Namaku Deni, usiaku saat ini 16 tahun, baru saja naik kelas 2 SMU. Aku
adalah anak semata wayang orangtuaku. Ayahku, Gito, 40 tahun, seorang
pegawai swasta, dengan posisi sudah mapan, ibuku, Santi, 36 tahun, juga
bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi
keluarga boleh dibilang mapan menengah ke atas. Kami sekeluarga tinggal
di kota Jakarta. Ayahku sendiri berasal dari kota Semarang, sementara
ibuku berasal dari sebuah desa di dekat kota Tasikmalaya. Kalau aku, ya
karena lahir dan besar di kota Jakarta, lebih merasa sebagai orang
Jakarta saja tuh.
Sebenarnya ayah dan ibuku tentu saja berharap bisa mendapatkan anak
lagi, usaha membuat anak jalan terus, tapi ya mau gimana lagi, dapatnya
cuma aku saja. Akhirnya mereka tak pernah lagi memimpikan untuk
mendapatkan anak lagi. Ibuku pernah cerita kepadaku, saat usia ibu
memasuki usia ke 35, ayah dan ibu sepakat, impian buat punya anak lagi
sudah tak akan diteruskan. Kenapa ? Pertama, kalau punya anak lagi,
kasihan, usia ayah ibu saat ini sudah lumayan, nanti ngejomplang
jaraknya sama anak itu, semisal dapat anak lagi, saat anak itu usia
20an, ayah ibu sudah memasuki usia 60an. Kedua, jarak antara aku dan
adikku itu juga bakal terlalu jauh, sulit buat dekat. Karena pemikiran
itu akhirnya sudah bisa dipastikan aku tak akan pernah punya adik.
Sebagai antisipasi, ibu memasang alat KB.
Aku sendiri seperti kebanyakan tipikal remaja seusiaku di Jakarta ini,
adalah remaja yang gaul, trendi dan dinamis. Ayah dan ibu tidak
mengekang pergaulanku, namun tetap mengawasi dan memberi masukkan yang
positif. Buat urusan pelajaran, aku termasuk encer, nilaiku selalu
bagus, walau tidak peringkat utama, tapi biasanya masuk 10 besar,
pokoknya orang tuaku tidak khawatir dengan masalah pelajaran. Buat
masalah gaya, gaul dan trendi, aku juga cukup oke, ikut kegiatan
olahraga sepak bola dan basket, sering ke mall atau nongkrong sama teman
– teman, kadang kalau iseng main band, aku bagian kecrekan saja hehehe,
nggak bakat, cuma buat kompakkan saja. Walau sering bergaul sama teman –
teman namun aku bisa mengontrol diri, di samping juga pengawasan dari
orang tuaku, aku nggak mau sama yang namanya alkohol, narkoba dan
sejenisnya, no way, bodoh kalau mau terjerumus begituan, kita hancur,
melarat, yang kaya bandarnya doang. Paling aku cuma merokok, itu juga
sesekali, solider sama teman, ( Cuma merokok yang aku solider, kalau
yang lain nggak deh ). Aku pernah ketahuan sama orang tuaku, dan aku
jujur saja bahwa aku memang suka merokok, tapi tidak terlalu banyak,
secukupnya, kadang kalau lagi pusing belajar, aku merasa terbantu dengan
merokok. Ayahku juga perokok, dan karena aku sudah jujur maka ayah
hanya memperingatkan agar jangan terlalu banyak atau kecanduan, dan
untuk membeli rokok, ya pakai uang jatah jajanku, nggak bisa minta jatah
khusus. Ya, lumayan deh sehari paling banyak aku hisap 3 batang, itu
juga kadang nggak rutin tiap hari, kalau lagi mau saja.
Kalau pulang sekolah aku jarang langsung pulang, soalnya pasti nggak ada
orang di rumah, orang tua belum pulang kerja, di rumah kagak pakai
pembantu, paling bayar jasa cuci setrika saja sama tetangga. Jadi kalau
pulang sekolah pasti aku keluyuran dulu, nongkrong, ke mall, rumah
teman, atau ke Warnet dekat rumah. Warnet sering jadi lokasi favourite,
yang jaga juga sudah akrab, jadi bisa agak bebas, kalau lagi malas,
bolos dari pagi ( banyak juga lho yang sering begini, makanya di warnet
dipasang tanda : pelajar berseragam sekolah dilarang masuk; tetap saja
kagak efek tuh ). Aku nggak gitu hobi main game online, lebih banyak
chatting, facebook-an, browsing, dan melakukan aktivitas favourite, buka
situs jorok dan download. Hasil berkelana di dunia maya, taruh di USB,
simpan dan nikmati di Laptop di rumah...hehehe.
Usiaku saat ini memang sedang hot – hotnya ingin tahu tentang perempuan
dan seks, sayangnya aku belum punya pacar atau pengalaman dalam bidang
ini. Sejauh ini pengalamanku hanya dunia fantasi saja, kadang nyetel
bokep, baca majalah porno, ngayal lalu ngocok deh...belum ada yang
nyata. Secara selera aku suka wanita yang tinggi, cantik, kulitnya putih
atau agak hitam itu relatif, rambut juga relatiflah nggak spesifik,
bertetek besar itu keharusan, dan aku senang yang berbulu lebat.
Jujurnya aku paling merasa senang dengan wanita yang usianya sekitar 30
tahunan ke atas. Aku paling cepat ON kalau lagi nonton bokep dan pemain
wanitanya ada yang kayak aku sebutkan tadi. Kalau buat bahan khayalan,
paling teman sekolahku si Hana, Rini, Mitha, juga bu Tina yang bahenol.
Baru berani ngayal, belum berani lebih dari itu, buat pacaran juga masih
belum mau ah, aku masih mau bebas merdeka tuh.
Selain itu aku paling sering mengkhayalkan ibuku, ibuku memang tipe
wanita paruh baya yang seksi, tinggi, cantik dan juga masih montok.
Teteknya juga besar. Ibuku biasanya pulang kerja lebih dulu dari ayah,
ayah pulangnya agak malam. Aku paling hobi ngintipin ibuku mandi.
Kebetulan kamarku bersebelahan dengan kamar mandi, karena aku banyak
waktu luang, jadinya aku akali saja, sehingga aku bisa mengintip melalui
celah eternit. Kalau ibu masuk kamar mandi, aku segera masuk kamar,
kunci pintu, naik meja, peloroti celana, lalu menikmati tubuh mulus
ibuku yang sedang mandi, membusahi tetek dan pentilnya dengan sabun,
mengusap m3meknya yang dihiasi jembut yang rimbun, kont01ku pasti
langsung keras dan siap minta dikocok – kocok...cok. Aku selalu berhati –
hati, posisi lobang mengintipnya pun tak akan menimbulkan kecurigaan
dan tak ketara dari kamar mandi, lobang satu laginya di kamarku, kalau
aku selesai ngintip, aku langsung tutup dengan tripleks, pokoknya aman
terkendali. Kadang memang timbul niat lebih pada ibuku, namun aku belum
punya nyali, ya jadi cukup memuaskan dan bahagia dengan kondisi ini dulu
saja. Aku memang merasa amat sangat ingin mencoba melakukan dan
merasakan hubungan badan, namun belum ketemu lawan yang pas ( kayak
ngadu ayam saja, pake istilah lawan hehehe ). Tapi aku selalu percaya
akan ada kesempatan dan waktunya bagi mereka yang berhasrat ini.
Sekarang hari pertama liburan, aku lagi uring – uringan, karena ayah
ibuku janji setelah ambil raport, besoknya akan mengajakku berlibur ke
bali, mereka akan cuti besar, namun mendadak atasan ayah membatalkan
cuti ayah, nggak ditentukan kapan bisa ambil lagi, karena ada proyek
besar yang mendadak didapat dan harus ayah urus. Gede banget nilainya
seru ayah berapi – api samapi muncrat ludahnya saking semangatnya
menjelaskan. Ayah sebenarnya menyuruh ibu dan aku berangkat saja, namun
ibu nggak mau, katanya kalau mau liburan harus sekeluarga. Jadilah
akhirnya ibu juga memutuskan mempersingkat cutinya, ibu tetap cuti namun
hanya satu minggu saja, bukan 3 minggu seperti direncanakan. Ayah
bilang kepadaku dia tahu aku kecewa namun urusan kantor juga penting,
duit komisinya buat ayah lebih dari lumayan kata ayah. Nanti saja akan
ayah atur waktu, mungkin libur akhir tahun kalau perlu ke Singapore
saja, ongkosnya juga nggak beda dengan ke Bali. Jadilah hari pertama
libur mukaku sudah bete...bete...bete...ah.
”Den, sudah dong, jangan marah begitu, muka ditekuk terus kayak gitu apa
nggak pegal, ibu saja pegal ngelihat muka kamu kayak gitu.”
”Ah ibu, Deni lagi sebel nih, nggak mau diajak becanda..”
”Sudah deh, kamu kan juga tahu urusan kantor ayah, lagian ayah kan kerja nyari duit buat kita juga.”
”Iya sih, tapi Deni kan sudah senang dari kapan tahu tuh bu karena kita
mau ke Bali, tahunya batal mendadak gini, siapa yang nggak
kesal....huh.”
”Ya sudah..., ibu juga sudah terlanjur cuti nih, jadi tadi ibu bilang
ayah, ibu mau ke kampung, nengok bibi – bibi kamu. Mungkin 3 atau 4
harian, kamu mau ikut...???”
”Hah....jauh amat kenyataan sama impian...Bali sama kampung dekat Tasik...ogah ah.”
”Ya sudah kalau begitu, kamu di rumah saja sendiri sama ayah.”
Ah, malas sih pergi ke kampung ibu saat ini, tapi kalau di rumah juga,
paling seminggu saja aku semangat keluyuran selebihnya bakal bosan,
lagian sendirian, ayah cuma ada kalau pulang kerja, hari sabtu-minggu
kalau lagi ada proyek juga biasanya ayah masuk...., ya mending ikut ibu
saja deh.
”Nggg...ikut deh bu, daripada bete sendirian.”
”Huh dasar kamu ini, bawa saja baju banyakan, siapa tahu nanti ibu pulang duluan, kamu masih betah di sana.”
”Alaaah....nggak perlulah, seadanya saja. Siapa juga yang mau
menghabiskan seluruh liburan di kampung....emang kita cowok apaan, nggak
janji deh.”
Ibuku sendiri mempunyai 3 orang saudara, kakak tertua Bi Lasmi, 40
tahun, suaminya pelaut, Bi Lasmi tinggal di kampung juga, anaknya si
Joko, kuliah di Yogyakarta. Ibu anak nomor 2. Anak nomor 3, Mang Nurdin,
34 tahun, sudah berkeluarga, anaknya 3 orang, tinggal di Surabaya,
kerja di sana. Anak nomor 4, Bi Ratna, 33 tahun, janda, sudah menikah 2
kali, suami pertama meninggal karena sakit, suami yang kedua dengar –
dengar sih meninggal kecelakaan, anaknya si Jaka, 4 tahun, anak dari
hasil pernikahan dengan suami kedua. Si Jaka ini biasanya dipanggil si
Ucil. Bi Ratna sudah menjadi 2 tahun terakhir ini, untuk ukuran di
kampung sudah lumayan lama. Ibuku paling dekat dan sayang sama bi Ratna
ini. Kakek dan nenekku dari pihak ibu sudah meninggal, jadi di kampung
memang hanya tinggal bibi – bibiku ini dan beberapa family lainnya. Ibu
tetap sering berkunjung ke sana kalau ibu sempat. Ibu sendiri memang
beda dengan kedua bibiku, ibuku dulu lebih memilih bekerja di Jakarta
sewaktu tamat sekolah, dan akhirnya ketemu jodoh yaitu ayahku di sana.
Kedua bibiku ini juga cantik seperti ibuku, namun aku tidak terlalu
banyak memperhatikan, karena memang jarang ke sana dan dulu kan belum
masa puber, jadi kagak terlalu paham soal itu.
Akhirnya esok harinya, pagi - pagi aku dan ibu berangkat, ibu nggak mau
bawa mobil, lebih memilih naik bis yang bagus kelasnya, biar nyaman. Ibu
bilang ke Ayah mungkin nanti hari Sabtu kami pulang. Perjalanan ke sana
tidak terlalu memakan waktu, jadi belum siang kami sudah tiba di kota
Tasikmalaya, lalu menyambung dengan angkot, kurang lebih satu jam, dan
akhirnya tiba di kampung X, kampungnya memang agak ke dalam, tapi sudah
bagus, jalannya sudah diaspal ( kabarnya sih belum lama, dari caleg yang
menang pilkada, penuhi janji ), listrik, sekolah, sinyal HP, siaran TV
juga lengkap. Banyak sawah dan kebun di sini, memang mata pencarian
utama dan juga hasil yang utama di sini adalah hasil bumi beserta
olahannya. Ada yang menggarap tanah sendiri, kerja di tanah orang,
berdagang hasil bumi. Bibi – bibiku mengelola tanah milik keluarga yang
jadi bagian warisan mereka. Punya ibu juga ada, ibu memepercayakan
dikelola kedua saudarinya ini, hasilnya terima bersih saja, toh ibu
sudah punya penghailan tetap yang lumayan besar dari pekerjaannya.
Mereka memperkerjakan beberapa orang untuk menggarap, sistem bagi hasil
dan juga upah saat panen. Bi Lasmi juga mengelola tanah miliknya yang
dibeli suaminya. Pemandangan di sini sebenarnya indah, ada pemandangan
gunung di kejauhan, kalinya tidak terlalu deras dan tidak banyak
bebatuan besar, lokasi buat berenang di kali banyak. Buat mancing juga
ada tempat yang enak di saluran irigasi. Udaranya segar dan masih asri.
Lokasi satu rumah dengan rumah lainnya tidak sama, ada yang dekat ada
yang jauh. Penduduknya masih banyak, yang kerja di kota tidak banyak,
karena di kampung juga banyak kegiatan dan penghasilan. Makanya kalau
mau kampungnya tidak kosong ditinggal warga merantau, perangkat desa
harus siap harus ada tanah yang digarap dan juga lapangan pekerjaan lain
yang mendukung. Banyak kegiatan dan peluang kerja di kampung, orangnya
juga tak bakalan merantau...betul nggak...? Sotoy loe Den...hehehehe.
Bibi – bibiku senang sekali dengan kedatangan kami, soal tempat tinggal
bisa di mana saja, tapi kali ini ibu bilang mau nginap di rumah Bi Ratna
saja, bi Lasmi tidak masalah, toh rumahnya juga dekat, mungkin juga
paham dengan niat ibu yang mau membujuk bi Ratna biar kawin lagi. Mereka
sibuk melepas kangen, dan ibu membagikan oleh – oleh. Sedang aku mulai
sibuk ditarik – tarik si Ucil, ngajak main.
Tentu saja percakapan dilakukan dalam bahasa Sunda, namun demi
memudahkan yang nggak ngerti, di tulis bahasa Indonesia saja ya...kalau
yang paham, silahkan baca dan mentranslatenya dalam hati ke bahasa
sunda, biar lebih menghayati ceritanya...hehehe
”Ucil, nanti duluh atuh...kang Deninya juga masih capek, biar istirahat dulu,” kata Bi Ratna.
”Nggak apa – apa bi, lagian sudah lama kagak ketemu si Ucil, sekarang sudah gede dan pintar ngomong.”
”Ya sudah, tapi mainnya dekat sini saja ya, nanti sebentar lagi kita makan, bibi mau siapkan dulu, kamu sudah lapar kan...?”
Akhirnya aku menemani si Ucil, memang si Ucil ini paling senang kalau
aku datang. Aku juga senang – senang saja, habis anaknya lucu dan polos.
Tak berapa lama akhirnya kami dipanggil dan mulai makan siang. Mantap
menunya, ikan gurame goreng garing, pepes tahu, pete bakar sama lalapan
dan cabe cobek, kayak wisata kuliner saja. Kenyang banget perutku
memakannya. Setelah beristirahat, ibu mengajak bi Lasmi menemaninya
berkunjung ke rumah family dan temannya. Ibu menanyakan aku mau ikut
atau tidak, tapi aku bilang malas, masih capek, akhirnya ibu mnyuruhku
menemani Bi Ratna, si Ucil sedang asik dengan ngoroknya, tertidur pulas
dengan iler menetes, dasar si Ucil. Selepas ibu dan bi Lasmi pergi, aku
bermaksud membantu bi Ratna membereskan rumah, namun katanya aku
istirahat saja dan menemaninya ngobrol, sudah lama nggak ketemu. Memang
sudah lama nggak ketemu, dan juga karena saat ini aku sudah puber, aku
baru sadar ternyata bibiku ini memang cantik, kulitnya putih bersih,
bodinya juga aduhai dengan fokusku ke arah teteknya yang memang besar
menantang. Sepertinya ibu dan kedua bibiku memang memiliki garis
keturunan yang bertetek besar dan aduhai. Nggak lama bibi masuk ke
kamarnya, aku hanya melamun saja, nggak sadar bibiku sudah keluar lagi,
terdengar panggilannya, dari arah samping rumah. Aku segera ke sana, dan
kulihat bibi sedang mengangkat jemuran, tapi bukan itu yang membuatku
terkejut dan senang, bibiku kini hanya mengenakan kain dan kutang model
kampung, hampir kayak kembem gitu, agak panjang sampai batas perut,
dengan kedua talinya di bahu. Gila, seksi banget, apa memang yang kayak
gini sudah biasa dan busana sehari - hari, waktu suaminya masih ada,
dulu aku jarang nginap di sini, biasanya di rumah bi Lasmi, dan mungkin
karena aku masih anak kecil, jadi masih culun bin lugu, belum paham.
Kutangnya nampak ketat sekali membungkus teteknya yang besar, belahan
teteknya nampak jelas, saat ia mengambil jemuran, kulihat di lengannya
nampak bulu ketek yang seksi makin menambah nafsuku. Jadi keras nih
kont01ku. Akhirnya aku pura – pura membantu, biar lebih dekat dan bisa
lebih fokus melihat belahan teteknya.
”Sudah besar ya kamu sekarang, Den, sudah perjaka.”
”Kan dikasih makan sama ibu,Bi.”
”Ah kamu bisa saja...ponakan bibi ini sudah punya pacar belum...?”
”Ah...belum kok bi.” kataku lagi. Posisiku agak di belakangnya, mataku
sekan mau melotot keluar melihat pemandangan belahan teteknya.
”Dicari atuh Den, enak lho punya pacar, kamu bisa ngerasain gituan
lho...enak lagi, umur kayak kamu mah di sini juga sudah banyak yang
kawin.”
”Ah...bibi, malu atuh ngomong kayak gitu...”
”Alaahh...sama bibi mah kagak usah malu gitu, santai saja....kayak bibi
kagak pernah muda saja. Bibi mah ngerti anak muda kayak gimana. Lagian
kamu kan lelaki jadi bibi paham.”
”Iya juga sih...tapi tetap sajalah malu.”
”Ya sudahlah, kata ibumu kamu lagi libur sekolah, kamu mau pulang
kapan..?? kalau kagak ada kegiatan mah, di sini saja, temani si Ucil.”
Ternyata bibiku ini ngomongnya bak – blakan dan vulgar juga, belum lagi
tubuhnya memang bahenol banget, kont01ku sudah sesak rasanya di balik
celanaku. Sebenarnya sih aku tidak rencana menghabiskan liburan di sini,
nanti ikut ibu balik, namun melihat ”rejeki” yang bakalan aku terima
kalau aku di sini, juga melihat gaya bibiku, hatiku jadi bimbang,
mungkin saja aku bisa mengalami hal yang menjadi keinginanku di sini.
Aku hanya menjawab...
”Deni belum tahu bi, lihat saja nanti.”
”Ya sudah, tapi sebaiknya kamu berlibur saja di sini, daripada di
Jakarta terus. Toh di rumah bibi kosong. Lagian juga banyak kegiatan
yang bisa kamu lakukan. Bisa nambah ilmu sama pengalaman kamu juga. Sok
atuh..udah beres ngangkat jemurannya, masuk ke dalam saja.”
Akhirnya bibi selesai mengangkat jemuran, dan kami pun masuk ke rumah.
Aku permisi ke kamar mandi, bilangnya mules, padahal mah ada sesuatu
yang harus kulepas nih, gila...keras banget kont01ku...., sesampainya di
kamar mandi, langsung saja kukocok kont01ku sambil membayangkan tubuh
bibiku tadi, ah lega rasanya saat akhirnya hiburan tangan ini selesai.
Sorenya ibu balik, bi Lasmi pulang dulu, nanti janji mau nginap juga.
Malamnya, karena kamar di rumah bibi hanya ada 2 maka, aku tidur di
kamar dengan Ucil, sedang ibu dan bibi – bibiku di kamar bibi, mereka
tampak seru ngobrol dan tertawa, maklumlah nostalgia dan melepas kangen.
