya yang masih terbungkus BH. Kuremas satu
persatu payudaranya sambil mendesah menikmati kuluman pada kemaluanku.
Kuremas
agak kuat dan Stella pun berhenti mengulum sekian detik lamanya.
Kuelus-elus kulit dadanya yang agak menyembul dari BH-nya dengan
sesekali menyelipkan salah satu jariku di antara payudaranya yang
kenyal. “Agh…” desahku menikmati kuluman Stella yang makin cepat. Aku
turunkan BH-nya yang menutupi payudara sebelah kanan, aku dapat meraih
putingnya yang sudah mengeras. Kupilin dengan lembut. “Ooh… esst…”
desahnya melepas kuluman dan terdengar suara akibat melepaskan bibirnya
dari kemaluanku. Menjilat, menghisap, naik turun. Ia begitu
menikmatinya. Begitu seterusnya berulang-ulang. Aku tak mampu lagi
melihat ke bawah. Tubuhku semakin lama semakin melengkung ke belakang
kepalaku sudah terdongak ke atas. Kupejamkan mataku. Stella begitu luar
biasa melakukannya. Tak sekalipun kurasakan giginya menyentuh kulit
kejantananku. Gila, belum pernah aku dihisap seperti ini, pikirku.
Pikiranku sudah melayang-layang jauh entah ke mana. Tak kusadari lagi
sekelilingku oleh gelombang kenikmatan yang mendera seluruh urat syaraf
di tubuhku yang semakin tinggi. Aku berhenti sejenak meraba payudaranya.
Kutengok ke bawah, tangan kanannya menggenggam dengan erat persis di
bagian leher batang kemaluanku, dan ia terlihat tersenyum kepadaku.
“Kamu luar biasa, Tel,” bisikku sambil menggeleng-gelengkan kepala
terkagum-kagum oleh kehebatannya. Stella tersenyum manis dan berkesan
manja. “Eh, bisa keluar aku kalo kamu kayak gini terus,” bisikku lagi
merasakan genggaman tangannya yang tak kunjung mengendur pada
kemaluanku. Stella tersenyum. “Kalo kamu udah nggak pengen keluar,
keluarin aja, nggak usah ditahan-tahan,” jawabnya dan setelah itu
menjulurkan lidahnya keluar dan mengenai ujung batang kemaluanku.
Rupanya ia mengerti aku sedang berjuang untuk menahan ejakulasiku.
“Aaghhh…”
desahku agak keras menahan rasa ngilu. Bukan kepalang nikmat yang
kurasakan, tubuhnya bergerak tidak karuan, seiring dengan gerakan
kepalanya yang naik turun, kedua tangannya tak henti-henti meraba
dadaku, terkadang ia memilin kedua puting susuku dengan jarinya,
terkadang ia melepaskan kuluman untuk mengambil nafas sejenak lalu
melanjutkannya lagi. Semakin lama gerakannya makin cepat. Aku sudah
berusaha semaksimal untuk menahan ejakulasi. Kualihkan perhatianku dari
payudaranya. Aku meraba ke arah bawah. Kubuka kancing celananya. Agak
lama kucoba membuka dan akhirnya terlepas juga. Pelan-pelan kuselipkan
tangan kiriku di balik celana dalamnya. Aku dapat rasakan rambut
kemaluannya tipis. Mungkin dipelihara, pikirku dalam hati. Kuteruskan
agak ke bawah. Stella mengubah posisinya. Tadinya ia yang hanya
bersangga pada satu sisi pantatnya saja, sekarang ia renggangkan kedua
kakinya. Dengan mudah aku dapat menyentuh kemaluannya. Beberapa saat
telunjukku bermain-main di bagian atas kemaluannya. Aku naik-turunkan
jari telunjukku. Ugh, nikmat sekali nih rasanya, pikirku. Sesekali
kumasukkan telunjukku ke dalam lubang kemaluannya. Aku jelajahi setiap
milimeter ruangan di dalam kemaluan Stella. Aku temukan sebuah kelentit
di dalamnya. Kumainkan klitoris itu dengan telunjukku. Ugh, pegal juga
rasanya tangan kiriku. Sejenak kukeluarkan jariku dari dalam. Lalu aku
menikmati setiap kuluman Stella. Rasanya sudah beberapa tetes spermaku
keluar. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang olehnya.
Kembali
kumasukkan jariku, kali ini dua jari, jari telunjuk dan jari tengahku.