Keesokan harinya akhirnya kuketahui, memang kalau di rumah, pakai busana
kayak yang kulihat waktu itu, memang wajar saja, bibiku cuek saja, ibu
juga nggak melihat itu sesuatu yang aneh dan menggangguku, bahkan ibu
juga memakai busana yang sama, saat kutanya, jawabnya santai sekali,
katanya...nyaman pakai baju kayak gini, juga sudah lama nggak memakai
pakaian kayak begini dan toh ibu dan bibi nggak perlu canggung di depan
kamu.....memangnya kamu ada masalah ? Ya sudah, nggak masalah kok bu
kataku dalam hati, maka selama itu aku mendapatkan pemandangan bagus
terus, tubuh montok ibu dan bibi, makin sering saja aku ke kamar mandi,
gimana lagi kalau setiap saat melihat belahan tetek besar dari 2 orang
wanita yang seksi. Untung saja tanganku bisa kutahan untuk tidak
menjamah. Singkatnya ibu banyak menghabiskan waktu berkunjung ke rumah
saudara dan temannya, sesekali ke sawah dan kebun, kadang aku ikut.
Suatu malam kami semua pergi jalan menyewa angkot milik tetangga, ke
kota Tasikmalaya, ibu mau membelikan baju buat bibi – bibiku, si Ucil
dan saudaraku sekalian traktir makan, makin asik karena pas ada pasar
malam dekat situ, lumayan ngerasain wahana Dunia Fantasi dadakan dan
seadanya, ya senang – senanglah, sedikit banyak aku mulai melupakan rasa
kesalku batal liburan ke Bali. Ada suasana hangat kekeluargaan yang
juga mampu mengobati kekecewaanku.
Di rumah bibi, ada motor, aku nggak tanya milik siapa, mungkin milik
almarhum suaminya, bibi memberi kuncinya, katanya kalau aku mau jalan –
jalan, bawa saja, asal jangan ngebut. Biasanya aku ajak Ucil keliling,
si Ucil senang sekali, katanya ibunya jarang bawa motor, hanya kalau ada
perlu saja, jadi dia jarang naik motor. Karena pom bensin jauh, orang
sini biasanya beli eceran, agak mahal dikit. Akhirnya tibalah saat malam
terakhir, besok pagi ibu akan pulang, ayah tidak bisa menjemput jadi
ibu pulang sendiri bersamaku. Malam itu aku bilang aku mau tetap di sini
saja, habis udaranya enak, suasananya tenang, juga senang main sama si
Ucil, ( dan tentu saja karena ada pemandangan indah di rumah bibi :
bibiku sendiri.). Lagian bosan di Jakarta nggak ada kegiatan.Ibuku agak
heran, katanya dasar aku plin plan, tapi memperbolehkan. Masalahnya
bajuku terbatas, ibu jadi agak kesal, katanya kan sudah dibilang bawa
baju lebih. Akhirnya esok ibu mengajakku sekalian mengantarnya ke kota
Tasikmalaya, untuk membeli baju kaos dan celana pendek serta CD. Aku
bilang naik motor saja, karena aku mau beli bensin di derigen, mulanya
ibu keberatan, tapi akhirnya mau. Aku segera ke belakang, mencari
derigen, memang ada, dan dari baunya saat aku mencium dalamnya waktu
membersihkan, sepertinya memang dipakai untuk menyetok bensin, 2 buah
ukuran 10 liter, tidak besar.Aku segera ikatkan di bagian depan. Esok
paginya ibu sudah siap, setelah berpamitan dengan bi Lasmi, bi Ratna,
beberapa family dan temannya, berangkatlah kami. Bawaan ibu tidak
terlalu banyak, oleh – oleh juga muat di tas dan plastik. Enak juga naik
motor lebih cepat, juga dapat bonus, punggungku sesekali merasakan
tetek empuk nempel...nyamannya hehehe. Karena naik motor,, maka tak
berapa lama kami sudah samapai. Ibu mengajakku ke pasar terdekat di
kota, membeli kaos murah meriah, 10 potong, 3 celana pendek dan ½ lusin
celana dalam, kagak sampai 300 ribu belanja. Sekalian juga mengajakku ke
toko makanan, membeli makanan ringan dan kopi juga susu sachet. Kutitip
dulu di tokonya, karena bawaan sudah penuh, nanti kuambil lagi. Lalu
ibu minta diantar ke ATM, mengambil uang, memberiku uang buat jajan
kunanti dan beli bensin. Sekalian uang untuk ongkos pulang, takutnya
nanti ayah nggak bisa menjemput, kubilang aku bisa pulang sendiri.
Setelah itu aku antar ibu ke teminal, parkir motor, belikan karcis dan
menunggu bisnya berangkat, ketika bis sudah mau jalan ibu mengecup
pipiku, sambil berpesan agar jangan merepotkan bibi – bibiku. Akhirnya
ibu pulang, aku lalu segera membeli bensin, mengambil belanjaanku dan
kembali ke rumah bibi. Sesampainya di sana hari masih belum terlalu
siang, kulihat si Ucil yang agak merengut karena tidak kuajak. Aku
godain saja dia, akhirnya aku bilang ke bibi mau ajak si Ucil pelesir ke
tempat wisata dekat kampung sini, tanpa diduga bibiku mau ikut juga,
katanya iseng nggak ada kegiatan, toh sawah dan kebun sudah ada yang
ngurus. Akhirnya kami berangkat, karena jalan di kampung, nggak perlu
helm. Sempat berpapasan dengan bi Lasmi, katanya sayang naik motor jadi
nggak bisa ikut, berpesan agar aku tidak ngebut dan hati – hati.
Akhirnya kami tiba di sana, tempat wisata alam dengan permainan anak,
karena hari Sabtu dan masa liburan jadi mulai agak ramai. Si Ucil mulai
heboh menunjuk mau main ini – itu, bibiku hanya tertawa dan memberiku
uang untuk membeli karcis. Kami bertiga bersenang – senang di sana, si
Ucil sudah kayak dinamo mobil – mobilan Tamiya saja, muter terus ke sana
ke mari. Agak sore kami makan bakso di tempat makan di situ. Si Ucil
masih sibuk bermain, aku dan bibi hanya mengawasi.
”Bibi senang, kamu memutuskan tetap berlibur, jadi si Ucil ada temannya.
Kamu pakai saja motor itu kalau mau pergi. Kalau memang sempat bibi
ikut, tapi kalau nggak, sama si Ucil atau ajak saja bi Lasmi, pasti dia
senang juga.”
”Oh ya, itu motor siapa bi, punya almarhum mang Wawan ya...?”
”Iya...bibi juga kagak gitu paham, si Wawan geblek itu kan mati
kecelakaan. Bibi juga kurang paham prosedurnya, nggak ngerti urusannya,
setelah peristiwa itu, bapaknya yang juga kakek si Ucil kirim tuh motor,
katanya ganti asuransi, dia bilang buat bibi saja, di rumahnya banyak,
ini buat ajak jalan si Ucil, tapi itu pun bibi juga jarang pakai.”
”Oh...”
Aku hanya ber-Oh saja, tapi aku sempat menangkap sepertinya bibiku rada
jengkel dan juga agak kasar membicarakan almarhum suaminya. Mungkin bibi
menangkap kebingunganku, dia hanya tersenyum, sambil bilang nanti di
rumah akan dia kasih tahu. Kami lalu kembali ngobrol, mataku sempat
memandang beberapa sejoli yang sedang kasmaran, aku hanya nyengir saja,
bibiku sempat melihat dan kembali meledekku, rupanya kemarin kalau ada
ibu, bibi nggak berani terlalu vulgar. Kuperhatikan wajahnya sekilas,
memang cantik dan terus terang wajahnya memang agak mengundang, setahuku
sudah hampir 3 tahun, bibi menjanda, rasanya wanita secantik bibi agak
aneh kalau sulit mencari pasangan lagi, aku hanya diam saja berpikir,
akhirnya karena hari sudah sore, bibi mengajakku pulang. Si Ucil tertawa
terus sepanjang perjalanan pulang. Akhirnya kami tiba di rumah. Bibiku
lalu memandikan si Ucil, nggak lama bibi juga mandi, dan mulai
menyiapkan makan malam. Aku juga segera mandi dan memasukkan motor. Kini
bibi sudah kembali memakai busana favouriteku, kini mataku bisa bebas
jelajatan, nggak ada ibu sih, bibi sendiri sih cuek saja. Selesai makan
si Ucil, nonton TV bersamaku, nggak lama ketiduran, si Ucil ini kalau
sudah tidur, parah, nggak bakalan bangun kalau dia belum puas, dicolek
atau digoyang – goyang juga kagak bakal bangun, tahu kalau disiram air
seember hehehehe. Aku gendong si Ucil, karena ibu sudah pulang, si Ucil
tidur kembali di kamar bibi, aku yang menggendong, nyelonong masuk saja,
bibi rupanya lagi berbaring, istirahat, kainnya nampak agak tersingkap,
segera dirapikan, aku kaget dan segera minta maaf, bibi bilang tidak
apa, dan merapikan tidur si Ucil. Aku sendiri langsung keluar dan
menonton TV.
Tak berapa lama nonton, kurasakan kepalaku agak pusing dan badanku agak
tidak enak, perut terasa mual, makin lama makin kuat, jangan – jangan
hamil...hush....sembarangan, kayaknya masuk angin, segera kuberlari ke
kamar mandi dan muntah, setelah puas mengeluarkan rasa mualku, kusiram
dan kubersihkan mulutku. Keluar dari kamar mandi kulihat bibi sudah
menunggu, menanyakan kenapa, aku bilang nggak tahu, tiba – tiba mual,
dia bilang pasti masuk angin, karena dari pagi aku naik motor, dan telat
makan. Dia menyuruhku tidur saja, nanti dia buatkan teh manis dan obat,
juga akan mengerokiku, aku hanya bisa mengangguk lemas dan berjalan ke
kamarku. Tak berapa lama bibi masuk dan membawa teh, obat dan minyak
gosok. Bibi menyuruhku membuka baju dan telentang, lalu mulai
mengerokiku, walau lagi sakit, tapi aku merasakan tangannya halus di
punggungku, apalagi dekat denganku. Biar nggak enak badan, tapi yang
namanya kont01, terkadang kagak mau ngerti, diam – diam membesar. Bibi
masih terus mengeroki punggungku, lalu mulai mengolesi minyak gosok dan
memijatku, duh enak banget, mana tangannya lembut. Sampai sini kagak ada
masalah, lalu bibi menyuruhku berbalik, katanya depanku juga harus
dikerok, biar anginnya cepat keluar......gawat...aku cuma bercelana
pendek, mana celanya nggak terlalu besar, bisa tengsin dong aku,
kelihatan ada yang bejendol besar di balik celana, aku bilang nggak
usah...bibi terus memaksa, bahkan agak mendorong membalikkan tubuhku.
”Iya deh bi, tapi jangan marah ya...”
”Marah kenapa Den...”
”Anu....Deni kan lelaki, terus juga bibi itu cantik banget sih, jadi
Deni kebablasan...maaf ya Bi,” aku berterus terang, rada takut dia
marah.
”Oalah....cuma begitu aja, ya namanya juga baru gede sih, ada – ada saja
kamu ini, bibi ini kan jelek, sudah tua....sudah balik saja, nggak usah
malu dan minta maaf, memangnya bibi belum pernah lihat kont01, ayo.
Kirain kenapa.”
Dengan agak malu aku membalikkan badan, nampak dari celanaku ada
tonjolan yang besar, bibiku melihatnya sekilas, nyengir dan mulai
mengeroki dadaku. Sedang aku makin ngaceng saja, karena bisa melihat
dengan jelas belahan dadanya, bulu keteknya saat mengerokiku dari depan.
Sesak banget rasa celanaku.
”Den..Den, kamu ini, sama bibi yang sudah tua kok masih bisa
ngaceng....sudah kagak perlu malu gitu, wajar kok, namanya juga baru
remaja, sedang masa pertumbuhan.”
”Iya...Bi, tapi sumpah kok, bibi cantik juga belum tua. Kalau di sini
memangnya seumur bibi sudah masuk kategori tua ya...nggak lah. Mana
masih montok lagi.”
”Ah...kamu ini, jangan ngeledek ah”
”Benar kok bi, maaf ya, apalagi dengan pakaian kayak gini, aduh bi, maaf
deh, jangan marah dan salahkan Deni, benar – benar membuat nafas
berdetak cepat.”
”Lha...apa toh yang salah dengan pakaian kayak gini, biasa atuh di kampung sini.”
”Iya...tapi di Jakarta kan kagak ada bi. Apalagi bibi yang memakainya,
terus terang saja, Deni nggak mau bohong nih, waktu melihatnya rasanya
jantung Deni mau copot. Namanya juga anak laki bi, bukannya mau kurang
ajar, tapi melihat bibi seperti itu duh....”
”Ah..kamu ini, memangnya kenapa dengan begini..? Memangnya kamu mau
apa..? Paling juga kont01 kamu ngaceng, terus kamu kocok...iya kan. Bibi
mah nggak yakin kamu sudah pernah begituan. Sudah paham kalau anak
seumuran Deni lagi sedang panas – panasnya.”
”Iya sih....maaf deh bi.”
”Sudah...dari tadi minta maaf melulu, bukan salah kamu, habis mau gimana
lagi, bibi biasanya memang berpakaian begini kalau di rumah, toh hanya
ada kamu keponakan bibi, sudah seperti anak juga. Ya, memang sih usia
kamu lagi tanggung, jadi bibi maklum dan paham deh dengan keadaan kont01
kamu. Nah sudah selesai, sekarang, minum obatnya.”
”Terimakasih ya Bi, sekarang Deni, tidur dulu istirahat.”
”Eh...tunggu dulu, masih ada lagi, kondisi kayak gini kagak bagus
dibiarkan, sebenarnya bibi mau saja membantu, tapi tangan bibi masih
panas dengan minyak gosok.”
”Apaan lagi Bi...?”
”Sekarang kamu buka celana kamu...!!!”
”APA...??? Maksud bibi apaan, dan apa hubungannya sampai harus buka celana.”
”Huh dasar kamu ini, otaknya pasti sudah ngeres...hehehe. Dengar ya Den,
kalau kont01 yang lagi ngaceng itu kamu dibiarkan, akibatnya jelek ke
badan kamu yang lagi masuk angin ini, bisa jadi panas, karena nggak
dikeluarkan, efeknya menambah panas badan, tapi kalau kamu keluarkan
rasanya jadi adem ke badan. Percaya deh, bibi serius kok, dari
pengalaman dengan suami bibi yang pertama..”
”Ah becanda saja deh bibi ini.”
”Benar kok, bibi serius, sebenarnya bibi mau bantu kamu, toh kamu masuk
angin juga karena ngajak Ucil sama bibi, sudah nyenangi kami, jadi bibi
nggak sungkan, toh biar kamu cepat baik. Namun nggak bisa, takut nanti
kont01 kamu kepanasan. Sudah kamu sendiri saja ya. Bibi mau beresin
bekas ngerokin kamu.”
Aku masih ragu, masih nggak percaya dengan kecuekan bibiku mengatakan
hal tadi dengan sangat ringan tanpa beban kepadaku, secara logika yang
dikatakannya memang masuk akal, tapi tetap saja aku jadi agak jengah
mendengarnya. Duh...gimana nih enaknya..??? Bibi sudah bersiap
mengangkat gelas dan piring kecil minyak gosok.
”Nggg....baiklah, tapi bibi temani ya...,” aku nekat saja deh.
”Den..Den...ada – ada saja kamu ini, tinggal kocok bereskan, sudah sering kan..? Ngapain juga bibi temani.”
”Kan bibi yang menyarankan, jadi bibi tungguin dong, biar jelas...sudah
deh temani saja, katanya mau Deni cepat sembuh. Bibi nggak malu kan...?”
Kayaknya ucapan terakhirku pas menembak sasaran. Akhirnya Bibi kembali
duduk di pinggir tempat tidur. Agak kikuk dan nyengir. Aku juga sama,
nyengir saja buat menghilngkan aura canggung yang ada, aku lalu mulai
menurunkan celanaku perlahan, ketika akhirnya celanaku sudah lepas,
kulihat wajah bibi agak terkejut, dan menatap kont01ku. Aku sih tidak
merasa ada yang beda dengan kont01ku, biasa saja, dibanding dengan
pemain film bokep yang kutonton, kalah jauh. Punyaku maksudnya.
”Ngg...nggg..ge..gede juga kont01 kamu ya Den.”
”Masa sih bi ? Deni mah kagak paham, menurut Deni biasa saja.”
”Den, percaya kata bibi deh, sudah pengalaman, barang kamu itu gede, si
Wawan mah kagak ada kayak kamu. Lagipula kamu masih masa pertumbuhan,
masih bisa bertambah. Perempuan pasti senang ngelihat kont01 kayak punya
kamu.”
Aku pun mulai mengocok kont01ku, sambil melihat kutang bibiku, bibiku
terus menatap kont01ku, kulihat sesekali dia meneguk ludahnya, duduknya
agak gelisah, aku sendiri sudah cukup puas dengan kondisi ini, nggak
berniat lebih, cukup melihat bibiku dengan kutangnya sudah bisa
menyenangkan kont01ku saat ini, terlebih melakukan onani disaksikan
bibiku menimbulkan sensasi tersendiri. Aku kocok kont01ku dengan cepat,
mataku terus melihat tetek bibiku, bibiku makin gelisah melihat kont01ku
yang sudah agak memerah karena cukup lama kukocok. Akhirnya aku
merasakan mau keluar, bibi paham dan segera mengambil kain, lalu aku
segera memuncratkan pejuku ke kain tersebut. Memang rasanya badan dan
pantatku jadi agak ringan, juga tidak terasa terlalu panas lagi. Bibi
masih diam melihat kont01ku, aku segera melipat kain dan berbicara,
bibiku tersentak kaget...
”Benar juga bi, rasanya jadi lebih enak...bi....bi...bibiii...”
”Ha...apa Den...???”
”Deden bilang, badan rasanya jadi lebih enak..”
”Oh ya...syukurlah...benar kan kata bibi. Nah sekarang kamu tidur,
istirahat. Terus pesan bibi, kalau memang lagi ngaceng, jangan suka
sering ditahan, lebih baik dikeluarkan biar lebih baik buat kesehatan.
Ditahan – tahan malah jadi sengsara, kalau dikeluarkan jadi lega dan
meringankan pikiran, Sudah, kamu istirahat, bibi mau tidur juga, kamu
kalau ada perlu apa – apa panggil saja atau datang ke kamar bibi.”
Di kamarnya Ratna berbaring agak gelisah, dilihatnya anaknya, si Ucil
sudah tidur pulas sekali, ia tersenyum sesaat. Lalu kembali hanyut dalam
lamunannya. Memang dia merasa malas untuk berumah tangga lagi, tidak
setelah pengalaman buruknya bersama suaminya yang terakhir. Saudaranya
juga sampai bosan menyuruhnya agar berumah tangga lagi. Bukan maunya
mengalami hal ini, tak ada wanita yang mau rumah tangganya hancur, tak
ada, semuanya pasti mau bahagia. Perkawinan pertamanay sebenarnya tak
ada masalah, hanya nasib menentukan suaminya harus meninggal karena
sakit. Ia mencoba bangkit, membina rumah tangga lagi, ternyata lebih
parah, suaminya yang kedua sangat bejad. Ratna mencoba bertahan, tapi
itu juga ada batasnya. Minta cerai juga tak bisa, akhirnya nasiblah yang
membebaskannya. Tapi setelah kejadian itu, hatinya terluka, merasa
takut berumah tangga. Memang ia tak menunjukkan sikap canggung pada
lelaki, juga tak sungkan berbicara dengan vulgar, sebenarnya kalau mau
jujur itu juga untuk menutupi rasa kurang percaya dirinya. Buat urusan
berumah tangga, Ratna sudah mantap untuk tak mau berumah tangga lagi, ia
masih mampu mebiayai Ucil tanpa perlu sosok seorang suami. Toh kakeknya
Ucil juga masih membantu mengirimkan uang buat cucunya ini. Ketika
akhirnya ia menjanda....lagi, memang tak sedikit lelaki yang mencoba
peruntungan untuk memperistrinya, mulai dari yang bujang samapi yang
sudah beristri. Mulai dari yang seumuran dengannya, lebih muda dan
perjaka, samapi yang sudah uzur, tapi tetap tak mengubah keputusannya.
Tapi walau begitu untuk urusan hasrat, dia agak keteteran. Di usianya
sekarang ini masih butuh kenikmatan hubungan seks. Dia coba meredam dan
memadamkannya, walau sulit dan menyiksa batinnya, toh ia mampu. Bekerja
di sawah dan kebun, mengurus rumah juga si Ucil mampu mengalihkan
gairahnya. Walau ingin, namun ia memilih memadamkannya secara sadar.
Tapi tadi saat melihat kont01 keponakannya, Deni, dia merasa api gairah
dalam dirinya mulai menyala dan tersulut. Ratna menghela
nafas....gelisah, lalu ia memjamkan matanya. Tidur...daripada berpikiran
yang tidak – tidak.
Deni masih memikirkan hal yang barusan, rasanya masih belum percaya,
otaknya mulai nakal, kayaknya sih bakalan hilang keperjakaanku di tempat
ini, dan kalau dengan bibiku, aku rela dan tidak akan menyesal, rasanya
sih tidak akan sulit memikirkan caranya, apalagi kayaknya bibiku
terpesona dengan barangku. Kont01nya kembali ngaceng....tak berapa lama
akhirnya Deni mengantuk, mungkin pengaruh obat dan kerokan tadi,
akhirnya ia tertidur. Tengah malam Deni terbangun, melihat jam di HP
nya, jam 1 malam, sudah lama juga ia tertidur, badannya sudah enak
rasanya, nggak meriang lagi, pusingnya juga sudah hilang, kebelet pipis,
ia segera menuju kamar mandi, pipis, lalu minum, ngantuknya sudah
hilang, akhirnya ia seduh kopi, sudah...nonton bola saja, kan jam segini
kalau minggu dinihari banyak siaran langsung. Ia kembali ke kamar,
membuka tas, mengambil rokok. Ia nyalakan TV pelan saja, bahkan sangat
pelan, tidak terdengar dari kamar bibi, takut mengganggu, mencari siaran
bola, menyalakan rokok dan meminum kopi..otaknya kembali membayangkan
kejadian tadi, juga tubuh bibinya, siaran bola jadi tak menarik. Deni
mulai berpikir mencari cara, nggak mau main tubruk saja, yang pasti
bibinya sudah lama nggak merasakan berhubungan seks, entah bagaimana
namun nalurinya sangat pasti akan hal itu, ia mesti memanfaatkan ini,
lagipula ia masih pemula jadi nggak bisa seenaknya. Kalem saja mengikuti
alur. Tak perlu tergesa, masih banyak waktuku, masih ada hampir 5
minggu sisa liburanku. Setelah rokok dan kopi habis, dia matikan TV,
membereskan gelas dan asbak, lalu Deni melangkah....ke arah kamar
bibinya.
Kamar bibi memang tidak pernah dikunci, bahkan pintunya jarang ditutup,
hanya ditutup gorden kalau malam. Deni belagak saja, kalau tengsin,
tinggal bilang dari WC, karena masih ngantuk dan agak kurang enak badan
jadi salah kamar. Dilihatnya si Ucil masih pulas, ngorok lagi...dasar si
Ucil, bibi juga tertidur, tanganya terangkat memperlihatkan barisan
bulu keteknya yang aduhai, kutangnya agak kendor, sehingga tetek
besarnya seperti mau tumpah saja, ia segera naik ke atas tempat tidur,
sengaja menyenggol tubuh bibinya agak keras saat merebahkan tubuh. Lalu
Deni pura – pura sudah tertidur, kurasakan bibi kaget karena tersenggol
tadi, sempat bingung sejenak, lalu melihat Deni yang tertidur, posisinya
memunggunginya, deni merasakan tangan bibinya menggoyang tubuhnya...
”Den...Den...hei ngapain kamu tidur di sini...Den...”
”Wah...ngelindur nih bocah, habis pipis kali, ya sudahlah biarin saja, kasihan, mungkin masih meriang.”
Deni mendengar suara bibinya yang masih agak mengantuk. Kembali
melanjutkan tidurnya. Ia kini hanya diam saja, memunggunginya, belum
berani bergerak atau membalikkan badan. Kulihat jam dinding di tembok,
jam 01.40. Suasana masih hening, hanya terdengar suara ngorok si Ucil
yang seru sekali tidurnya. Kulihat jam...jam 02.15, setelah yakin ia
balikkan tubuhnya, bibinya nampak tertidur pulas, kulihat satu kakinya
agak menekuk, kainnya agak tersingkap.....astaga, bibiku tidak memakai
celana dalam pikirr Deni. Ia hanya meneguk ludah menyaksikan m3meknya
yang indah, bulu jembutnya sangat rimbun dan hitam. Posisi badannya agak
miring, teteknya nampak menonjol mau keluar dari balik kutangnya. Deni
masih berdiam diri menikmati pemandangan indah ini, mataku terus menatap
bergantian ke arah kutang dan m3meknya. Perlahan Deni menurunkan
tubuhnya, Ia dekatkan wajahku ke m3meknya, nampak mempesona dengan
belahannya yang panjang. Ia puaskan menyaksikan pemandangan yang baru
pernah disaksikan secara nyata dan sedekat ini selama hidupnya.
Kont01nya berdenyut keras meronta – ronta di balik celanannya. Ia
beranikan tangannya secara perlahan menyentuh jembut bibinya, tebal dan
rimbun. Lama Deni memelototi m3mek bibinya, hanya ini saja yang bisa ia
lakukan, belum berani lebih. Puas, Deni kembali naikkan tubuhnya
perlahan, kini menyaksikan bulu ketek dan teteknya, kalau saja....ya...
ia menjulurkan pelan tangannya, perlahan menarik pelan ujung kutang
bibinya yang sudah melonggar, pelan – pelan.......yessss, seakan
meloncat bebas satu tetek besarnya saat akhirnya bagian sebelah
kutangnya berhasil ditarik.....Ampyunnnn.....besar dan putih bersih
sekali teteknya, besar, bulat dan masih kencang. Pentilnya seperti
tombol volume suara radio, berwarna coklat agak gelap, dihiasi lingkaran
aerola yang besar dan lebar di sekelilingnya. Deni menelan ludahnya
menikmati keindahan tetek bibi Ratna ini. Tangannya mengelus bulu
keteknya, lalu setelah mempertimbangkan ia sentuh perlahan
pentilnya....Oooohh nikmatnya, jadi inilah rasanya memegang pentil tetek
besar bibi ratna. Lama Deni memegangnya, memilinnya lembut, nggak
berani menciumnya, masih takut bibinya terbangun dan marah. Deni
merasakan pentil bibinya mulai membesar dan mengeras saat dimainkan,
teteknya terasa kenyal saat tersenggol tangannya. Tangan Deni yang satu
lagi sibuk mengelus kont01nya sendiri. Bibinya mulai menggeliat, Deni
jadi makin senang memainkannya, lama – lama bibinya makin sering
geliatnya, nampaknya akan segera terbangun nih, segera Deni menghentikan
kegiatan tangannya, dengan cepat dan tanpa suara ia membalikkan
tubuhnya, pura – pura tidur pulas.
”Ugh...Wah...mimpi apaan aku tadi...kok enak rasanya.”
”Lho...kenapa tetekku bisa keluar begini....Nggg...mungkin kendor
talinya...memang mesti dijahit lagi, untung si Deni masih tidur.”
Lalu kudengar bibinya merapikan baju dan kainnya, merasakan tubuh
bibinya melangkah dirinya, nampaknya bibi mau turun, ketika bibi keluar,
kulirik jam dinding, sudah jam 5 lewat, terdengar suara di kamar mandi,
lalu kesibukan di dapur, nampaknya bibiku memutuskan untuk bangun. Deni
rada kecewa tapi ya sudahlah cukuplah rejekiku saat ini pikirnya. Deni
lalu melanjutkan tidurku....masih dengan kont01 yang ngaceng.
Paginya Deni terbangun jam 8 lewat, kulihat si Ucil sudah tak ada di
tempat tidur, ia lalu keluar kamar, melihat bibinya sedang menyuapi si
Ucil, dia menanyakan kondisi Deni, bibi bilang semalam aku ngelindur,
habis pipis, salah masuk kamar, tapi bibi tak tega membangunkan, Deni
pura – pura kaget dan minta maaf, nampaknya bibi tidak curiga.Bibi lalu
menanyakan aku mau sarapan apa, aku bilang apa saja. Deni mengambil
handuk lalu mandi. Di kamar mandi Deni ngocok lagi melepas beban tadi
subuh, lega rasanya. Saat sarapan, bibi bilang mau ke kebun, Deni bilang
mau ikut. Jadilah kami bertiga ke sana, jalan kaki. Di sana ketemu bi
Lasmi. Kubantu bibi di sana sambil bermain dengan Ucil. Pekerja yang di
sana sudah tahu siapa Deni. Tengah hari kami pulang untuk makan, lalu
Deni mengajak Ucil berenang dan memancing. Saat mancing pikiran ngeresku
kambuh.....duh kayaknya kagak bisa tahan lagi nih, apalagi setelah
melihat aset bibiku....gimana juga caranya nanti malam
harus...harus...tekadku membara, nggak sadar umpan kailku sedang dimakan
ikan, ketika sadar sudah habis umpannya, Ucil tertawa geli....dasar
Ucil...habis ibumu terlalu membuat nafsu sih.
Sorenya kami pulang, setelah mandi lalu makan. Setelahnya kuajak Ucil
nauk motor sebentar, biar dia senang dan cepat tidur. Pulangnya Ucil
nonton TV sebentar, bibi juga ikut nonton, tak sampai satu jam Ucil
sudah tertidur, bibi mau memindahkan, tapi Deni melarang, biar Deni
saja, bibi tersenyum berterimakasih. Setelah itu Deni membawa Ucil ke
tempat tidur, tidur yang pulas ya Cil...Aa...ada perlu sama ibumu. Deni
keluar, menanyakan apa bibinya mau kopi susu, lalu menyeduh 2 gelas,
kembali duduk dan menyaksikan TV sambil mengobrol ringan, matanya
bergantian dari TV dan kutangnya. Deni memulai percakapan
”Bi...katanya mau cerita tentang Mang Wawan, itu kalau bibi mau lho...”
”Ah...nggak ada yang perlu diceritakan dari si Wawan brengsek itu..”
”Lho kok gitu....ceritakan dong bi. Kan bibi sudah janji...hayo...jangan ingkar janji.”
”Baiklah karena kamu memaksa, ibu dan bibi kamu juga sudah tahu, bibi
nggak merasa malu cerita ke kamu, karena bibi sebel banget sama dia.”
”Lho dia kan suami bibi, bapaknya Ucil.”
”Iya, tapi kelakuannya itu memuakkan. Kamu tahu Den, dia itu memang anak
satu – satunya, bapaknya pedagang hasil bumi yang sukses di daerah
sini. Terlalu memanjakannya. Waktu kenal bibi, bibi pikir dia lelaki
baik dan rajin, ternyata bibi salah. Dia cuma berpura – pura saja waktu
itu, untuk menarik simpati bibi. Orang tuanya senang saat dia memutuskan
menikah dengan bibi. Apalagi saat mendapatkan cucu.”
”Terus apa yang salah bi....???”
Bibi mengambil nafas sejenak, mereguk gelas kopinya, lalu kembali menerangkan...
”Dengar dulu, bibi belum selesai, seperti kata bibi tadi, orang tuanya
memang kaya, terlalu memanjakannya yang hanya anak tunggal, bibi nggak
mau punya laki yang kerjanya hanya foya – foya dan mabuk – mabukkan.
Sudah tebal kuping bibi mendengar omongan orang tentang kelakuannya yang
suka main perempuan. Bibi nggak mau punya laki yang hanya menerima dari
orang tuanya, bibi punya kebun dan sawah, dia bisa bantu mengelola,
atau dia bisa kerja sama bapaknya, sebagai suami dan bapak si Ucil
memang sudah kewajibannya untuk bekerja, tapi ya itu tadi memang selalu
dimanja orang tuanya,apalagi setelah memberikan cucu.”
”Iya juga sih....Deni bisa mengerti...”
”Sifatnya kalau lagi mabuk itu amat menjengkelkan, belum lagi suka marah
– marah, mau enaknya saja, juga ringan tangan, rasanya bukan ini
perkawinan yang bibi impikan.”
”Wah nggak boleh begitu dong, masa jadi suami main pukul sih...gemes banget nih Deni dengarnya.”
”Setahun sebelum ia mati, sifatnya makin menjadi – jadi, saking kesalnya
bibi sampai nggak sudi lagi punya anak darinya, cukup Ucil saja. Tanpa
sepengetahuannya bibi memasang alat kontrasepsi. Rasanya malas dan tak
rela buat hamil anak lelaki bejad itu.”
Deni mengangguk sok tahu, mencoba meyakini bibinya bahwa ia sependapat.
”Terus kenapa mang Wawan meninggal..?”
”Bibi masih ingat jelas, waktu itu hujan, si bejad itu pulang mabok,
bawa cewek nggak benar lagi, kagak peduli istri sama anaknya, kalau cuma
itu saja biarlah, bibi masih tahan, tapi ini dia panggil bibi, suruh
menyaksikan dia ngewek sama itu perempuan sundal itu. Mending kalau
cakep, kayak ondel –ondel menor begitu. Kalau menolak, bibi dia tampar
dan tendang, akhirnya bibi diam saja melihatnya, edannya lagi dia suruh
bibi melayani tingkah bejatnya, waktu bibi menolak dia marah,
ditamparnya bibi, diancam akan dia hajar habis – habisan, akhirnya bibi
turuti, hampir seperti pemerkosaan saja, karena bibi nggak rela.
Perempuan sundal itu malah ketawa – tawa, sakit hati bibi.”
”Gilaaaa...Keterlaluan banget, sudah punya istri secantik bibi masih
main perempuan juga, pake acara bawa ke rumah lagi, pantas saja bibi
benci sama dia. Bego banget tuh orang.”
”Bibi teruskan ya, selesai dengan nafsu bejadnya, dia melanjutkan minum –
minuman yang sudah dibawa bersama dengan perempuan itu, untung si Ucil
sudah tidur saat peristiwa itu. Akhirnya setelah puas mabok dan memaki
bibi, kedua laknat itu pergi, dan terjadilah kecelakaan itu.”
”Oh ya...gimana tuh ceritanya bi...??”
”Kamu tahu kan, tikungan yang curam dan tajam di dekat kali situ...? Nah
waktu itu jalannya belum bagus dan terang kayak sekarang, dulu masih
jelek dan gelap, belum ada tembok sama besi pembatas, apalagi hujan saat
itu, mungkin karena mabok, motornya tak terkontrol, saat berpapasan
sama mobil angkot yang baru mau pulang, kedua laknat itu jatuh ke bawah,
ke dasar yang dalam, langsung tewas seketika. Anehnya bibi tidak merasa
sedih tuh. Malah senang, sakit hati bibi terbalas dengan cepat. Lalu
bapaknya, abahnya si Ucil, nampak menyesal karena terlalu memanjakannya,
dan nampaknya tahu kelakuan anaknya, dia meminta maaf sama bibi. Untuk
si Ucil dia akan menanggung dan membiayainya, sebenarnya dia meminta
Ucil tinggal bersamanya, tapi bibi masih keberatan dan Ucil juga belum
mau.”
Suasana jadi agak canggung setelahnya, gila...ngaco banget tuh si Wawan,
bini cakep kayak gini masih doyan saja main perek, dasar, pantas saja
umurnya pendek, pantas bibi benci sama manusia itu. Untuk mencairkan
suasana Deni mulai mengalihkan pembicaraan ke hal lain, akhirnya suasana
menjadi santai kembali, setelah beberapa lama, Deni mulai menggiring
arah percakapan.....
”Bi, mulai besok selama Deni nginap, jangan pakai pakaian begini lagi
ya, ganti deh, pokoknya selama sisa liburan Deni, tolong ya....”
”Lha kenapa si Den..??? Bibi sudah biasa, nggak mau ah...”
”Aduh bi, Deni kan lelaki, ribet jadinya, kasihan dong sama Deni, anunya tegang terus.”
”Kan bibi sudah bilang, kalau memang begitu ya keluarin saja, kan beres.”
”Oh gitu ya bi,....ya sudah...”
Memang ucapan ini yang Deni tunggu, tanpa basa – basi lagi, Deni berdiri
dan menurunkan celananya, lalu duduk kembali dan dengan santai mengocok
kont01nya yang sudah tegang. Bibinya nampak kaget melihatnya.
”Den, apa – apaan sih kamu, memang begini maksud bibi, tapi jangan di depan bibi atuh...”
”Ya salah bibi sendiri.....kan ini juga gara – gara bibi, yang penting Deni bisa lega...”
Bi Ratna kini mulai gelisah melihat ke arah kont01ku, sedangkan aku
semakin provokatif saja mengocok kont01ku. Kulihat Bi Ratna mulai tidak
tenang posisi duduknya.
”Bi, kemarin katanya mau bantuin Deni tapi tangannya panas karena minyak
gosok, sekarang kan nggak, kenapa nggak bantuin sekarang saja...???
Deni senang kok kalau bibi yang bantuin.”
”Nggg....gimana ya, Den...kemarin kan karena Deni sakit, sekarag mah lain atuh...”
”Sudahlah bi, kan nggak ada yang lihat, lagipula sungguh kok, Deni malah
akan merasa senang sekali kalau bibi bersedia, sebaliknya kalau bibi
menolak Deni akan sediihhhh sekali. Deni tahu bibi juga mau pegang punya
Deni kan.”
”Baiklah, tapi cuma itu saja ya, Den.”
Akhirnya Bi Ratna mulai mendekat dan berlutut dekat Deni, tangannya yang
halus mulai menyentuh kont01nya, lama ia menyentuh dan hanya
menggenggamnya, mungkin sedang menghayati terlebih dahulu, mungkin sudah
terlalu lama dia tidak melihat kemaluan lelaki. Deni merasakan tangan
bibinya sangat halus sekali, membuat kont01nya tambah keras. Tak berapa
lama tangannya mulai mengocok kont01 Deni, dan Deni merasa nikmat
sekali, apalagi sambil menikmati kocokan bibinya, Deni bisa melihat
belahan teteknya dengan jelas.
”Ughhh....enak bi, Deni senang banget nih...”
”Sudah kamu nikmati saja....”
Sambil mengocok kont01 Deni, matanya nampak terus memandangnya, sesekali
Deni lihat bibinya meneguk ludahnya, sepertinya sedang ragu mau
memutuskan sesuatu, Deni tidak mau kehilangan moment ini, segera
mengeluarkan jurus muslihatnya yang level paling tinggi.
”Biii....kalau cuma bibi yang lihat punya Deni, nggak adil nih....”
”Apa maksud kamu,Den...kamu mau lihat m3mek bibi, nggak ah...nggak boleh.”
”Ya bibi, curang deh...kalau memang nggak boleh, boleh nggak Deni
melihat dan memegang tetek bibi saja, Cuma tetek bibi saja, terus terang
Deni suka sekali melihatnya, bahkan kont01 Deni ngaceng begini karena
melihat tetek besar bibi terus di balik kutang bibi...boleh ya bi...”
Kulihat bibi terus mengocok kont01ku, raut wajahnya seperti sedang
berpikir, antara mengijinkan atau tidak...Dan memang Ratna sedang
bergelut sama batinnya...ragu tapi juga terbakar gairah...ya sudahlah
akhirnya memutuskan, remaja baru gede seperti keponakannya, melihat
tetek saja juga sudah puas...cuma tetek saja tak masalah. Lalu setelah
beberapa lama, bibinya berdiri dan duduk di samping Deni, tangannya
mulai menurunkan kutangnya....dan terpampanglah kedua teteknya yang
besar dengan indah di hadapan Deni, kont01 remaja tanggung itu langsung
berdenyut. Deni hanya memandanginya saja, sementara bibi kembali
mengocok kont01 Deni.
”Tuh sudah lihat kan, kok bengong doang...kalau mau pegang ya pegang saja Den, bibi nggak marah kok.”
”I...ii..iya, Bi....”
Dengan tangan gemetar Deni mulai meremas kedua tetek besar itu, ranum,
rasanya empuk dan nyaman, jarinya mulai memainkan pentilnya, lama
kelamaan pentilnya makin mengeras dan membesar, kocokan bibi Ratna mulai
terasa cepat.
”Bi...Deni boleh hisap pentilnya nggak...???”
Bibi tak menjawab, hanya mengangguk saja, nggak terlalu masalah dengan
permintaan keponakannya. Setelah menghisap pentil, nanti juga anteng
pikir Ratna. Deni segera mendekatkan mulutku ke tetek bibinya, lidahnya
mulai mengulum dan memainkan pentil tetek bibinya, menikmati betul
moment pertamanya merasakan tetek wanita. Lalu dia mulai menghisap
pentilnya, bergantian kiri dan kanan...lama kelamaan Ratna mulai
menggeliat dan gelisah...
”Den...Ughh...Den, aduh...bibi mau kasih sesuatu yang enak ke kont01
kamu, kamu nikmati saja ya...sudah kepalang tanggung, nambah ini sedikit
nggak masalahlah...lagipula pegel tangan bibi dari tadi ngocokin kont01
kamu, belum ngecret juga.”
Lalu bibi mulai merendahkan kepalanya, otomatis Deni menghentikan
hisapannya pada pentil bibinya. Deni sebenarnya sudah tahu apa yang akan
dilakukan bibinya, sudah sering melihatnya dalam film bokep yang sering
ia tonton....namun merasakan untuk pertama kalinya tentu saja
membuatnya berdebar....., Deni merasakan lidah bibinya mulai menjilati
kepala kont01nya, geli tapi enak, sesekali lidahnya menjilat lubang
pipisnya. Lama bibinya menjilati kepala kont01nya, tangannya membelai
biji peler keponakannya ini, lalu lidahnya mulai menjilati batang kont01
Deni, ketika akhirnya mulutnya mulai mengulum dan menghisap kont01nya,
tanpa sadar Deni mendesah...tangannya meremas rambut bibinya.
Gilaaaaa....lemas rasanya lutut Deni, seluruh sendi terasa lepas, enak
sekali ia rasakan saat kont01nya dikulum dan dihisap oleh mulut manis
bibi Ratna. Sesekali dirasakan pangkal kepala kont01nya bersentuhan
dengan bibir hangat bibinya, merem melek Deni menahan rasa geli – geli
nikmat ini. Bi Ratna dengan semangat dan rakusnya melumat habis kont01
Deni dengan mulutnya. Mimpi apa Deni..bisa merasakan kenikmatan pertama
di-oral bersama bibinya yang cantik dan bahenol ini
.