Pada saat aku memasukkan kedua jariku, Stella tampak melengkuh dan
mendesah pelan. Semakin lama semakin cepat aku mengeluar-masukkan kedua
jariku di lubang kemaluannya dan Stella beberapa menghentikan kuluman
pada batang kemaluanku sambil tetap memegang batang kemaluanku. Entah
sudah berapa orang yang melihat kegiatan kami terutama para supir atau
kenek truk yang kami lewati, namun aku tidak peduli. Kenikmatan yang
kurasakan saat itu benar-benar membiusku sehingga aku sudah melupakan
segala sesuatu. Kembali Stella menjilat, menghisap dan mengulum batang
kemaluanku dan entah sudah berapa lama kami melakukan ini. Kutundukkan
kepalaku untuk melihat yang sedang dikerjakan Stella pada kemaluanku.
Kali ini Stella melakukan dengan penuh kelembutan, ia julurkan lidahnya
hingga mengenai ujung kepala kemaluanku lagi. Ia memutar-mutarkan
lidahnya tepat di ujung lubang kemaluanku. Sungguh dashyat kenikmatan
yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku bergetar namun ia tetap pada
sikapnya. Sesekali ia masukkan semua batang kemaluanku di dalam mulutnya
dan ia mainkan lidahnya di dalam. “Ooh.. Tel… enakk…” desahku sambil
melepaskan tangan kiriku dari lubang kemaluannya. Kupegang kepalanya
mengikuti gerakan naik turun.
“Stella, aku sudah nggak tahannn…”
kataku agak lirih menahan ejakulasi. Namun gerakan Stella makin cepat
dan beberapa kali ia buka matanya namun tetap mengulum dan terdengar
suara-suara dari dalam mulutnya. “Aaaagghhh…” desahku keras diiringi
dengan keluarnya sperma dari dalam batang kemaluanku di dalam mulutnya.
Keadaan mobil kami saat itu sedikit tersentak oleh pijakan kaki kananku.
Aku menikmati setiap sperma yang keluar dari dalam kemaluanku hingga
akhirnya habis. Stella tetap menjilati kemaluanku dengan lidahnya. Dapat
kurasakan lidahnya menyapu seluruh bagian kepala kemaluanku. Ugh,
nikmat sekali rasanya. Setelah membersihkan seluruh spermaku dengan
lidahnya, Stella bergerak ke atas. Kulihat dia, tampak ada beberapa
spermaku menempel di sebelah kanan bibirnya dan pipi kirinya. Aku mulai
bergerak memperbaiki posisi dudukku, perlahan-lahan. Sambil tetap
digenggamnya batang kemaluanku yang sudah lemas, Stella beranjak ke atas
melumat bibirku, masih terasa spermaku. Sekian detik kami bercumbu dan
aku memejamkan mata. Akhirnya ia merapikan posisinya, ia duduk dan
merapikan pakaiannya. Aku pun merapikan pakaianku sekedarnya. Aku
kenakan celana panjangku namun tidak kumasukkan kemejaku.
Beberapa
hari setelah itu, aku main ke kost Stella dan pada saat itu pula kami
mengikat tali kasih. Awal bulan Maret lalu Stella kembali dari Manado
setelah 2 minggu ia berada di sana dan ia tidak kembali lagi bekerja di
salon itu. Sekarang kami hidup bersama di sebuah tempat di daerah
Grogol, sekarang ia diterima sebagai operator di salah satu perusahaan
penyedia jasa komunikasi handphone. Sedangkan aku tetap sebagai animator
yang bekerja di sebuah perusahaan di daerah Kedoya tapi aku harus
meninggalkan kostku. Setelah kami hidup seatap, Stella mengakui padaku
bahwa selama enam bulan ia bekerja di salon itu, ia pernah melayani
pelanggannya dan ia mengatakan bahwa semua pekerja yang bekerja di salon
itu juga pekerja seks. Stella tidak mengetahui bagaimana asal mulanya.
Stella sendiri tidak tahu apakah salon merupakan sebuah kedok atau seks
adalah sebuah tambahan. Dia mengatakan bahwa untuk mengajak keluar salah
satu karyawati di situ, seseorang harus membayar di muka sebesar Rp
500.000. Rasanya Jakarta hanya milik kami berdua, tiap malam setelah
mandi sepulang dari kerja atau setelah makan malam, kami melakukan
hubungan seks. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir dan entah
kapan kami akan resmi menikah.
Kami sungguh menikmati setiap hari
yang akan kami lalui dan telah kami lalui bersama. Aku sungguh tidak
peduli dengan asal-usulnya pekerjaan Stella sebab makin hari aku makin
terbius oleh kenikmatan seks dan mataku seolah-seolah tertutup oleh rasa
sayangku pada dia.

Senin, 15 Januari 2018