Setelah beberapa lama bi Ratna menghentikan kesibukan mulutnya, ia
segera duduk dan menatap Deni, ekspresi wajahnya fifty – fifty, sebagian
agak canggung buat ngomong, tapi juga sebagian lainnya penuh gairah dan
rasa penasaran..... ..
”Den, sudah kepalang tanggung, bibi memang sudah lama nggak merasakan
barang lelaki, kamu mau kan bantu bibi. Kamu belum pernah ngerasain
begituan kan..? Makanya bibi mau kamu ngeluarin pertama kali di dalam
m3mek bibi. Bibi pakai alat KB, belum bibi lepas,jadi nggak masalah.
Eh..kalau kamu belum tahu caranya, jangan khawatir, nanti bibi akan
bimbing kamu.”
”I...iii..iya bi, kalau sama bibi, Deni justru merasa senang dan
bahagia, nggak bakalan nyesal. Kalau Deni masih bego, maklumin saja ya
bi..”
”Ah...nanti juga pintar. Umumnya sih kalau dari pengalaman, juga cerita
banyak teman bibi, kalau perjaka awalnya suka cepat keluar, tapi nggak
tentu, ada juga yang alot, lama keluarnya. Itu bukan masalah, yang
namanya pertama pasti masih tegang, masih terlalu nafsuan, nanti juga
biasa. Sini kemari....bantu bibi buka pakaian bibi.”
Deni segera membuka kaosnya, sangat penuh luapan kegembiraan dan
penasaran...Deni sudah lama mau melepas keperjakaannya, tapi kini saat
akhirnya siap melepasnya, ternyata moment itu sama bibinya yang aduhai
ini...grogi dab tegang campur penasaran bercampur satu. Deni lalu
membantu bibi Ratna melepaskan kutangnya, lalu bibinya berdiri, ia bantu
melepas kainnya, terlihat celana dalamnya, Deni bengong menatapnya,
bibi ratna tersenyum dan menyuruhnya melepaskannya. Memang semalam ia
sudah melihat m3meknya, namun sekarang melihatnya sedekat ini, mengethui
sebentar lagi ia bebas melakukan niatnya dan juga saat bibinya tak
tertidur jauh lebih mengasyikkan, indahnya...lalu bibi menarik tangannya
ke arah kamar tempat Deni tidur, mungkin dia lebih nyaman melakukannya
di tempat tidur daripada di sofa. Sesampainya di kamar bibi segera
berbaring, Deni hanya berdiri saja menyaksikan tubuh telanjang bibinya
yang sangat indah dan mempesona.
”Ayo sini, kamu naik dong, Den. Tadi kan semangat betul, kok sekarang
banyak bengong..? Kamu lihat m3mek bibi kan..? Nah..., ayo arahkan
mulutmu ke situ, nanti bibi kasih tahu...”
Dengan cepat Deni segera naik, masih rada kurang pede, bibi mulai
merenggangkan kakinya, mempertontonkan m3meknya yang dihiasi bulu jembut
yang lebat, belahan m3meknya nampak jelas dan rapat, mungkin karena
sudah lama nggak diterobos barang lelaki. Mata Deni terpaku
menyaksikannya.
”Den, sekarang kamu mainin m3mek bibi sama mulut dan lidah kamu, perempuan akan senang kalau lelaki memainkannya.”
Tangannya mula – mula mengelus dan membelai bulu jembutnya, terasa tebal
dan kesat, sesekali ia menarik bulu jembut itu perlahan, nyamannya,
lalu jarinya mulai mengusap permukaan luar m3meknya. Tebal juga m3mek bi
Ratna, belahannya panjang dan rapat. Deni meneguk ludahnya...kont01nya
sudah ngaceng sekeras batang kayu.
”Sekarang gunakan jarimu, lebarkan m3mek bibi..kamu bisa gunakan lidahmu untuk menjilatinya”
Deni mulai mengikuti bimbingan dan arahan bibinya, jarinya mulai
melebarkan belahan m3meknya, merenggangkannya, nampaklah lobang m3meknya
yang berwarna pink rada kemerahan menggoda, Deni mendekatkan mulutnya
ke arah sana, hidungku mencium aroma wangi yang enak, sangat natural dan
menggelitik saraf – saraf sensualnya. Ia mulai memainkan lidahnya
menjilati seluruh bagian dalam dan juga lobang m3mek bibi Ratna.
”Aahhh...ya...betul begitu, nah...dekat atas lobang m3mek bibi, ada
tonjolan daging sebesar biji kacang, itu it1l bibi, kamu mainkan dengan
lidahmu, bibi akan merasa enak sekali kalau kamu memainkannya.”
Deni mulai mencari tonjolan enak milik bibi, lalu lidahnya mulai
menjilatnya, memainkannya, memulasnya ke atas bawah, kiri kanan, pinggul
bibi mulai bergoyang, mulutnya mengerang dan mendesah nikmat. Secara
naluriah, tangan Deni mulai beraksi, jarinya mulai menusuk – nusuk
lobang m3meknya...
”Sssshh...Aaaahhh...Yaaaa..pinteeeerrr juga kamu....Deeeennn....Hhhhh”
Makin senang Deni mendengar bibi Ratna memujinya, PeDenya bertambah,
tangan bibi mulai menjambaki rambutnya, sedang Deni makin bersemangat
menjilati it1lnya, jarinya makin leluasa keluar masuk di dalam lobang
m3mek bibinya yang sudah basah, makin tercium aroma yang khas sekali,
yang belum pernah ia rasakan dengan indra penciumannya sebelum ini,
aromanya enak sekali di hidung. It1l bibinya makin mengeras dan mudah
sekali dimainkan oleh lidahnya, lama Deni memainkannya sesuka hatinya,
sesekali bibirnya menarik lembut memainkan it1l bibi Ratna, juga masih
asik menyodokkan jarinya di lobang m3mek bi Ratna. Bibi hanya mendesah
dan merintih penuh gairah, pantatnya sesekali ikut bergoyang, Deni nggak
bosan, ini pengalaman pertamanya, dan ia menyukainya....ketika akhirnya
Deni merasakan desahan bibinya makin kuat, dan badan bibinya mulai
bergetar, pantat bi Ratna sedikit terangkat, tubuhnya mengejang
kuat...tak lama m3meknya menyemburkan cairan hangat, Deni merasakan
jarinya sedikit hangat juga lengket.
”Duuhhh...enaknya sudah lama rasanya bibi nggak merasakan nikmat ini.
Den, bibi rasa buat urusan lidah, kamu bakalan cepat mahir. Sekarang
kamu coba masukkin kont01 kamu ke m3mek bibi, nikmatnya bakalan luar
biasa, percayalah. Karena ini pengalaman pertama kamu, nggak usah
khawatir, lumrah kalau cepat keluar...nanti juga terbiasa.”
”Ba..Baik bi..., bantu Deni ya...”
Deni lalu mulai memposisikan diri di atas tubuhnya, satu tangan bibi
mulai melebarkan lobang m3meknya, sedangkan satu tangannya lagi
mengenggam kont01 Deni, membimbingnya menuju ke arah yang benar.
Percobaan pertama agak meleset....lalu akhirnya...Blessss...kont01nya
mulai terbenam ke dalam lobang nikmatnya, ketika akhirnya seluruhnya
masuk, badan bi Ratna nampak bergetar kuat. Deni melihat wajah bibinya
seperti wajah orang haus yang baru saja menemukan air. Deni hanya diam
dulu merasakan kenikmatan saat pertama kali kont01nya memasuki m3mek
wanita, terasa hangat dan nyaman. Sulit dia mengungkapkan perasaannya
saat itu. Yang dia tahu bibi mulai menyuruhnya memompakan kont01nya,
Deni mengikuti petunjuknya, konsentrasinya saat itu hanya tercurah pada
pompaannya, belum terpikir untuk melakukan hal sambilan lainnya seperti
menghisap teteknya, hanya focus pada pompaannya...maklum masih pemula.
Deni juga belum pandai mengatur ritme...memompa sekuatnya dan
secepatnya, memang m3mek bibinya terasa sempit dan mencengkram, membuat
kenikmatan tiada tara pada kont01nya...
Tidak sampai 2 menit Deni merasakan klimaks pertama kalinya pada lobang
m3mek wanita. Sangat spesial bagunya karena wanita itu adalah bi Ratna.
Dia hanya mampu terkulai lemas di atas tubuh bibinya. Masih diam
menikmati sensasi yang baru dirasakan. Bibi hanya membelai – belai
punggungnya. Tidak berapa lama, dia cabut kont01nya dan berbaring di
sampingnya.
”Bi...maaf ya, Deni cepat selesainya...”
”Nggak apa Den, justru itu normal, tadi kan bibi sudah bilang,
kebanyakan orang memang akan cepat keluar saat pertama kalinya, karena
memang belum terbiasa. Nantinya pasti akan lain.”
”Bi...Deni senang sekali, bahkan bahagia karena pengalaman pertama Deni
bisa melakukannya sama bibi, akan jadi kenangan indah banget buat Deni.”
”Bibi juga Den, syukurlah kalau Deni senang karena memilih bibi sebagai
wanita pertama bagi Deni untuk melakukan ini. Bibi memang sudah lama
nggak melakukannya, saat melihat barang kamu, jujur saja m3mek bibi
berdenyut, mungkin merasa ketemu lawannya. Bibi sempat bimbang, tapi
karena kamu keponakan bibi, bibi justru merasa nyaman dan aman. Biarkan
ini menjadi rahasia kita berdua ya.”
”Bi...???”
”Iya Den...kenapa...??”
”Deni ngaceng lagi.....mau masukkin lagi...”
Akhirnya malam itu Deni kembali meneruskan pelajarannya, sampai 4 ronde,
sudah makin pandai dan terkontrol. Setelah selesai bibinya kembali ke
kamarnya. Deni kini sendirian, masih lemas sekali, tenaganya terkuras
habis. Meski begitu sangat bahagia....gilaaaa, keputusannya buat tetap
tinggal di kampung, sangat menguntungkannya. Tak menyesal ia hilang
keperjakaannya untuk wanita semenawan bi Ratna. Deni karena lelah segera
tertidur dengan senyum amat manis menghiasi bibirnya.
Paginya ternyata bi Ratna juga bangun agak kesiangan, kecapekan juga.
Benarnya Deni mau ngebetot lagi, sayang ada si Ucil. Bibinya setelah
selesai sarapan, minta diantar ke kota, mau beli pil KB, buat jaga –
jaga katanya, walau pakai alat KB, tetap lebih baik berjaga. Di
puskesmas di balai warga sebenarnya ada dan bisa beli pil KB, tapi nggak
mungkin bibinya membeli di sana, bisa geger dunia persilatan...eh
salah...maksudnya bisa geger warga kampung sini, kalau bibinya yang
menjanda melenggang santai ke Puskesmas untuk membeli pil KB. Akhirnya
mereka berangkat, si Ucil diajak juga tentunya, bocah itu juga tak’kan
paham apa yang akan dibeli ibunya. Agak siangan mereka sudah sampai,
bibinya segera ke kebun seperti biasa. Ucil mengajak Deni ke rumah
abahnya, ya sudah Deni mau saja.
Kini sudah hampir 2 minggu Deni melakukan hubungan seks sama bi Ratna,
sudah bisa dibilang mahir dan mampu memuaskan bibinya. Hari ini Ucil tak
di rumah, dijemput abahnya, diajak kondangan ke saudara di bandung,
pulangnya besok sore. Dari pagi Deni ikut bibinya ke kebun, tapi baru
sebentaran di sana sudah terus colek – colek bibinya minta pulang. Nggak
tahan mau nyodok lagi. Hari ini bi Ratna memakai kaos dan celana
selutut.Akhirnya bi Ratna nyengir memaklumi kemauan keponakannya yang
lagi doyan – doyannya, belum siang mereka sudah pulang. Bibinya masuk ke
rumah, menuju kamar.Deni yang sudah ngaceng berat, segera memasukkan
motor ke dalam rumah, menutup pintu asal rapat tanpa menyadari belum
terkunci, dengan semangat 45 segera ke kamar bibinya. Bi ratna baru juga
membuka baju kaosnya, hanya menyisakan BH, Deni sudah menomploknya
merebahkannya ke kasur. Bibinya tertawa kecil...
”Sabar atuh Den, semalam kan sudah sampai 3 kali, masa sekarang belum
tengah hari sudah minta lagi....doyan amat sih ponakan bibi ini.”
”Namanya juga anak muda masih semangat. Lagian memang bi ratna sangat menggoda sih.”
Deni segera memendamkan wajahnya di antara belahan tetek bi Ratna,
menciuminya, wangi dan harum, aroma wangi tubuh dan sabun bercampur satu
dan memabukkan. Tangannya segera meremasi BH bibinya, tak lama,
sebentar saja, tangannya tak sabaran segera melucuti paksa Bh bibinya.
Kini ia asik mengulum dan memainkan pentil bibinya, menghisapnya kuat –
kuat. Bibi Ratna sampai kelojotan. Keponakannya ini benar – benar murid
yang pandai, sebentar saja sudah mahir mengetahui juga lihai memainkan
titik – titik sensitifnya. Mampu secara kreatif mengembangkan
potensinya. Tangan bi Ratna menyusup ke balik celana pendek Deni, mulai
meremas – remas kont01 Deni.
Dengan cepat akhirnya keduanya kini sudah tak berbusana lagi, Deni masih
di atas menindih bibinya, mengangkat lengan bibinya, menciumi dan
menjilati rimbunan keteknya, enak dan harum. Bibinya masih asik mengocok
kont01nya, karena sudah tak tahan, Deni menurunkan pantatnya sedikit
dan...blesss...kont01nya menerobos m3mek bibinya. Kini Deni sudah tak
culun lagi, sudah pandai menjaga tempo. Ia mulai memompa dengan
semangat, kaki bibinya terkangkang lebar, Deni menyodokkan kont01nya,
kuat dan bertenaga serta sedalam mungkin. Tetek bibina bergoyang
nafsuin. Gemas banget Deni melihatnya, ia dekatkan mulutnya, menghisap
pentil itu kuat, sodokannya makin kuat, hampir 3 menit lewatt, masih
tetap menghisap kedua pentil tetek bibinya secara kuat dan bergantian
juga menyodok dengan cepat dan konstant, efeknya bibinya mendesah kuat
dan penuh gairah...
”Aaahh.....Ssssshhh.....lagiiiii....”
”Huahhhh....ooohhhh......Wooowwww...”
”Yessss......”
Tubuh bi Ratna menggeliat dan mengejang kuat, menyemburkan cairan
orgasmenya, sebenarnya Ratna juga heran di awalnya, dulu sama suaminya
yang bejat, sulit sekali ia orgasme, tapi sama keponakannya ini, sangat
mudah dan sering, mungkin karena ia sendiri enjoy dan menikmati semangat
Deni yang penuh gairah tanpa surut. Deni tak memperdulikan bibinya yang
masih lemas, makin mantap menyodokkan kont01nya, mata bi Ratna merem –
melek menrima gempuran sodokan kont01 Deni, tangannya memeluk erat
pundak Deni.
Sementara kedua insan ini masih seru memacu birahi, Bi Lasmi melongok
melalui hordeng yang sedikit terbuka di pintu depan, motornya ada,
kenapa dari tadi tak ada yang menjawab, masa si Ratna sama Deni jam
segini sudah tidur siang. Penasaran ia memutar gagang pintu...tuh
ceroboh sekali tak dikunci, mana ada motor, nanti digondol maling lagi.
Perlahan ia masuk dan menutup pintu, menguncinya. Memandang
sekeliling...sepi amat sih. Oh ya, si Ucil kan ikut si Abah, tadi pagi
Ratna sempat ngomong waktu ketemu di kebun. Ah paling adiknya lagi
tiduran di kamarnya. Yakin dengan perkiraannya, Lasmi segera menuju
kamar adiknya, sambil berseru..
”Rat, teteh minta kecap dulu dong, nanggung lagi masak, tadi ke
warungnya si Ros, tapi tutup, lagi belanja ke pasar, makanya minta
sedikit ke...APA...?”
Lasmi membelalak, saat menyingkap gordeng yang menutup kamar adiknya, ia
mendapati pemandangan yang tak pernah ia duga atau bayangkan.
Keponakannya Deni sedang menindih adiknya Ratna, keduanya tanpa busana.
Matanya terbelalak memandangi keduanya bergantian.
Ratna dan Deni diam membatu, kont01 Deni masih menancap di m3mek
bibinya. Terkejut sekali tentunya, situasi amat memojokkan mereka, mau
ngomong apapun posisi mereka sangat nyata sedang melakukan hubungan yang
terlarang. Rasanya mulut mereka terkunci rapat sulit menjelaskan.
Setelah lama terombang – ambing dalam kesunyian yang menegangkan, rasa
keterkejutan sudah berkurang, pikiran mulai mengalir kembali...
”Eh...teteh...eh...a..anu...”
”Bi...eng bi Las...Lasmi, De..Deni bi....bisa jelas...jelaskan...i...ini sa..salah Deni.”
Lasmi masih terkejut, dalam pikirannya, ampun Ratna, banyak lelaki yang
mengejar kamu, mau memperistri kamu, tapi kenapa kamu malah memilih
ngewek sama...ke...keponakan kita, Deni ? Harus ada penjelasan yang
masuk akal, karena saat Lasmi memrgokinya, walau sesaat saja, jelas
keduanya melakukannya dengan sukarela, tak ada pihak yang terpaksa. Dia
duduk di pinggir ranjang, masih terkejut, semuanya diam, akhirnya Lasmi
bisa menguasai diri. Ratna sudah mendahului bicara. Saking tegangnya,
Deni sampai lupa mencabut kont01nya.
”Teh...nanti Ratna pasti jelaskan, ada alasan yang membuat Ratna melakukan hal ini.”
”Rasanya tak perlu kamu jelaskan. Teteh bisa membaca pikiranmu. Selama
ini teteh dan teh Santi sudah mengerti kalau kamu memang trauma sama
perkawinan, tapi juga butuh pelampiasan...Cuma kenapa sama si Deni..?”
”Awalnya tak pernah terencanakan, terjadi begitu saja dan tak bisa dihindarkan....”
Lasmi diam saja, saat itu deni baru sadar masih posisi menancap, ia
mencabut kont01nya, bergulir ke samping bi Ratna. Mata Lasmi sempat
memandang kont01 Deni, dan sama seperti Ratna dulu kala pertma kali
melihat kont01 Deni, Lasmi juga terkesiap. Sebenarnya Lasmi juga
belakangan ini selalu uring – uringan, iyalah...suaminya yang pelaut,
kalau melaut waktunya selalu lama,kalau berlabuh cuma sebentar, tentu
saja ia kurang terpuaskan. Mana terakhir ia ngewek hampir setengah tahun
yang lalu, suaminya juga masih lama pulangnya. Matanya memandang kont01
Deni dengan raut kepingin. Tak heran kalau ratna sampai mau
melakukannya sama keponakannya ini pikir Lasmi. Dia mulai bergairah dan
merasakan denyutan pada m3meknya. Kalau tadinya hal ini hanya menjadi
rahasia Ratna dan Deni berdua...kini sudah saatnya menjadi rahasia
mereka bertiga. Tapi keduanya harus dihukum dulu. Ratna dan Deni masih
tegang menunggu reaksi Lasmi selanjutnya, makin tegang melihat Lasmi
yang sedang serius berpikir. Untunglah Lasmi kembali berbicara...
”Kalian...selesaikan apa yang sedang kalian perbuat...”
”HAH...?” Ratna dan Deni mengucapkan keheranan mereka berbarengan, melongo bingung menatap Lasmi minta penjelasan lebih lanjut.
”Kenapa ? kalian dengarkan. Lanjutkan saja apa yang sedang kalian perbuat.”
”Ta..tapi teh...nggak mungkinlah...di di depan teteh.”
”Mungkin saja, kenapa malu ? Untuk apa ? Melakukannya sama keponakanmu kamu bisa nggak malu, apa bedanya sekarang ?”
”Ti...tidak...Ratna nggak mau. Ini lain soal.”
Deni hanya diam saja, bingung dan nggak tahu harus ngomong apa. Akhirnya Lasmi menggetokkan palu terakhir, final....
”Baik...kalau begitu bersiaplah...teteh akan membicarakan hal ini ke
Santi...ya tetehmu Ratna, dan juga ibumu,Deni. Dan teteh yakin kalau
Santi tak akan senang dan bisa menerima hal ini. Bagaimana...?”
Deni sangat terkejut. Gila...mampus deh.....wah nggak bisa begini, ia akhirnya membuka suara.
”Sudah bi Ratna, kita teruskan saja. Daripada berabe.”
”Ta..tapi Den...i...itu...”
”Sudah...tenang saja, ayo, santai saja.”
”Kamu dengarkan Rat, Deni benar, daripada berabe. Lagipula teteh sudah
berbaik hati mau membiarkan kalian menuntaskan ngewek kalian yang
terputus menddak tadi.”
Akhirnya Ratna siap melanjutkan, canggung rasanya. Deni walau tadi
terkejut, tapi kont01nya masih ngaceng, maklum tadi dalam posisi tempur
dan terangsang berat. Ratna kembali berbaring, melebarkan kakinya dengan
agak ragu. Deni sudah di atasnya, beda dengan ratna, Deni tak ada
keraguan, kalau bi Lasmi bilang teruskan dan ia tak akan mengadukan hal
ini ke ibunya, ya sudah, teruskan saja. Blesss....kont01nya dengan cepat
sudah menerobos, mulai memompa. Deni sih tetap semangat, cuma Ratna
sudah kehilangan selera. Jadilah ini pergumulan satu arah. Kont01 Deni
menyodok dengan mantap. Mulutnya juga mulai menciumi dan menghisapi
pentil bi Ratna. Nafsunya sudah kembali normal, seakan jeda yang
menegangkan barusan tak pernah terjadi.
Lasmi duduk menyaksikan, duduk manis di pinggir ranjang, dekat kaki
pasangan yang sedang bergelut itu, sedikit demi sedikit gairahnya naik,
menyaksikan kont01 keponakannya yang gede itu menerobos m3mek Ratna,
memompanya keluar masuk membuat m3mek Lasmi mulai basah, tangannya
perlahan menyingkap kainnya, kini asik mengelus CD-nya yang tebal,
perlahan lalu makin cepat, akhirnya tangannya enyusup ke balik Cd-nya,
mulai asik mengelus belahan m3meknya. Merasa kurang nyaman, ia lepskan
CD-nya. Melepas kainnya. Lasmi di usianya yang ke 40 juga masih
menggairahkan. Bodynya memang sedikit lebih montok dan berisi, tapi
tetap tperutnya juga rata, nyaris tanpa timbunan lemak yang berarti.
Kakinya mulai ia kangkangkan, m3meknya juga sama seperti saudaranya,
ditumbuhi jembut yang lebat samapi ke belahan pantatnya, tangannya mulai
mengelus belahan m3meknya yang sudah basah, segera saja belahan itu
mekar, menampakkan lobang m3meknya yang merah. Jarinya masih asik hanya
mengelus. Ratna dan Deni masih belum sadar dengan yang sedang dilakukan
Lasmi.
Lama – lama karena sodokan kont01 Deni, Ratna mulai On lagi, desahannya
mulai terdengar kembali. Deni menjilati lehernya, memompa kont01nya kuat
– kuat, terasa sangat mentok di m3meknya, jilatan Deni juga sangat
merangsangnya. Bi Ratna menggelinjang kegelian, rasa nikmat makin
menjalar ke seluruh tubuhnya. Geli dijilati, enak disodok di bagian
m3mek. Tanganya memeluk pundak Deni kuat...
”Awww....Den....geliiiiii”
”Oooohhhh....Owwwww.....Sshhh...”
”Dikiiiitttt.......laaaggiiiii....Aaaaahhhh....”
Tanpa ampun bi Ratna kembali jebol, Deni jadi makin bergairah, senang
karena bi Ratna kembali menikmati pergumulan mereka. Deni sebenarnya mau
ganti posisi, tapi malas, ada bi Lasmi...mendingan cepat tuntaskan saja
yang sekarang.
Lasmi mulai menyodokkan jarinya ke lobang m3meknya, dikocoknya dengan
cepat, tangan yang lain mulai memainkan dan mengelus it1lnya yang besar
dan menonjol, memainkannya dengan ujung jari jempol dan telunjuk, cepat
dan konstant, menahan desahannya agar tak terdengar. Makin naik
gairahnya...Aaahh...Ssshhh....enak...rasa nikmat yang sangat, ditambah
melihat adegan yang terjadi di depan matanya. Saat ia melihat dan
mendengar Ratna mendesah kuat terakhir tadi, nafsunya jadi naik. Makin
cepat jemarinya beraksi....Ooooohhhhhhh....ia menekan bibirnya kuat,
menahan agar suara desahannya saat orgasme tak terdengar.
Ratna mengangkangkan kakinya selebar mungkin, sudah kepalang enak,
sebodoh amatlah sama teh Lasmi,eh di mana dia....ia agak mengangkat
bahunya...lho....lho....ngapain teh Lasmi, ke mana kain dan
Cd-nya...lagian dia kok lagi mainin m3meknya pakai jarinya sendiri.
Seketika otak Ratna seperti diterangi cahaya
terang...sialan...pikirnya..teh Lasmi ngerjain aku sama Deni. Saat itu
teh Lasmi sedang asik bermasturbasi, matanya terpejam. Ratna menarik
kepala Deni, mendekatkan kuping Deni ke mulutnya, ia segera membisikkan
sesuatu, Deni masih tetap memompakan kont01nya. Deni mengangguk.
Lasmi sudah lupa dengan Ratna dan Deni, ia asik bermasturbasi sambil
terpejam, hal yang biasa ia lakukan di rumahnya sendiri, kalau sudah
bergairah dan orgasme,ia makin asik menikmati pemainan jarinya. Tiba –
tiba ia merasakan tubuhnya seperti ditarik merebahkannya. Siapa....Deni
yang menariknya...walau kuat tapi tetap lembut. Ratna nampak sedang
mengaso berbaring memulihkan tenaga. Dengan cepat Deni segera beraksi,
mulutnya langsung menyasar daerah selangkangan bi Lasmi, tanpa sungkan
lagi mulutnya dengan ganas menciumi m3mek bi Lasmi, aromanya enak. Bi
Lasmi yang sadar kalau sekarang gilirannya telah tiba, mengangkangkan
kakinya. Lobang m3meknya menganga jelas. Deni segera menjilatnya dengan
rakus, Lasmi mendesah Lidah Deni segera menjilati it1lnya yang besar,
menggoyangkannya dengan cepat membuat bi lasminya kelojotan. Melihat
lobang m3mek bi Lasmi yang sangat merangsang, Deni segera mempersiapkan
jari telunjuk dan jari tengahnya, menyodok lobang m3mek itu dengan
cepat, Lasmi kelabakan. Sementara Deni menggarap m3meknya, Lasmi dengan
cepat melepas kaos dan BHnya, keteknya juga rimbun, dan teteknya jauh
lebih besar dari tetek Ratna. Tentu Deni belum sadar, masih sibuk
bergerilya di bawah sana. Bi Lasmi meremas teteknya dengan tangannya
sendiri
Ratna melihat Deni sedang gantian mengerjai bi Lasmi...dasar
teteh...padahal kepengen, pakai acara nakutin segala. Gairah Ratna mulai
naik lagi. Ia mendekat ke arah tetehnya. Memang kalau gelombang seks
sudah memancar, kadang pengertian yang paling mustahilpun akan timbul,
tanpa perlu diucapkan lagi, pelakunya bisa memahami niat dan kemauan
yang lain. Ratna mulai meremas tetek Lasmi. Lasmi diam saja tak protest,
tangan Ratna mulai memilin pentilnya yang sudah mengacung, dia sudah
sering melihat tetehnya ganti baju, tapi tetap saat ini ia megagumi
betapa besar dan kenyalnya tetek tetehnya. Mulutnya mulai menghisap
pentil teh Lasmi.menjilati dan menggoyangnya dengan lidahnya. Lasmi
makin kelojotan, tangannya menarik lembut pantat Ratna, mengarahkannya
m3mek ratna ke mulutnya, dia belum pernah menjilat m3mek perempuan, tapi
tak sulit, tinggal melakukan seperti yang dilakukan suaminya dan kini
Deni pada m3meknya sendiri. Lidah Lasmi mulai menyapu m3mek Ratna, m3mek
Ratna kemerahan karena baru disodok Deni, juga belahannya dalam posisi
mekar. Lidahnya mulai menjilati it1l Ratna. Awalnya canggung, tapi makin
lama makin terbiasa, buktinya Ratna di tengah kesibukannya menghisap
pentil Lasm mulai mendesah.
Deni terlalu konsent bermain dengan m3mek bi Lasmi, tak menyadari bi
Ratna telah bergabung, saat ia mendongakkan kepalanya
sedikit...ya...ampuun....ini...ini....terlalu hot buat dirinya.
Gilaaaa...tetek bi Lasmi....kont01nya berdenyut, ngaceng dengan keras
sekali. Makin ganas menyerang m3mek bi Lasmi. Lidahnya makin cepat
menggoyang it1lnya demikian sodokan jarinya. Lasmi menggoyang pantatnya,
desahannya tertahan keasikannya menjilati m3mek Ratna.
Akhirnya bi Lasmi tak tahan, pantatnya terangkat, badannya mengejang....awww...orgasme yang dashyat baru saja menghantamnya.
Deni segera berhenti memainkan mulut dan lidahnya. Karena posisi bi
Lasmi agak di pinggir ranjang, Deni menarik pelan kaki bi Lasmi,
menjuntaikannya menggantung di pinggir tempat tidur. Deni turun berdiri
di pinggir tempat tidur....blesss kont01nya menerobos m3mek bi Lasmi. Bi
Lasmi bergetar, tubuhnya serasa luluh lantak saat kont01 keponakannya
menghujam tadi...gilaaaa....penuh dan terasa sesak di m3meknya. Deni
segera memulai pompaannya, ia condongkan badannya, mulai meremas tetek
bi Lasmi, mainan baru bagi Deni. Buseeet....kalah deh bi Ratna, Deni
membatin. Ia meremasnya kuat – kuat, pentilnya gede sekali. Gemas Deni
memilinnya. Karena Deni mulai sibuk memainkan tetek bi Lasmi, Bi Ratna
mengalah, berhenti menghisap tetek teh Lasmi. Kini bibirnya berganti
haluan mencium bibir Deni. Deni makin cepat saja menyodok m3mek bi
Lasmi, membuat bi Lasmi mengimbangi dengan ikut menggoyangkan pantatnya.
Lasmi makin asik saja menjilati it1l adiknya, Ratna, bahkan jari
tengahnya sudah sedari tadi menyodok lobang m3mek Ratna. Lidahnya
menggoyangkan dan menghisap pelan it1l adiknya itu. Ratna yang posisinya
agak nungging karena mecondongakan tubuhnya untuk kemudian asik
berciuman dengan Deni mulai kewalahan. Pinggulnya bergoyang liar,
mengejang...lalu orgasme. Setelah Ratna orgasme, Lasmi menghentikan
kegiatannya, konsentrasi pada sodokan Deni yang makin lama makin enak.
Ratna berhenti mencium Deni, terkapar berbaring, kecapekan. Kini Deni
melawan Lasmi. Deni langsung menghisap pentil bi Lasmi, mantap banget,
sangat kuat ia menghisapnya, bi Lasmi sampai mendesah kuat, belum lagi
sodokan keponakannya itu makin bertenaga, ia mendesah, mengangkat
lengannya ke atas, menikmati serbuan nikmat. Deni terpesona memandang
rimbunan ketek bi lasmi, mulai menciumnya dengan ganas sambil
menjilatinya bergantian, pompaan kont01nya sudah sangat cepat.Bi lasmi
makin kewalahan...
”Aaahh.....Pelaaaaannn....dikiiitttt...”
”Ooooh....janggaaaannnn dipelaniiiinnnn.....”
”Ughhhh....ampuuunnnn.....Awww......”
Bi Lasmi pun menggelepar penuh kenikmatan...ternyata keponakannya
sungguh hebat. Deni mulai menciumnya dengan ganas dan panas, bi Lasmi
tanpa sungkan meladeni, lidah mereka saling beradu, tapi tekhnik Deni
belum maksimal, ciuman bi Lasmi jelas lebih tinggi tekhniknya, ia
menyedot lidah deni membuat Deni serasa melayang, nyaris lepas kendali,
untung tak lama kemudian bibinya melepas ciumannya, Deni samapai megap –
megap....Awas ya...pikir Deni, ia bertekad membalas, sodokannya kini
sudah amat sangat cepat,membuat bi Lasmi merasakan sensasi yang
tertinggi, belum pernah m3meknya disodok dengan secepat dan seganas ini,
apalagi kont01 Deni sangat memenuhi m3meknya.
Ada yang merenggangkan kaki Deni, deni melirik, ternyata bi Ratna yang
sudah merasa segra kembali berjongkok di bawah selangkangan Deni yang
sedang berdiri sambil menyodok bi Lasmi. Bi ratna mulai menghisap dan
menyedot biji pelernya, tentu saja menyesuaikan dengan ritme gerakan
pompaan dan sodokan kont01 Deni. Sintiiiingg.....enaknya tak terkira,
sambil tetap asik menyodok bi Lasmi, bijinya diemut sama bi Ratna, Deni
merasa dirinya menjadi manusia paling berbahagia di bumi saat ini. Tapi
ketahanan Deni juga ada batasnya, seiring sodokannya yang makin kuat, ia
merasakan denyut nikmat pada kont01nya, ia hujamkan sedalam mungkin
kont01nya. Bi Lasmi nampaknya sadar Deni ma ngecret segera berucap...di
dalam saja...di dalam saja. Bi lasmi bergetar saat pejunya menyemprot
kuat.....selesai...dan melelahkan. Bi ratna masih asik menghisap biji
pelernya, membuat dengkul deni makin lemas. Deni segera mencabut
kont01nya. Bi ratna dengan rakus segera memburu kont01 Deni, menjilati
sisa peju yang menempel. Setelah Bi Ratna menuntaskan jilatannya yang
terakhir Deni segera menghempaskan diri ke atas kasur. Sangat lelah saat
ini. Hanya bisa berdiam diri. Bi ratna juga bergabung tiduran di atas
ranjang. 3 orang tanpa busana tergeletak lemas penuh kepuasan. Deni
masih diam saja, menengarkan bi ratna dan bi Lasmi yang mulai
bercakap...
”Ih teh Lasmi jahat, nakut – nakuti saja, padahal juga mau...dasar.”
”Awalnya sih nggak begitu. Tapi kont01 Deni sangat menggoda, akhirnya aku terangsang.”
”Terus bagaimana komenter teh Lasmi.”
”Ya puaslah, tapi....”
”Tapi apa teh...?”
”Belum puas banget...Rat, malam ini Deni menginap di rumah teteh saja ya.”
”Huh maunya...nggak, teh Santi kan menitipkan Deni menginap di sini.”
”Ya...jangan begitu dong...suami teteh masih lama berlayarnya..”
Mana rela Ratna membiarkan jagoannya dibajak sama tetehnya. Lagian tadi
teh Lasmi sudh tega menakuti mereka. Akhirnya Ratna berkompromi.
”Teteh saja yang nginap, Ucil kan lagi pergi sama abah.”
”Ya sudah, tapi nanti banyakkan teteh ya, kan kamu sudah puas, sedang teteh baru hari ini.”
”Terserah teteh saja.”
”Iya...teteh mau ngerasain keponakan teteh sendirian, mungkin masih bisa maksimal lagi kemampuannya.”
Deni yang menjadi object hanya diam, selain masih lelah, juga ia sedang
berpikir...gilaaaa....beruntung banget dirinya hari ini. Bi Lasmi jelas –
jelas masih cantik dan juga nafsuin, ia bisa ngewek bi Lami tanpa
terduga....sangat beruntung. Akhirnya semua membersihkan diri, nggak
melanjutkan lagi, walau jarak rumah di sini renggang – renggang, teta
nggak enak sama tetangga, siang – siang rumah terkunci rapat. Akhirnya
bi Lasmi pulang, mau pinjam kecap...malah dapat saos putih
kental........
Malamnya bi Lasmi menginap, sore – sore sudah datang. Rumahnya paling
dititipin sama tetangga yang juga ikut bekerja d kebun. Bi Lasmi ikut
makan di sini, setealah makan, mereka bersantai. Deni asik menghisap
rokok di dekat pintu sambil ngopi, baru SMS mamanya, sekedar say hello
dan mengabarkan kalau ia betah di kampung. Kalau mamanya masih kurang
suka ia merokok, beda sama bibi – bibinya, di kampung sini mah sudah
wajar saja. Bahkan bi Lasmi sesekali merokok, seperti sekarang. Bi Lasmi
asik ngobrol sama bi Ratna sambil menonton TV. Keduanya memakai busana
kesukaan Deni, kain dan kutang model kampung. Lumayan seru obrolan
mereka. Tak lama bi Ratna ke kamar mandi, keluar lagi, masuk kamar
seprti mengambil sesuatu di lemari, lalu kembali ke kamar mandi. Agak
berapa lama ia keluar, menghampiri tetehnya, sambil nyengir campur
sedikit BeTe bi Ratna berbicara...
”Wah..sepertinya teh Lasmi memang beruntung, aku baru dapat tamu bulanan. Nasib...”
”Ya..mau gimana lagi Rat.”
”Tapi sudahlah...teteh nggak usah pulang sudah terlanjur, nginap saja.”
”Iya...takut amat si Deni dibawa kabur sama teteh hehehe.”
”Nggak kok teh. Ya sudah, hitung – hitung teteh mengejar ketinggalan teteh.”
Bibi lasmi terkekeh geli, setelah puas tertawa, ia berbicara kepada Deni
yang masih asik bertengger di pintu, kayak burung saja bertengger
hehehe.
”Den sudah dengar kan, nanti malam tidur sama bi Lasmi ya.”
Deni hanya mengangguk saja, baginya tak masalah, baik bi Ratna maupun bi
Lasmi sama – sama yahud kok, ada kelebihan tersendiri. Bahkan kini ia
bisa memuaskan diri bermain berdua sama bi Lasmi, kalau tadi siang kan
keroyokan, nanti malam bisa puas ngewek berduaan. Keduanya masih asik
menonton TV, sambil ngobrol, Deni tak mendengar apa obrolan mereka, tapi
yang pasti mereka nampak gembira, cekikikan terus. Deni menyalakan
sebatang rokok lagi. Sambil menghirup kopi, santai, mengumpulkan energi.
Akhirnya jam 7 Deni menaruh gelas kopinya yang sudah habis, menutup dan
mengunci pintu, sambil memeriksa jendela. Seelah semua diperiksa dia
duduk bergabung menonton TV, bi Lasmi lagi ke WC, jadi Deni mengambil
tempatnya di sofa panjang, kini Deni duduk berdampingan sama bi Ratna.
Ketika bi Lasmi kembali, ia duduk di sofa kecil. Mereka menonton TV,
sesekali mengobrol ringan. Jam 8-an Deni mulai merasakan bergairah
kembali, acara TV juga tak menarik. Ia berucap...
”Bi Lasmi..eh anu...Deni mau netek dulu ya sama bi Ratna, habis sudah kebiasaan, nggak enapa kan ?”
”Sama bi lasmi juga bisa kan, tapi sudahlah, sesukamu.”
”Ya..bi Ratna...eng..boleh kan.”
” Dasar deh si Deni, tadi nanya dulu ke bi Ratna, baru ngomong ke bi Lasmi, tapi kamu cuma bisa netek saja ya...ayo sini.”
Deni mendekat, memojokkan bi Ratna, kini bi Ratna posisi kepala bi Ratna
bersandar di atas pinggiran sofa. Deni menurunkan kutangnya, segera
asik menetek dan menghisapi pentil bi Ratna. Deni membandingkan, saat
sedang datang bulan pentil bibinya kelihatannya lebih membesar. Juga
nantinya Deni baru tahu waktu bibinya memberitahu, kalau wanita lagi
datang bulan sebenarnya nafsunya justru meningkat. Tapi ya itu, tetap
nggak bisa disodok, hanya orang yang tak sabaran saja yang nekad
menyodok orang lagi palang hehehe. Deni sangat menikmati menetek di
teteknya bi Ratna, ia menghisapnya kuat, sambil sesekali menggoyangkan
pentil itu dengan lidahnya. Bi ratna mendesah. Jadi tambah ngaceng
kont01 Deni, Deni menurunkan tangannya segera mengelus tonjolan di balik
celananya itu.
Lagi enak – enaknya mengelus kont01nya sendiri, ada tangan halus
menepikan tangannya, lalu menurunkan celananya...oh Bi Lasmi rupanya tak
sabar ingin berpartisipasi. Celananya sudah lepas, kini kont01nya
mengacung bebas. Deni membiarkan bi Lasmi erbuat semaunya pada kontonya,
masih asik menetek. Tangan deni mengangkat lengan bi Ratna, mulai
menciumi dan menjilati keteknya, nyaman sekali rasanya.
Kont01nya terasa dibelai, biji pelernya dipijat – pijat cukup lama,
enak...membuat Deni merasa rileks dan nyaman, sementara tangan satunya
bertugas juga, batang kont01nya dikocok perlahan oleh bi Lasmi.
Jempolnya mengelus lembut kepala kont01 Deni mengusapnya dengan penuh
perasaan. Sesekali jempol bi Lasmi memainkan lobang pipisnya. Setelah
agak lama menggenggam, mengelus dan mengocok dengan tangannya, bi Lasmi
mulai memakai jurus lidahnya. Satu tangannya masih tetap memijat – mijit
biji peler Deni. Lidah bi Lasmi mulai menjilati kepala kont01nya,
ringan saja, bahkan hanya ujung lidahnya yang beraksi, tapi rasanya
sangat nikmat menjalar ke seluruh tubuh Deni. Amboiii....kayaknya bi
Lasmi lebih piawai buat urusan Oral pikir Deni. Lidah bi Lasmi mulai
bergerak lagi, menjilati batang kont01 dan juga biji pelernya,
menggelitik urat – urat pada batang kont01nya, Deni samapai merem melek
dibuatnya, entahlah, gerakannya santai namun sensasi yang diberikan
sangat besar. Akhirnya mulut bi Lasmi mulai menelan kont01nya, perlahan
dari kepala kont01, sampai batangnya, akhirnya amblas
seluruhnya...ampuuun.....mulut Bi Lasmi terlihat sesak disumpal
kont01nya batin Deni dalam hati. Deni jadi nggak konsen neteknya,
sesekali melirik. Mulutnya mulai mengulum, meghisap dan mengemuti
kont01nya, mulai mengocoknya, lagi – lagi dengan santai, nyaris tanpa
semangat, tapi anehnya kok enak ya terasa bagi Deni. Oh rupanya walau
sambil mengulum ujung lidahnya tetap aktif bergerak menjilati. Deni
menggoyangkan pantatnya keenakan. Lalu kembali bi Lasmi menelan
kont01nya samapi pangkalnya, mendiamkan sebentar, dan kemudian mengemut
dan menghisapnya kuat, Deni merasakan lemas sekli, saking nikmatnya.
Hisapan Deni pada pentil bi Ratna makin kuat saja seiring rasa
kenikmatan yang ia rasakan pada kont01nya. Akhirnya bi Lasmi mulai
mengulum dengan cepat, tanpa jeda...entah berapa lama, akhirnya Deni
merasakan klimaks, tanpa permisi pejunya muncrat membasahi mulut bi
Lasmi. Deni melepas hisapannya pada pentil bi Ratna, mendesah
puaaassss.... Bi Lasmi memainkan pejunya sebentar lalu menelannya samapi
habis, belum cukup, dijilatinya sisa peju di ujung kont01 Deni.
Gila...dihisap sampai ngecret pikir Deni...mantap juga bi Lasmi.
Bi Lasmi beristirahat sebentar, meminum air di gelas yang ada di meja.
Bi Ratna yang sadar kali ini bukan dia pemeran utama wanitanya,
merapikan kutangnya, permisi masuk kamar, capek mau tidur. Deni
mengambil remote, mematikan TV, masih duduk di sofa, ia segera membuka
kaosnya. Bi Lasmi juga mulai melucuti busananya, kini juga
bugi...gil...gil....kont01 Deni segera saja mengeras, Bi Lasmi
menatapnya dngan antusias. Bi Lasmi duduk di samping Deni. Dasr nggak
sabarn Deni langsung saja tancap gas, mulai meremas – remas teteknya Bi
Lasmi tertawa melihat ketidaksabaran keponakannya ini.
”Den sabar dulu, ke kamar saja ya, lebih enak.”
”Ayo..ayo bi.”
Bibinya bangun, Deni mengikuti dari belakan masih saja meremas tetek bi Lasmi yang memang sangat besar, kencang dan menantang.
Sesampainya di kamar bi Lasmi malah ngobrol dulu.
”Den, tadi bi Ratna cerita ke bi Lasmi, katanya kamu belum lama ya
diajarin sama dia...hebat juga kamu, cepat pandai ya, si Ratna juga
pintar ngajarnya....”
”Iya...iya..ih bi Lasmi ngobrol melulu...”
”Hehehe...sabar dong, nah kalau bi Ratna bisa ngajarin kamu, nanti bi
Lasmi juga berharap bisa menambahkan pelajaran lagi deh, biar kamu makin
pintar.”
”Iya...iya...ayo deh dimulai pelajarannya.”
”Ih kamu ini, pemanasan dulu kek, maunya langsung nyodok saja...”
Mana mikirin pemanasan sih, dari tadi sudah panas bi, batin Deni.Deni
segera menidurkan bibinya, bersiap menindihnya, bi Lasmi malah
mendorongnya, membuat Deni berbaring sejajar dengannya, posisi bi Lasmi
di depannya. Bi Lasmi memiringkan tubuhnya, mengangkat satu kakinya ke
atas, tangannya meraih kont01 Deni, diarahkan ke lobang
m3meknya...blesss. Deni segera memompakan kont01nya, sodokannya masih
agak santai. M3mek bi Lasmi terasa nyaman, sama nyamannya dengan m3mek
bi Ratna. Bi Lasmi menaikkan satu tangannya ke atas, meraih bagian
belakang kepala keponakannya itu, didorongnya kepala Deni, bi Lasmi agak
memiringkan kepalanya, mulutnya mulai mencium bibir Deni, mulanya
santai, lalu makin panas, dan seperti tadi siang, kembali menyedot lidah
Deni, kembali membuat Deni kehilanga kendali, sodokannya makin cepat.
Bibinya melepaskan ciumannya...ayo Den coba kamu sedot lidah bibi saat
berciuman. Bibinya kembali menciumnya, menautkan dan beradu lidah dengan
Deni, Deni berusaha menyedot – nyedot lidahnya, sulit
juga...lagi...lagi, akhirnya berhasil, dan ketika Deni menyedot, bibinya
balas menyedot...mantaaappp, enak banget rasanya berciuman dengan gaya
ini, lidah serasa saling membetot.
Deni melepaskan ciumannya, pandangannya segera menuju ketek bi Lasmi,
jarinya segera saja asik mengelus dan memainkan bulu ketek bi Lasmi,
pompaan kont01nya sudah stabil. Tapi bi Lasmi segera membimbing tangan
Deni ke selangkangannya, menaruhnya di atas tilnya, kalau ini Deni
paham, segera saja ia memainkan it1l bi Lasmi yang menonjol, sodokan
kontonya juga mulai ia percepat, gemas, mulutnya menciumi ketek lebat
bibinya. Jemarinya mengurut – ngurut it1l bibinya dengan cepat,
sodokannya makin kuat dan dalam...tetek bibinya bergoyang – goyang.
”Terussss...Den...Pintar....”
”Arghhhh.....Uhhhhh....Awww...”
”Yesss...Yesss....Ssshhhh...”
Bibinya mengejang, orgasme. Deni makin beringas, bi Lasmi yang baru
keluar jelas kelojotan digenjot Deni habis – habisan, matanya kini merem
melek.Sodokan kont01 Deni yang gede, it1lnya yang dimainin, belum lagi
kini deni menambahnya dengan menghisap pentilnya, kuat sekali.
Aaahhh.....suaminya kalah jauh sama keponakannya yang pemula ini. Mulut
bi Lasmi mendesah terus. Saat melihat pantat bi Lasmi yang montok, Deni
jadi mau nyodok m3mek bi Lasmi dari belakang, seperti di film bokep yang
sering ia tonton. Deni berhenti menyodok, bi Lasmi mengambil nafas
sejenak, Deni mencabut kont01nya..
”Nungging dong bi...”
”Siapa takut...ayo...”
Bibinya segera nungging, tangannya bertumpu pada kepala tempat tidur.
Montok benar pantatnya pikir Deni. Ia segera meyodokkan kont01nya ke
lobang m3mek bibinya, gila pakai posisi begini, lobang m3mek bibinya
terasa lebih nikmat, terasa lebih sempit dan mencengkram. Deni
memompakan kont01nya, matanya asik melihat saat kont01nya menerobos
keluar masuk, gemas ia tepok pantat bi Lasmi perlahan, bi Lasmi tertawa
kecil. Deni mulai mempercepat pompaannya, plok...plok...plok....bunyi
kont01nya saat keluar masuk m3mek bibinya yang sudah basah menambah
kenikmatan tersendiri. Belum lagi desahan bi Lasmi. Deni pasang gigi
paling tinggi, tanpa pengumuman, ia menyodok dengan cepat sekali dan
bertenaga, kedua tangannya memegang pinggiran pantat bi Lasmi, bi Lasmi
kelojotan dan mendesah sejadi- jadinya...gimana nggak keenakan, kalau
m3meknya disodok dengan penuh semangat begini. Pantatnya juga bergoyang
mengimbangi rasa nikmat. Deni terus memperthankan kecepatan pompaan
kont01nya, hampir 4 menitan sejak ia mulai mempercepat
sodokannya...makin terasa denyutan pada kont01nya, bibinya orgasme
kembali, dan sedetik kemudian kont01 Deni memuncratkan pejunya. Keduanya
terdiam lemas, akhirnya Deni mencabut kont01nya, berbaring dulu
memulihkan tenaga, demikian pula bi Lasmi.
”Walah...untung banget bii tadi siang mergoki kamu sama bi Ratna, akhirnya bibi bisa ikutan ngerasain enaknya kont01 kamu.”
”Samalah Bi. Deni juga senang bisa nyodok m3mek bibi.”
”Ya sudah istirahat dulu, sebentar lagi kita sambung.”
Dan akhirnya karena bi Ratna sedang halangan, selama 4 hari ke depan
Deni diboyong bi Lasmi untuk menginap di rumahnya, bahkan nambah satu
hari. Bi Ratna yang sebal karena bi Lasmi curang nambah jatah Deni
nginap sehari lagi itu, segera memboyong Den kembali ke
rumahnya.Pendeknya sisa liburan ini benar – benar menyenangkan dan
membahagiakan mereka bertiga.
Deni nampak termenung, ia bukannya tak sadar liburannya akan berakhir.
Senin besok ia harus kembali sekolah. Dan sekarang hari Sabtu. Sengaja
ia tak menjawab telepon ibunya atau membalas SMS ibunya. Ia tak mau
pulang. Tapi pagi ini ia mau tak mau harus menjawab telepon mamanya..
”Aduh anak ibu tak ingat pulang ya..? Ditelepon tak menjawab, SMS tak dibalas.”
”Ingat bu...besok Minggu pagi Deni pulang.”
”Sayang ayahmu sibuk tak bisa jemput. Ibu juga repot. Oh ya, ibu sudah urus daftar ulang sekolahmu.”
”Iya..bu. Sudah dulu ya bu. Besok pagi Deni pulang.”
”Den...Den...nanti dulu dong, ibu kan masih kangen lama tak ketemu kamu. Kamu sakit ya, kok lemas banget.”
”Nggak bu..sudah ya...bye.”
Deni mematikan HP-nya mencari bibinya. Mengabarkan ia akan pulang.
Malamnya Bi Lasmi sengaja dan niat banget buat nginap. Sore – sore si
Ucil sudah tidur, jadilah sepanjang sore sampai tengah malam, Deni, bi
Ratna dan bi Lasmi mengadakan acara pesta perpisahan yang panas.
Paginya Deni pamit pulang, sedih hatinya. Ia mencium pipi kedua bibinya,
nggak enak cium bibir ada Ucil. Si Ucil juga nampak sedih. Mereka
mengantar kepulangan Deni. Menunggu angkot yang ke terminal. Deni
berharap angkotnya tak akan pernah lewat, tapi tak lama angkot lewat,
Deni naik melambaikan tangan....sedih sekali hatinya.
Ratna duduk termenung, agak anaeh rasanya setelah sebulan lebih terakhir
ini ia menghabiskan waktu bersama keponakanya tersayang, Deni, kini
rumahnya sepi kembali. Hanya ia dan anaknya Ucil. Ratna diam saja
melamun memikirkan Deni. Hatinya terasa kosong, matanya sedikit berkaca,
apakah ia sedang kasmaran....?
Agak siangan Deni sampai. Ibunya senang sekali bertemu anak semata
wayang kesayangannya ini. Tapi Deni nampak lesu. Menjawab seadanya.
Bahkan saat ibunya menjelaskan kalau project kantor ayahnya sukses dan
klientnya sangat puas sehingga menginginkan perusahaan ayahnya mengurus
project baru di daerah secepatnya. Ayahnya terpaksa harus menetap
sementara di daerah itu selama sebulan ke depan. Baru tadi pagi ayahnya
berangkat, menyesal tak bisa bertemu Deni. Namun Deni tak terlalu
antusias. Deni cuma bilang ia capek habis menempuh perjalanan, mau tidur
dulu, meninggalkan ibunya yang rada bingung. Deni masuk ke dalam
kamarnya. Ia berbaring sambil berpikir, sebulan lebih yang menakjubkan
sudah usai. Deni terus berpikir...lama, menjelang sore ia mantap, keluar
kama mencari ibunya...nah itu dia
”Bu...Deni, mau ngomong sebentar..penting.”
“Iya..ngomong saja, kamu kayak pejabat saja gayanya. Ayo bicaralah, ibu dengarkan.”
”Eh..be...besok Deni tak mau masuk sekolah lagi.”
”HAH...? Kenapa, kamu ada masalah di sekolah sebelum kenaikan dulu yangibu tak tahu...?”
”Ti...tidak, bukan itu bu. Maksud Deni, Deni tak mau masuk sekolah lagi. Deni mau sekolah di kampung.”
”Lho...lho ada apa ini, bukannya biasanya kamu tak terlalu suka kehidupan di kampung ibu. Ada apa sih, ibu tak paham.”
Dan memang Santi bingung sama perubahan sikap anaknya yang mendadak ini. Ia menunggu jawaban Deni.
”Begini bu...Deni jenuh di Jakarta. Liburan yang lama di kampung kemarin
telah membuka mata Deni. Di sana ternyata menyenangkan. Lingkungannya
asik, orangnya ramah dan bersahabat. Juga Deni sempat melihat sekolah di
sana, sepertinya bagus. Lagian memang Deni sangat kerasan dan menyukai
kehidupan di sana. Pindhin sekolah Deni ya bu.”
”Wah..wah...nggak bisa semudah itu nak. Ibu harus berdiskusi sama
ayahmu. Tak bisa mendadak. Lagipula ibu sendiri keberatan. Sudh kamu
pikirkan dulu, mungkin in hanya perasaan sesat karena kamu baru saja
menghabiskan waktu di sana.”
”Nggak. Pokoknya harus. Kalau tak mau...Deni tak mau sekolah lagi.”
Deni nyelonong pergi, memanting pintu kamarnya. Santi membiarkan sudah
hafal tabiat anak semata wayangnya ini kalau lagi ngambek. Bingung dia
memikirkan hal ini, mana suaminya lagi dinas keluar. Santi paham adat
Deni, kalau dia sudah bilang tak akan sekolah, maka itu betul – betul
akan dilaksanakannya. Santi bingung, kenapa anaknya mendadak kepingin
sekali sekolah di kampung. Santi lalu mengambil HP-nya menelepon
suaminya, menceritakan permasalahan, setelah berunding, mereka sepakat
untuk membujuk Dni mengatakan alasan yang sebenarnya, pemikirn mereka,
pasti deni ada masalah di sekolahnya yang tak mereka ketahui. Suaminya
menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada Santi.
Senin ini Santi menelepon kantornya, alasan sakit. Ia sengaja tak masuk
kerja, bertekad membujuk Deni. Dan memang Deni keras dengan niatnya, ia
benar – benar tak masuk sekolah. Deni tak mengurung diri dalam kamar,
tapi dibujuk dan dirayu bagaimanapun jawaban anak itu sama, nggak mau
sekolah di Jakarta, pindah sekolah titik. Sampai lelah ibunya membujuk.
Sepanjang hari. Jawaban Deni tak berubah. Malamnya Santi menyerah.
Sulit, adat anaknya keras. Deni sudah tidur, Santi duduk melamun.
Santi bukannya tak mau anaknya sekolah di kampung, tapi jujur saja, Deni
anak satu – satunya. Kalaupun memang dalam menempuh pendidikannya Deni
harus pisah darinya, boleh, tapi nanti semasa Deni masuk bangku kuliah.
Tidak di masa SMA. Santi sangat tidak mau berpisah dengan anaknya.
Lagian alasan anaknya mengenai sekolah di kampung tak masuk akal, nggak,
itu bukan alasan sebenarnya. Pasti terjadi sesuatu hal yag luar biasa
pada anaknya selama ia berlibur di kampung...ya di kampung...semua
jawaban ada di sana.
Besoknya Santi masuk kerja. Membiarkan anaknya, biar saja dulu. Dikantor
Santi mengurus ijin selama 3 hari, Rabu sampai Jumat. Senin baru ia
masuk kerja. Malamnya ia memanggil Deni, Santi bilang sebenarnya ia tak
enak meninggalkan Deni sendirian, tapi ibu ada tugas kantor penting
selma 3 hari, keluar kota. Deni bilang tak masalah. Santi meninggalkan
sejumlah uang untuk jajan dan makan Deni. Di kulkas juga banyak bahan
makanan kok. Sama sekali ibunya tak menyinggung soal sekolahnya, membuat
Deni rada BeTe. Ibunya pura – pura cuek, memilih masuk kamar, tidur.
Dan paginya Santi sudah berada di bis yang akan membawanya ke
kampungnya.
Deni berbaring di kamarnya, ia rindu sama bibi Ratna dan bi Lasmi,
terutama bi Ratna, mengenang moment – moment panas mereka. Memang dulu
ia suka membayangkan ibunya, tapi setelah melewatkan masa indah bersama
bi Ratna, kini bi Ratna adalah segalanya buat Deni. Harus...pokoknya aku
harus bisa pindah sekolah di sana. Biar bisa dekat kembali dengan
bibinya. Deni lalu tidur ditemani mimpi indahnya tentang bi Ratna.
Selama 3 hari ditinggal pergi, Deni hanya di rumah saja tak keluyuran
seperti biasa. Teman sekolahnya memang menelepon HP-nya, menanyakan
kabarnya yang tak masuk sekolah, juga diminta tolong sama wali kelasnya
untuk mengecek, Deni bohong saja, bilang sedang sakit, waktu sohibnya
bialng mau datang jenguk, Deni bohong, saat ini ia di kampung ibunya.
Deni mengakhiri pembicaraan dengan bilang tolong titip kabar ke wali
kelasnya, setelah sembuh ia akan segera masuk. Deni mulai gusar lagi.
Ini sudah hari Jumat, belum ada kepastian mengenai kepindahan
sekolahnya....
Jumat siang, Santi sudah berada di bis yang membawanya ke Jakarta. Lelah
dan tertekan. Santi memejamkan mata, memikirkan apa yang ia dapat 3
hari ke belakng. Jawaban yang ia dapatkan sangatlah mengejutkannya. Awal
ia datang, tentu teteh dan adiknya menyambut gembira, tak ada hal yang
aneh dengan kedatangannya. Ia memutuskan menginap di rumah adiknya
Ratna. Waktu ia menceritakan perihal Deni yang aneh tak mau sekolah lagi
di Jakarta, lalu mau pindah sekolah di sini, juga menanyakan apa mereka
tahu apa yang terjadi selama liburan, teteh dan adiknya nampak aneh.
Sepintas wajar saja saat mereka bilang tak ada masalah. Tapi ia amat
mengenal kedua saudarinya ini, juga nalurinya mengatakan ada yang aneh
di sini. Cara keduanya menjawab sangat dibuat – buat. Ia bertekad
berusaha sekuat tenaga mencari tahu jawabannya. Cari teh Lasmi sulit, ia
juga tak mungkin mendesak tetehnya, sangat sulit. Paling mungkin
adiknya Ratna, hubungan mereka sangat dekat. 2 hari pertama Ratna masih
menjawab dengan jawaban yang sama, ditanya macam apapun tetap sama
jawabannya. Mungkin memang Deni sendiri yang tahu jawabannya, ya
sudahlah nanti ia akan coba membujuk Deni untuk berterus terang.
Akhirnya malam harinya, seperti biasa kalau lagi ada kesempatan ia
mengajak bicara adiknya, bukan membahas soal Deni, membahas urusan si
Ratna, biar bagaimanapun Santi itu kakaknya, berkewajiban mengetahui
rencana masa depan adiknya.
”Rat..gimana, belum mau berumah tangga lagi...?”
”Alah si teteh, ada – ada saja nanyanya. Itu melulu yang ditanyakan”
”Ya nggaklah, kan kamu juga harus mikirin si Ucil.”
”Maksud teteh apa...?”
”Iyalah..si Ucil kan butuh sosok ayah.”
”Ah itu mah nggak harus selalu begitu, toh Ratna menyayanginya sepenuh
hati. Soal biaya juga nggak masalah, kan teteh juga sudah tahu.”
Santi diam, membenarkan tidak, membantahpun tidak.
”Ya sudah, kalau buat Ucil tak masalah, gimana sama kamu...?”
” Maksudnya...”
”Alah kamu suka begitu Rat. Memangnya kamu sudah nggak butuh gituan, ayo
deh sama teteh jujur saja, ngomongnya vulgar juga nggak kenapa...nggak
ada orang ini, bebas ngomong yang jorok hehehe.”
”Ah, jadi malu deh...ya jujurnya sih umurnya Ratna masih doyan ngewek,
tapi itu kan caranya nggak melulu mesti dengan kawin. Memuaskan diri
banyak caranya”
Santi agak mengernyitkan keningnya, jawaban adiknya tak bisa ia
benarkan, mana mungkin ia mau membiarkan adiknya menyalurkan hasratnya
sembarangan.
”Ya ampun Ratna, kalau maksud kamu dengan kumpul kebo ya teteh Santi nggak bakalan setuju.”
”Bukan itu teh..maksud Ratna. Kan kita bisa eh...memuaskan sendiri, biar tak maksimal, lumayan bisa nurunin tegangan hehehe.”
”Bisa saja kamu. Ya, teteh sih masih berharap kamu mau berumah tangga,
tapi pilihlah calon yang baik dan sesuai, jangan kayak si Wawan geblek
itu.”
”Ya pastilah teh. Asli itu mah pengalaman pahit. Geblek banget tuh
lelaki, orangtuanya mampu, bisa menyekolahkan dia, bisa memberikan
pekerjaan malah disia – siakan. Sudah foya – foya melulu, doyan ngewek
sembarangan, mending kalau becus, nafsu doang gede...huh paling sebel
kalau sudah ngebahas dia.”
Santi nyengir, memang adiknya ini selalu marah kalau membahas si Wawan.
Perkataan Ratna terakhir tadi membuatnya sedikit teringat masalah Deni.
Ia pun kembali berucap, serius juga sedikit guyon biar adiknya nggak
marah terus. Ratna masih emosi
”Itulah...makanya teteh sedih banget si Deni nggak mau sekolah, berkeras
mau pindah. Teteh keberatan, lain halnya kalau si Deni sudah kuliah.
Kalau masih SMA di Jakarta saja. Tapi sekarang tuh anak tak mau sekolah.
Teteh nggak mau tuh anak kayak si Wawan, orangtuanya mau menyekolahkan
tapi si Deni menyia – nyiakan.”
”Nggaklah teh. Mana bisa si Deni disamain sama si Wawan. Si Deni mah
anak baik, sekolahnya pinter nggak bego kayak si Wawan. Lagian si Deni
ngeweknya juga lebih pintar dari....”
Ratna tak menyelesaikan ucapannya. Dia memang emosi banget tiap membahas
si Wawan, lagianngapain juga tetehnya nyamain si Deni sama si Wawan.
Ratna yang sayang sama keponakannya tentu membelanya dengan penuh
semangat dan emosi. Saking semangatnya sampai kebablasan. Ekspresi muka
Ratna kini seperti orang salah tingkah. Sedang Santi yang sudah hapal
karakter adiknya tahu banget kalau ekspresi adiknya sudah seperti ini,
maka ada rahasia yang adiknya sembunyikan. Sementara Ratna salah
tingkah, Santi memandangnya dengan ekspresi pemuh minat...
”Rat...teteh dengar kata – katamu yang terakhir walau tak kamu
selesaikan. Kamu nggak usah bohong, teteh sudah tahu kalau sekarang
gayamu seperti ini maka ada suatu rahasia yang kamu sembunyikan. Gimana
kamu bisa ngomong dan bisa menilai kalau si Deni ngeweknya lebih pintar,
jelas ada sesuatu yang tak teteh ketahui...nah sekarang kamu ceritakan
saja semuanya dari awal sejujurnya...”
Dan meski adiknya Ratna mencoba berkelit, akhirnya mengalir juga
penjelasannya dari awal, sungguh membuat Santi sangat terkejut, sangat
tak menyangka. Ratna hanya diam saja setalah memberikan penjelasan.
Sementara Santi juga diam, selain terkejut, otaknya juga mulai bisa
merangkai serpihan – serpihan jawaban yang tadinya terpencar, mulai bisa
memahami alasan Deni. Mau marah juga sulit, di satu sisi Deni anaknya,
di sisi lain ada Ratna, adiknya. Ratna memang telah berterus terang,
tapi Ratna tidak jujur sepenuhnya, Ratna memilih untuk tidak melibatkan
atau membawa nama teh Lasmi, bisa tambah runyam urusannya. Agak lama
berdiam diri, Ratna memulai kembali percakapan.
”Teh, jadi begitulah ceritanya. Eh..ma..maafin Ratna yah teh.”
”Untuk apa...? Ini bukan masalah dimaafkan atau tidak, semuanya telah
terjadi. Kenapa Rat...? Kenapa..? Den...Deni itu kan keponakanmua
sendiri...apa tidak ada lelaki lain...?”
”Teh...sungguh...awalnya Ratna juga menolak. Terserah teteh mau percaya
atau tidak, tapi itu benar. Tapi yang namanya laki dan perempuan dalam
satu rumah...akhirnya apapun bisa terjadi. Be..benar Ratna ini bibinya,
tapi kalau digoda dan juga dari Ratna sendiri memang ada
kebutuhan...ya..eh...itu akhirnya terjadi.”
”Tidak harus terjadi kalau kau bisa menahan diri dan menolak secara sungguh – sungguh.”
Santi memandang adiknya tersebut. Hatinya marah, namun juga menyadari,
sesalah apapun Ratna, tetap saja ia harus bisa objectif, Santi juga
memikirkan kemungkinan lainnya, ya anaknya sendiri Deni, biar
bagaimanapun sedang dalam usia yang sedang puncak – puncaknya penasaran
mengenai wanita dan seks. Yang satu sedang penasaran, yang satu laginya
juga punya kebutuhan...klop ketika mereka bertemu. Tak peduli kalaupun
itu tak boleh dilakukan.
”Teh...Ratna tak akan atau tak bisa bilang kalau Ratna
menyesalinya..nggak..nggak bisa. Biar bagaimanapun sebagai wanita, Ratna
mengakui kalau ratna menikmatinya. Diri ratna mendapatkan rasa nyaman.
Teteh boleh bilang ini edan, tapi jelas dengan eh Deni, Ratna menemukan
sesuatu yang telah lama hilang. Bukan hanya urusan eng...seks semata,
tapi juga melibatkan rasa nyaman, rasa senang, hati Ratna bahagia.
Setelah sakit karena perlakuan kasar si Wawan, entahlah..Ratna merasakan
Deni telah mengobatinya.”
”Cukup Rat. Cukup...jangan kau teruskan perkataanmu. Teteh memang
memikirkan keadaanmu yang terluka dan terpuruk akibat rumah tangga yang
berantakan karena ulah suamimu yang tak bertanggung jawab itu. Berharap
kau bisa bangkit lagi, tetapi jelas bukan sama anakku.”
”Iya teh. Ratna sadar itu tak mungkin. Ratna hanya mengungkapkan kalau
saat itu Ratna bahagia. Bagi Ratna walau hanya sebentar, tapi saat itu
telah membahagiakan Ratna. Mungkin setelah ini teteh akan benci sama
ratna, tak mau ketemu lagi, Ratna bisa menerimanya, tapi tolong jangan
salahkan Deni. Ini bukan salahnya sepenuhnya, Ratnalah yang pantas
disalahkan.”
Santi hanya diam saja, adiknya nampak bersungguh – sungguh dengan
perkataannya yang terakhir. Bahkan kini Ratna nampak menahan air
matanya. Berat buat Santi untuk memutuskan atau memikirkan apa yang mau
ia lakukan atau katakan selanjutnya. Ia berdiri, menuju dapur, membuat 2
cangkir teh. Dirinya perlu menyegarkan diri. Ia membuat teh. Setelah
selesai ia membawanya ke sofa, ditaruhnya di meja. Satu untuknya satu
untuk Ratna. Ia meminumnya, hanya mengangguk memberi tanda pada adiknya
juga untuk minum. Setelah minum teh, Santi merasa lebih segar dan mulai
bisa berpikir lebih jernih. Ia diam sebentar untuk berpikir. Ratna hanya
diam sambil memegang cangkir tehnya. Akhirnya Santi memulai bicara.
”Rat, seperti yang tadi teteh bilang, semua sudah terjadi. Jelas teteh
kecewa. Sangat. Tapi juga sadar, anak teteh pasti juga punya andil dalam
kesalahan ini. Pasti, teteh yakin mengingat usianya yang puber. Biar
bagaimanapun kamu adik teteh, selain kamu hanya ada teh Lasmi yang
tersisa, tak mungkin teteh memutuskan hubungan.”
”I..iya teh.”
”Tapi kini masalahnya adalah si Deni.”
”Den..Deni teh..? Maksudnya..?”
”Selain masalah sekolahnya, ada hal lain yang teteh harus pikirkan
setelah mendengar pengakuanmu. Kamu dan teteh sama – sama tahu, kalau
kita sudah merasakan dan menikmati enaknya ngewek, pasti akan mau lagi
dan lagi. Ibarat orang yang sudah terbiasa merokok atau ngopi, kalau tak
ketemu rokok atau kopi, pasti rasanya tak enak. Kamu paham kan..?”
”I..iya teh.”
Ratna meminum kembali tehya, kembali berbicara.
”Dan Deni telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum waktunya ia
lakukan. Jelas sudah membuatnya terbiasa. Alasannya mau pindah sekolah
pasti karena itu. Kini sulit untuk teteh. Kalaupun ada sisi baiknya
dalam hal ini, paling tidak Si Deni itu mengenal hubungan seks bukan
dari pelacur dan sejenisnya. Namun tetap saja setelah merasakan enaknya
hubungan seks, tubuhnya akan dan sudah terbiasa, pasti mau lagi, teteh
khawatir anak itu...eh...bakalan mencari kepuasan melalui pelacur.
Seumurannya belum mengerti resiko dan bahayanya.”
”Teh....benar juga kata teteh...”
”Ya...ini masalah yang harus dipikirkan. Soal sekolahnya, teteh akan
berusaha membujuknya. Oh ya, Rat, tolong ceritakan lagi...jangan malu,
ini penting. Kalau teteh mau bicara sama Deni, teteh perlu pahami dan
mengerti jelas situasinya. Nah, kamu bilang tadi si Deni ngeweknya lebih
pintar...eh, mana bisa si Rat. Dia itu anak baru gede...baru mau
17...?”
Ratna wajahnya bersemu merah, malu juga dia menceritakan hal ini, tapi
tetehnya benar, tetehnya perlu kejelasan. Kalau tetehnya mau membujuk
keponakannya buat kembali bersekolah dan juga agar tidak melakukan hal
yang beresiko, maka tetehnya perlu segala informasi.
”Eh...gimana ya teh...aduh...anu...”
”Sudah jangan gugup begitu, ceritakan saja....”
”Ba..baik...eh begini teh, memang sih awalnya si Deni itu
eh..per..perjaka, masih hijau, tapi karena eh...giat belajarnya jadi
pintar. Bakat juga sih....”
”Iya, gurunya kamu sih. Terus ada lagi..?”
”Eh se..selain itu, teteh mungkin tak akan paham, tapi eh kont01nya itu
sangat eh mengesankan. Sulit menolaknya, makanya ratna juga sampai
melakukan hal ini.”
”Ah...itu sih kamu terlalu berlebihan. Mungkin kamu saja yang sudah lama
nggak ngewek, makanya pas ketemu pelampiasannya jadi berlebihan
menilainya. Sudah...sudah, soal itunya si Deni, nggak perlu dibahas.”
Ratna menghela nafs, lelah, banyak yang masih harus ia pikirkan. Ia butuh istirahat.
”Rat, teteh nggak bisa ngomong banyak lagi, semua sudah terjadi. Tapi
tolong....tolong untuk ke depannya, tahan dirimu, jangan kamu lakukan
lagi sama anakku. Teteh anggap ini hanyalah gairah sesaat saja...seiring
waktu baik kamu atau Deni akan melupakannya, akan menemukan lagi
jalannya yang baru. Paham...?”
”Pa..paham teh.”
”Satu hal lagi, setelah ini, jangan kamu hubungi Deni. Biar saja, dia
tahunya teteh sedang dinas kantor. Bukan ke kampung. Jangan kau bocorkan
kalau teteh sudah tahu hal ini. Awas kalau kamu telepon dia. Urusan ini
biar teteh yang selesaikan. Sudah, besok pagi teteh pulang. Sekarang
mau tidur dulu.”
”Teh...sekali lagi, maafin Ratna.”
Santi tak menjawab, hanya mengangguk kecil lalu masuk ke kamar. Dan
sekarang Santi kembali membuka matanya. Bis sudah memasuki tol dalam
kota, sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Dia masih bingung harus
bagaimana, satu hal tak mungkin ia memberitahu suaminya mengenai masalah
ini. Bisa runyam urusannya. Memang ia seharusnya marah besar pada
adiknya Ratna. Tapi ikatan di antara mereka juga membuatnya tak mampu
marah secara berlebihan. Selain itu ia memakai rasionya juga...urusan
ini terlepas dari masalah Ratna adalah bibi sedang Deni keponakan,
sebenarnya simpe...sangat simple...ini semata karena masalah kont01 dan
m3mek saja. Yang pria yaitu anaknya, memandang dan menilai Ratna dengan
segala daya tariknya, yang wanita yaitu Ratna memandang dan menilai Deni
dengan segala daya tariknya. Waktu dan tempat mendukung. Ketika segala
rangsangan dan nafsu sudah bicara maka yang namanya etika, adat, moral,
tidak boleh, tidak pantas dan sejenisnya akan masuk tong sampah. Memang
ia menyalahkan Ratna juga, tapi juga tetap ada bagian dalam diri Santi
yang membelanya, biar bagaimanapun andil Deni pasti besar. Dia tahu
anaknya punya adat dan kemauan. Santi yakin sekali Ratna yang walaupun
menyimpan hasrat dan gairah yang terpendam pasti di awalnya menolak, dan
anaknya pasti akan membujuk dan berusaha terus samapi akhirnya Ratna
tergoda. Insting Santi sangat yakin akan hal itu, makanya dia tak bisa
terlalu menyalahkan Ratna. Ya...memang ia sedikit beruntung, karena
Ratna kelepasan bicara maka akhirnya semuanya terungkap.
Menjelang sore Santi sudah di rumah, istirahat. Deni, di kamarnya masih
ngambek. Santi memutuskan tak akan membicarakan hal itu hari ini terlalu
lelah. Sabtu siang, ia mengajak Deni ke mall, menyenangkan hati
anaknya. Malamnya Santi masih berusaha membujuk anaknya untuk sekolah
dan tak usah pindah sekolah, tapi ya itulah Deni masih berkeras. Santi
sengaja tak mau menyinggung atau membeberkan kalau ia sebenarnya sudah
tahu yang terjadi. Santi masih berusaha, tak ada hasil. Santi maih
bersabar, memilih menutup hari ini dahulu. Besok ia akan berusaha lagi,
dan kalau gagal, baru ia akan mendesak Deni dengan fakta yang ia
ketahui.
Minggu siang dia melihat Deni sedang menonton TV. Dia pikir dia akan coba bujuk anak kesayangannya itu lagi.
”Den, besok kamu sekolah ya sayang...”
”Bu, ngapaon sih bahas hal itu lagi. Kan sudah jelas, Deni nggak mau.
Deni baru akan sekolah lagi kalau pindah sekolah di kampung. Bosan deh
ibu terus saja begitu padahal sudah tahu maunya Deni.”
Ya..sudah, anak ini terlalu keras kemauannya...sudah waktunya anak ini diberi terapi, Santi membatin.
” Ibu tahu itu, dan ibu belum rela kamu tinggalkan. SMA ya di Jakarta
saja. Alasan kamu pindah sekolah juga terlalu mengada – ada.”
”Nggak. Memang itu alasannya.”
”Den..dengar ya, kemarin ibu 3 hari itu bukan dinas kantor. Ibu pergi ke
kampung mencari tahu kenapa kamu sampai berniat sekali pindah sekolah.”
Deni agak kaget mendengar hal ini, tapi masih PeDe kalau ibunya tak akan
tahu alasan sebenarnya. Dia masih kukuh sama kemauannya.
”Terus kenapa ? Nah, Deni rasa setelah ibu ke kampung, ibu akan setuju
sama alasan Deni kan ? Sekolah di sana lebih enak, juga sekolahnya
bagus, hawanya sejuk,orangnya bersahabat, pemandangannya bagus, nggak
sumpek kayak di Jakarta.”
Deni memandang ibunya dengan menantang. Yakin akan mampu membuat ibunya
mengabulkan keinginannya. Ibunya menghela nafas, memndang wajahnya
sejenak sebelum berbicara....
”Dan kamu bisa ngewek sama bi Ratna, begitu kan alasanmu yang sebenarnya ?”
Duaaarrr....Deni membisu, wajahnya pucat. Ibu....ibu tahu...gimana
caranya ? Masa sih bi Ratna bisa membocorkan hal kayak gini. Hei...hei
tunggu, tadi ibu hanya berkata bi Ratna. Nampaknya ibu tak tahu soal bi
Lasmi. Baik...jadi aku harus waspada, jangan sampai ibu tahu hal itu.
Tapi kenapa sampai bi Ratna bicara...aduh gimana sih bi Ratna. Tapi
ya...ini kan ibu, biar bagaimanapun caranya pasti ibu akan berusaha cari
tahu, pasti ibu mendesak atau memarahi bi Ratna sampai akhirnya ia
mengakui hal ini. Deni masih diam. Ibunya kembali bicara....
”Nah betul kan...? Den..kok kamu sampai begitu sih..? Apa yang kamu pikirkan ?”
”Bi Ratna. Ya...Deni memikirkan Bi Ratna. Deni suka kepadanya.”
”Den, sudah...sudah, ibu tak akan membahas apa, kenapa, bagaimana hal
itu sampai terjadi, sudah percuma, sudah terlambat, lagipula ibu sudah
banyak bicara panjang lebar sama bibimu. Sekarang sudahi semua ini,
alasanmu sudah jelas, besok kamu sekolah lagi. Mengerti.”
Deni hanya diam, tak tahu musti bicara apalagi. Santi memandang anaknya.
Tahu anaknya pasti kaget karena dirinya mengetahui semua ini. Tapi ia
yakin anaknya besok pasti sudah akan sekolah lagi. Tak ada lagi alasan
Deni untuk berkeras hati. Hanya satu hal lagi yang harus ia bicarakan.
”Den...ibu juga tak nyaman membicarakan ini, tapi ibu harus bicarakan.
Kenyataannya adalah seharusnya belum saatnya kamu melakukan dan belum
waktunya kamu merasakan eh...berhubungan seks, tapi kamu sudah terlanjur
melakukan dan merasakannya. Nah ibu hanya bisa bilang...anggaplah semua
yang sudah terlanjur terjadi itu hanya gairah sesaat juga romansa
sesaat saja. Seiring waktu akan terlupakan. Juga ibu harap kamu sekarng
konsentrasi saja belajar dan berbuat sesuai usiamu. Jangan sampai kamu
mencari kenikmatan dengan pelacur ya. Jangan...kalau sudah waktunya kamu
juga akan merasakan. Sekarang yang penting, sibukkan dirimu maka dengan
sendirinya eh...keinginan untuk....itu akan surut. Sudah, sekarang kamu
renungi semua perkataan ibu. Ingat, besok kamu harus sekolah lagi.”
Santi meninggalkan anaknya, membiarkannya berpikir, proses
pendewasaannya. Santi merasa tak perlu membahas lagi soal Ratna dan
Deni, semua sudah terjadi, juga dia tak mau membuat Deni makin terkenang
hal itu, sebisa mungkin menjauhkan anaknya dari memikirkan hal itu.
Santi sendiri juga sudah tahu semua penyebab dan alasan semua itu dari
Ratna. Sekarang biarlah Deni menata hidupnya ke depan.
Besoknya Senin, Santi bersiap berangkat kerja, biasanya dia dan suaminya
berangkat terlebih dahulu. Deni belakangan, karena sekolahnya dekat.
Deni sudah memakai seragamnya. Santi tesenyum melihatnya. Sudah normal
kembali. Begitupun esoknya dan esoknya lagi. Memang Deni jadi diam saja,
tapi itu wajarlah, mungkin anak itu butuh waktu untuk merenungi semua
ini pikir Santi. Maka alangkah terkejutnya Santi ketika pada hari Jumat
HP-nya berbunyi,dari sekolah Deni, mereka menanyakan kenapa Deni sudah 2
minggu ini tak masuk sekolah. Santi dengan cepat berlasan kalau anaknya
sedang sakit, setelah basa – basi sebentar, percakapan selesai. Karena
masih jam kerja maka Santi sulit buat memikrkan hal itu. Menjelang sore
pekerjaannua sudah selesai, Santi di ruangannya hanya menunggu jam
pulang. Dia mulai memikirkan anak kesayangannya ini...duh, Deni apa sih
maumu kali ini ? Santi teingat sudah lama tak menghubungi suaminya, ia
mengambil HP-nya menelepon suaminya, menanyakan kabar dan bagaimana
pekerjaannya di daerah. Suaminya menanyakan apakah Deni sudah sekolah
lagi, juga kenapa sampai kemarin anak itu minta pindah sekolah. Santi
berbohong saja, dia bilang anak mereka sudah bersekolah, kemarin itu
hanya karena masih terbawa suasana menyenangkan liburan di kampung saja,
makanya Deni bilang mau sekolah di sana. Setelah bercakap – cakap
beberapa lama lagi, Santi mengkhiri pembicaraan.
Santi melirik jam di dinding ruangan kerjanya, masih belum jam
pulang.Akhirnya ia memilih menunggu sambil mencek email, lalu membuka
accout FB-nya. Saat melihat halaman FB-nya wajahnya berkernyit, pada
bagian recent comment dia melihat apa yang Deni posting : Kangen sama R
di Tasikmalaya. R...? tentu saja itu inisial untuk Ratna. Santi menghela
nafasnya, anaknya belum cukup matang, belum bisa mengatasi beban akibat
perbuatannya. Akhirnya ia mematikan komputer, bersiap pulang.
Lalu sebenarnya kemana dan ngapain saja Deni selama seminggu ini ? Memng
setiap pagi ia memakai seragam sekolah, menunjukkan siap berangkat
sekolah. Tapi ketika ibunya berangkat kerja, Deni akan segera menukar
seragamnya dengan baju biasa. Menghabiskan waktu di luar. Entah ke teman
dekat rumahnya yang sekolahnya masuk siang atau paling sering ia
nongkrong di Warnet dekat rumahnya, browsing sambil ngobrol sama teman –
temannya di sana. Setelah terbiaa melakukan hubungan seks, tentunya
saja tubuhnya mulai terbiasa dan menuntut melakukannya lagi. Seminggu di
awl ia pulang hal itu belum terlalu terasa, setelahnya baru lumayan
nyusahin. Belum lagi ia selalu memikirkan bi Ratna. Memang ia mencoba
mengatasinya dengan bermasturbasi, tapi jelas rasanya beda dan kurang
memuaskan. Dia juga berpura – pura mau sekolah lagi agar ibunya tak
banyak membujuknya lagi. Soal ibunya yang akhirnya tahu hubungannya
dengan Bi Ratna, Deni tak peduli, dia masih tetap kukuh ingin sekolah
dan tinggal di kampung.
Santi duduk di ruang tamu, melirik jam, jam 7 lewat, kemana anaknya itu ?
Waktu pulang, rumah sepi. Dicoba menelepon dan SMS anaknya, tak ada
jawaban. Tak lama terdengar suara pagar dibuka. Saat deni masuk, Santi
menyuruhnya duduk.
”Darimana kamu Den ?”
”Main...”
”Den, kamu bohong ya sama ibu. Ternyata seminggu ini kamu juga tak sekolah. Apa sih maumu ? ”
”Ibu sudah tahu kan mau Deni, jadi tak perlu tanya lagi.”
”Dan jawaban ibu tetap sama...tidak.”
”Ya sudah....Berhentikan saja Deni sekolah. Deni juga akan pergi ke kampung. Percuma ibu larang.”
”DENI !! Kamu itu berpikir dengan otakmu atau tidak sih...?”
”Bu, dengar ya, Deni sebenarnya sudah tak masalah untuk tetap sekolah di
sini. Sayangnya Deni punya kebutuhan bu...buat ngewek sama bi Ratna.”
PLAK...Santi tak bisa menahan amarahnya, menampar pipi Deni. Deni hanya
diam, lalu ke kamarnya membanting pintu dan menguncinya. Santi duduk
berdiam diri. Belum pernah ia menampar anak kesayangannya itu. Tapi kali
ini Deni sudah kelewatan, bagaimana mungkin anak itu bisa sesantai itu
mengatakan dia butuh ngewek sama bibinya. Gila...apa yang harus
kulakukan ? Sampai jam 10 Santi mengetuk pintu kamar Deni menyuruhnya
keluar untuk makan, tak ada jawaban. Akhirnya ia mengunci pintu rumah.
Karena khawatir, ia tidur di sofa, ia takut anaknya akan kabur. Sulit
sekali ia tidur, otaknya terus bekerja memikirkan anaknya.
Ini yang paling Santi khawatirkan, sebenarnya walau Deni bicara tentang
ngewek sama bi ratna, bukan itu inti permasalahan anak itu. Deni HANYA
MERASA di kampung ada bi Ratna yang siap memenuhi kebutuhannya. Yang
jadi masalah adalah lebih pada kebutuhan ngeweknya sendiri. Membawa nama
bibinya karena perwujudan emosinya semata. Ini intinya. Masih lama
Santi berpikir, mengnalisa, merenung, menjelang pagi baru ia
tertidur...belum yakin dengan solusinya.
Saat Santi terbangun, hampir jam 9 pagi. Dia terkejut, langsung duduk
melihat kamar anaknya, sudah terbuka, panik jadinya...lalu lega, Deni
nampak sedang duduk di meja makan, sudah mandi, nampaknya baru selesai
makan mi. Kini anak itu sedang merokok. Santi kembali terkejut ketika
Deni bicara.
”Bu...maafin Deni ya. Semalam sudah buat ibu marah.”
”I..iya, ibu juga minta maaf sudah menamparmu.”
”Nggak itu memang salah Deni, ngomong seenaknya. Pantas ditampar. Maaf
juga membuat ibu khawatir sampai seperti ini. Deni kaget waktu tadi
membuka pintu kamar melihat ibu tidur di sofa. Maafin Deni bu.”
”Ya sudah kalau kamu menyadarinya. Ibu mau mandi dulu sudah jam 9.”
Santi lalu berdiri, masuk ke kamar mandi. Untunglah sepanjang siang itu
Deni nampaknya sudah mulai tenang, sekarang sedang nonton TV. Santi saat
ini sedang duduk di kamarnya, wajahnya serius. Akhirnya ia menghela
nafas, ia memanggil Deni. Tak lama Deni masuk ke kamarnya, duduk di
pinggir ranjang, siap mendengar apa yang mau ibunya katakan.
”Den, ibu langsung saja ngomongnya, nanti kalau kamu mau jawab, jawab
saja sejujurmu. Dari omonganmu semalam, ibu akhirnya yakin, masalah kamu
sampai tak mau sekolah sebenarnya karena kamu sudah terbiasa dan butuh
dengan eh..hubungan seks. Sampai mau pindah sekolah segala. Intinya
sebenarnya hal tadi.”
”Eh..itu benar bu.”
”Bagaimana kalau ibu katakan kalau ibu memahami dan akan membiarkan kamu memenuhi hal itu supaya sekolahmu bisa lancar lagi ?.”
”Maksud ibu...ibu akan mengijinkan Deni sekolah di kampung ?”
”Tidak.”
”Lalu..kenapa ibu mengatakan akan membiarkan Deni memenuhi kebutuhan
seks Deni ? Kalau tidak pindah sekolah di sana, bagaimana bisa ketemu bi
Ratna ?”
”Siapa bilang kamu boleh melakukan hal itu dengan bibi kamu ?”
”Maksud ibu ? makin nggak ngerti jadinya nih.”
”Kamu akan kembali sekolah. Tidak di kampung, tapi di Jakarta.
Kebutuhanmu juga akan terpenuhi. Bukan dengan bi Ratna. Tapi dengan ibu.
”APA ? MAKSUD I...IBU...?”
Ya, Santi memang sudah berpikir matang. Adat Deni yang sangat keras tak
akan bisa dilunturkan. Karena semuanya sudah jelas, akar permasalahannya
sudah ditemukan. Anak itu harus menyalurkan hasratnya. Dan kalau
dibiarkan berlarut akan parah, anak itu bisa mencari kepuasan secara
sembarangan, dengan pelacur misalnya. Lebih baik Santi yang memenuhinya.
Ya, Santi merasa itulah solusi terakhir yang paling baik buat Deni dan
dirinya.
”Kamu sudah dengar. Kamu bisa memenuhi kebutuhanmu ke ibu. Ibu sudah
pikirkan hal ini baik – baik. Jika hal ini akhirnya bisa membuatmu benar
– benar bersekolah kembali, maka ibu siap.”
Deni terdiam, tak menyangka ibunya sampai sejauh itu memikirkan dan
menyayanginya. Tentu saja Deni terkejut, bahkan tak tahu harus
bagaimana. Tapi dorongan keinginan, juga kesadaran bahwa dirinya memang
sering membayangkan ibunya telah menggelitik gairahnya. Diliriknya
ibunya yang mengenakan daster biasa itu. Deni segera berkata...
”Ibu Yakin...?”
Hanya anggukan kepala saja sebagai jawaban. Deni segera mendekati
ibunya, bersandar di bahu ibunya, memeluknya erat, lama hanya
memeluknya, tetap memiliki keraguan. Ia mendongakkan kepalanya, matanya
beradu dengan mata ibunya. Deni melihat mata ibunya, ibunya juga melihat
matanya. Mata ibunya telah menjawab keraguannya. Mata ibunya nampak
penuh keyakinan dan juga keseriusan akan ucapannya. Deni melepaskan
pelukannya, mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu ibunya. Ia
segera memiringkan tubuh ibunya, berhadapan dengannya. Deni mendekatkan
wajahnya ke wajah ibunya, ia mulai menciumi pipi ibunya, lalu bibir
ibunya, ibunya hanya menutup rapat mulutnya tak membalas ciumannya. Deni
menarik daster ibunya, agak sulit karena ibunya dalam posisi duduk.
Ibunya membantunya, ibunya mengangkat sedikit pantatnya. Deni segera
menarik daster ibunya, melepaskannya. Santi duduk diam, kini hanya berCD
saja.
Deni diam terpesona, apa yang biasa hanya bisa ia lihat saat mengintip
ibunya mandi, kini di hadapannya. Ia mendorong pelan ibunya,
membaringkannya. Deni masih menatap tubuh ibunya itu, teteknya besar dan
sekal, bulat keras. Belum lagi pentilnya. Deni segera memakai tangannya
untuk meremas tetek ibunya. Perlahan, menikmati rasa kenyal dan
lembutnya. Kedua tangannya meremas tetek ibunya itu. Telapak tangannya
merasakan pentil ibunya yang mulai mekar dan mengeras, terasa
menggelitik telapak tangannya. Jarinya mulai menelusuri pentil itu dan
lingkaran coklat di sekelilingnya, terasa nyaman. Pentil itu kini
dijepitnya menggunakan ujung jari telunjuk dan ujung jari jempolnya, ia
pilin – pilin, makin mekar dan mengacung jadinya pentil itu. Ibuny masih
diam saja. Deni membuka kaos dan celana pendeknya, hanya menyisakan
kolor yang menonjol besar. Ibunya hanya diam saja melihat Deni tanpa
komentar. Deni mendekatkan mulutnya, mulai menjilati kedua pentil yang
sudah besar mengacung itu, menggelitiknya dan menggoyang – goyangnya
dengan lidahnya, menghisapnya lembut, mengemutnya, lalu menghisapnya
lagi kuat. Tubuh ibunya sedikit bergetar, juga sedikit mendesah. Deni
masih terus menghisap pentil ibunya, tangannya juga kembali meremas –
remas tetek ibunya. Sambil menghisap pentil itu, lidahya beraksi
mengoyang – goyangkan pentil itu, ibunya mendesah kecil. Cukup lama ia
fokus di tetek dan pentil ibunya, kont01nya sendiri sudah ngaceng
sekali. Deni mengangkat lengan Santi, tampaklah rimbuan hiam yang
menggoda, tangannya segera mengelus dan memainkan bulu ketek itu,
menariknya lembut. Lalu Deni menciumi dan menjilatinya. Harum juga
menebarkan rangsangan tersendiri yang menggelitik nafsu Deni. Lama ia
menjilati kedua pangkal lengan ibunya, sesekali ibunya menahan rasa geli
saat lidah Deni terasa sangat menggelitik.
Deni lalu menciumi belahan tetek ibunya, turun ke bawah sampai ke perut
yang rata,, ia elus – elus dengan tangannya, lalu diciuminya perut
ibunya, makin ke bawah, kini matanya memandang CD putih yang tebal.
Tangannya diletakkan di sana merasakan rasa hangat. Terasa sekali jembut
tebal di baliknya. Tangannya mengelus CD itu sebentar. Lalu mulutnya
menciumi permukaan Cd itu. Tangannya segera menarik turun CD ibunya itu,
ibunya mengangkat sedikit pantatnya, memudahkan Deni meloloskan CD itu.
Deni diam, meneguk ludahya, matanya menatap keindahan m3mek ibunya itu,
jembut yang lebat nan hitam menghiasinya sampai belahan pantatnya,
sangat kontras dan menambah pesona m3mek itu. Belahannya nampak dalam
mengundang. Tangannya mulai meraba dan mengelus jembut itu, Tebalnya
terasa di telapak tangannya. Lalu dengan ujung jari telunjuknya ia
mengelus belahan m3mek itu, naik turun, belahan itu mulai merekah, makin
lama makin lebar, nampak kemerahan isi di baliknya, juga mulai basah.
Ibunya hanya menggoyangkan pantatnya sedikit, masih tetap diam.
Mulutnya mulai menciumi belahan m3mek itu dengan penuh gairah dan
perasaan. Aroma harum yang khas memenuhi rongga hidungnya. Diciuminya
seluruh permukaan m3mek ibunya. Lobang m3mek ibunya nampak kemerahan dan
rapat. Deni mulai menjulurkan lidahnya, it1l ibunya agak besar,
lidahnya mulai menyapu dan mengelus it1l itu, menggoyangkannya, perlahan
lalu makin cepat, pantat dan tubuh ibunya mulai kerap bergoyang.
Desahannya mulai sering terdengar. Jari tengah Deni segera menyodok
lobang m3mek yang sudah basah itu. Disodokkan dengan sangat cepat,
dengan cepat jari itu terasa licin dan lengket. Hampir 5 menit sudah ia
memainkam m3mek itu. Ibunya makin sering menggoyangkan pantatnya,
kakinya menekuk dan mengangkang lebar. It1lya sangat nyaman di lidah
Deni, terus dan cepat Deni memainkannya...tangan ibunya mulai meremas
rambut anaknya itu. Desahannya yang tadi hanya pelan mulai keras.
”Ahhh...Dennnn....”
”Sudaaahhh....Ohhhhh”
”Arghhhhh......Ughhhhh”
Santi mengejang, badannya bergetar, pantatnya terangkat tinggi. Terasa
hangat cairan orgasme yang baru saja ia keluarkan. Anak ini sudah mahir
memainkan lidahnya pikir Santi. Tubuhnya masih lemas merasakan
kenikmatan. Deni berdiri, menurunkan kolornya, kont01nya mengacung. Mata
Santi menatap ke kont01 anaknya itu...pantas saja si Ratna sampai tak
bisa menahan godaan. Santi merasakan tubuhnya terbakar gairah, m3meknya
berdenyut saat ia memandan lekat – lekat kont01 Deni. Deni berdiri agak
kikuk mau ngomong...
”Eh...bu..hi..hisapin ya.”
Santi mengangguk, Deni mendekat, duduk di tempat tidur, Santi yang tadi
terlentang, memutar tubuhnya menjadi tengkurep, mendekat ke selangkangan
anaknya. Jarinya mulai meremas dan mengelus kont01 anaknya ini. Biji
Pelernya ia mainkan sesaat, diremasnya lembut. Saat tangannya
menggenggam batang kont01 Deni, terasa batang kont01 itu berdenyut. Ia
masih memainkan tangannya pada kont01 Deni, mengocoknya bergantian pelan
lalu cepat. Lidahnya mulai menjilati kepala kont01 Deni, lalu
batangnya, gerakannya sangat cepat dan penuh tekanan yang kuat. Deni
mendesah sambil merem – melek. Mulut ibunya mulai menelan kont01nya,
mengemut, menghisap, mengulum, saat menarik kont01nya keluar, ibunya
selalu melakukannya samapai batas leher kepala kont01nya lalu menelannya
lagi, sangat cepat. Batas leher kepala kont01nya sangat geli
bersentuhan dengan bibir ibunya yang basah dan sensual.
Ampuuunnn....enak sekali pikir Deni. Ibunya masih lama mengulum dan
menghisap kont01nya, terakhir ibunya menelan sedalam mungkin kont01nya.
Lalu mengemutnya dengan kuat, bikin Deni kelojotan. Ibunya menghentikan
Oral nya, segera turun, berlutut di pinggir tempat tidur, ditariknya
kaki Deni hingga menjuntai ke bawah. Dilebarkannya kaki itu, lalu ibunya
memposisikan diri di tengah kakinya itu.
Tangan ibunya menggenggam kont01 Deni, ditaruhnya kont01 itu di belahan
tetek besarnya. Kedua tangannya lalu mengapit erat pinggiran teteknya,
menjepit erat kont01 itu di tengahnya. Deni melihat ibunya sedikit
meludahi kont01nya dan belahan teteknya. Ibunya lalu menaik turunkan
badannya, juga menggoyangkan teteknya, mengocok kont01 itu.
Uffff.....Sangat Enaaaakkk....belum pernah Deni merasakan hal seperti
ini, kont01nya sangat nyaman dikocok di antara tetek ibunya yang besar
dan kenyal. Deni mengerang penuh kenikmatan. Tetek yang besar itu terasa
membelai lembut sekaligus menekan erat kont01nya, kombinasi rasa nikmat
yang tiada tara bagi Deni. Masih lama ibunya melakukan gerakan ini,
Deni msih meraa nyaman, tapi sudah tak tahan mau memasukkan kont01nya di
m3mek ibunya.
”Bu...su...sudah duluuu...Deni sudah nggaaakk tahan mau masukkin.”
”Ya sudah kalau begitu maumu.”
Ibunya menghentikan kegiatan tadi. Segera naik dan berbaring, melebarkan
kakinya. Deni segera menindih ibunya, Deni mengangkat sedikit
pantatnya, mengarahkan kont01nya, lalu blessss....gilaaa...saat
kont01nya sudah amblas seluruhnya Deni diam dan merasakan rasa nyaman
dan nikmat di sekujur tubuhnya, m3mek ibunya terasa sangat hangat,
sangat rapat dan nyaman. Sementara Santi merasakan sesak namun nikmat
dalam m3meknya. Penaasaran menjalari pikirannya....sebentar lagi ia akan
tahu apa yang telah membuat Ratna sampai begitu terlena.
Deni ulai bergerak, memompa kont01nya perlahan, cairan di m3mek ibunya
terasa pas dan memudahkan pompaannya. Kont01nya ia tarik keluar sejauh
mungkin dan ia tekankan sedalam mungkin. Saat ia menyodok sedalam
mungkin, ibunya mendesah penuh kenikmatan. Perlahan namun pasti gerakan
memompa dan menyodoknya makin cepat. Tetek ibunya bergoyang – goyang
dengan sangat seksi, ibunya mendesah, matanya merem melek, kedua
tangannya terangkat ke atas. Deni terus menyodok, sambil sibuk kembali
menciumi ketek Santi. Lalu ia jilati leher dan telinga ibunya, membuat
Santi kegelian. Deni memompa dengan penuh nafsu, desahan dan wajah
ibunya makin membuatnya terpacu, ibunya samapi kelojotan menahan
sodokannya...
”Den...pelaaannnn....Ughhh...”
”Ssssstttt....Yeaaahhhh....Oooohhh...”
”Ampuuunnnn....Aaaahhhh....Awwww....”
Ibunya mendapatkan orgasme, dan Deni malah menjadi semakin nafsu. Tak
memperdulikan ibunya yang lemas, ia makin asik menyodok. Santi sendiri
sampai kelojotan, rasa nikmat yang tak henti menghantamnya, ja...jadi
inikah yang telah membuat Ratna tak bisa menolak Dini, kini Santi paham
sepenuhnya. Godaan ini terlalu sulit dan juga terlalu enak buat ditolak.
Pantat ibunya nampak bergoyang liar mengimbangi sodokan Deni. Terasa
membetot kont01nya. Tangan Deni mulai meremas kuat tetek ibunya itu.
Sodokannya juga tetap stabil. Dua minggu tanpa ngewek membuatnya benar –
benar disalurkannya sekarang. Bibir Deni mencium bibir ibunya, kini
ibunya membalas, mereka berciuman dengan panas. Setelah itu Deni mulai
menghisap pentil ibunya kuat – kuat, sodokannya mulai agak berkurang
kecepatannya, sudah maksimal ia bertahan...denyut nikmat terasa pada
kont01nya. Kembali ia mencium ibunya, memeluknya erat, dan dengan
sodokan yang kuat.....crooot...crooot....croott...kuat dan banyak sekali
pejunya, membuat ibunya bergetar saat pejunya menyemprot kuat. Deni
terkulai sesaat, akhirnya dicabutnya kont01nya, berbaring....
”Bu terimakasih ya sudah muasin hasrat Deni.”
”Ya...sekarang sudah mau sekolah lagi kan...?”
”Iya.”
”Kalau kamu nanti sedang kepengen bilang ke ibu ya. Tapi jangan sampai ayahmu tahu.”
Dan akhirnya memang Deni kembali ke sekolah. Nilainya bahkan meningkat.
Kini setiap ia ingin, ibunya akan memenuhinya. Ayahnya akhirnya sudah
menyelesai proyeknya dan kembali pulang, namun mereka tetap
melakukannya. Waktu terus berjalan....
Santi merasa sudah melakukan solusi yang paling tepat. Kini anaknya
dapat memuaskan hasrat yang merongrongnya. Tahu kini ibunya selalu ada
untuk membantunya. Bersekolah seperti sediakala dan tak pernah
membicarakan lagi niat untuk pindah sekolah ke kampung. Santi bahkan
amat menikmati melakukan hubungan seks dengan Deni, bisa sangat mengerti
dan sangat memahami kenapa adiknya sampai tak kuasa menahan diri dari
godaan Deni. Santi bahkan bisa toleran saat Ratna datang menginap ke
Jakarta ( Ucil dititipkan ke abahnya. mungkin Ratna kangen sama Deni
pikir Santi ). Rumah mereka hanya memiliki 2 kamar. Jadi Ratna tidur di
kamar Deni. Suaminya tentu saja tak curiga dan berpikiran macam – macam.
Tapi Santi tahu bahwa di kamar itu setiap malam Deni dan Ratna bukan
hanya sekedar tidur. Deni pasti ngewek sama bibinya itu. Santi diam
saja, membiarkan kedua orang yang ia sayangi itu memuaskan hasrat masing
– masing.
Deni sedang merokok di kamarnya, menatap jam di dinding
tik...tik...tik...yak sudah jam 12 malam, resmi sudah kini ia berusia
17. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya menyenangkannya.
Ibu, Bi Ratna, Bi Lasmi akan selalu menjadi wanita yang ia sayangi. Ia
tak akan pernah tahu apa yang akan ia temui di masa depan. Tak akan
pernah tahu wanita seperti apa yang akan menjadi pasangan hidupnya
nanti. Tapi satu hal yang pasti, sampai kapanpun bi Ratna akan selalu
menjadi cinta pertama dan menempati ruang khusus di hatinya. Deni
tersenyum, mematikan rokoknya, lalu tidur.

Senin, 15 Januari 2018